Kapasitas atau daya tampung yang dibutuhkan untuk mewadahi limpasan dari hulu Ciliwung itu minimal 10 juta meter kubik. Kedua bendungan itu hanya salah satu dari sistem pengendalian banjir yang dibutuhkan Jakarta.
Oleh
AGUIDO ADRI, STEFANUS ATO
·5 menit baca
Bendungan Ciawi dan Sukamahi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mayoritas kosong alias tidak terisi air sepanjang tahun. Meski demikian, keberadaan dua bendungan ini bakal mampu mereduksi banjir Sungai Ciliwung hingga 30 persen. Lalu, bagaimana cara kerjanya?
Bendungan Ciawi dan Sukamahi merupakan bagian dari rencana induk sistem pengendalian banjir dari hulu hingga hilir dengan tujuan mengurangi kerentanan banjir Jakarta. Proyek strategis nasional yang dimulai pembangunannya pada 2017 itu merupakan bendungan kering pertama di Indonesia.
Bendungan Ciawi dan Bendungan Sukamahi khusus dibangun dengan fungsi sebagai pengendali banjir atau disebut bendungan kering. Cara beroperasi dua bendungan ini berbeda dengan bendungan pada umumnya lantaran baru akan digenangi air saat musim hujan.
Direktur Bendungan dan Danau Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Airlangga Mardjono, dalam sesi wawancara khusus bersama Kompas, Selasa (8/2/2022), di Jakarta, mengatakan, dua bendungan itu dilengkapi dengan conduit atau saluran pengelak di bawah tubuh bendungan. Saluran pengelak yang mirip gorong-gorong itu berfungsi menampung debit air dari hulu saat terjadi hujan.
”Pada saat datang debit air dalam volume besar, air akan tertampung di bendungan dalam waktu beberapa jam. Dan air tersebut akan dikeluarkan secara terkendali karena kami sudah atur dengan kapasitas tertentu. Jadi, air yang mengalir ke bawah (Ciliwung hilir) itu sudah aman sesuai kapasitas,” kata Airlangga.
Bendungan Ciawi yang berada di Desa Cipayung, Desa Gadog, dan Desa Sukakarya di wilayah Kecamatan Megamendung serta Desa Kopo di wilayah Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, itu didesain dengan tipe urukan tanah zonal random inti miring. Bendungan ini berdaya tampung 6,55 juta meter kubik saat banjir.
Adapun Bendungan Sukamahi yang berlokasi di hulu Sungai Cisukabirus (anak Sungai Ciliwung), tepatnya di Desa Sukamahi, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, didesain serupa dengan Bendungan Ciawi. Bendungan Sukamahi memiliki daya tampung 1,71 juta meter kubik.
Bendungan Ciawi memiliki kemampuan mereduksi banjir sebesar 30,6 persen. Jika tanpa Bendungan Ciawi, debit Sungai Ciliwung mencapai 365 meter kubik per detik. Sementara itu, dengan adanya Bendungan Ciawi, debit air Sungai Ciliwung menjadi 253,25 meter kubik per detik atau berkurang 111,75 meter kubik per detik.
Bendungan Sukamahi yang dibangun tak jauh dari Bendungan Ciawi di aliran Sungai Cisukabirus (anak sungai Ciliwung) turut berperan mengurangi debit air sebesar 27,4 persen. Debut air dari Sungai Cisukabirus tanpa bendungan sebesar 56,52 meter kubik per detik. Artinya, dengan kehadiran bendungan ini, debit dari Cisukabirus menjadi 41,05 meter kubik per detik atau berkurang 15,47 meter kubik per detik (mereduksi banjir 27,4 persen).
Pengendalian banjir Jakarta di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung tak hanya bertumpu pada keberadaan dua bendungan tersebut. Di bagian bawah dua bendungan itu ada pula tiga titik penyekat air, Bendung Katulampa, dan Pintu Air Depok. Keberadaan titik penyekat air serta Bendung Katulampa dan Depok membantu mengendalikan debit DAS Ciliwung sehingga aliran air yang sampai ke Pintu Air Manggarai berkurang hingga 11,9 persen atau setara 77,98 meter kubik per detik.
Pengendalian Ciliwung hilir
Keberadaan Bendungan Ciawi dan Sukamahi tidak serta-merta menyelesaikan persoalan klasik banjir di Ibu Kota sebagai dampak limpasan DAS Ciliwung. Kementerian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) juga masih dihadapkan pada persoalan pembebasan lahan untuk normalisasi Ciliwung.
Kepala Bidang Pelaksana Jaringan Sumber Air BBWSCC Andri Rachmanto Wibowo mengatakan, pihaknya sedang berupaya meningkatkan kapasitas DAS Ciliwung. Normalisasi DAS Ciliwung yang saat ini sedang berjalan itu ada di Cawang, Jakarta Timur, dan Rawajati, Jakarta Selatan.
”Itu sudah kontrak pada Desember 2021. Sekarang sudah berposes,” kata Andri. Dari total DAS Ciliwung sepanjang 33 kilometer yang perlu dinormalisasi, sejauh ini sudah 16 kilometer yang selesai dinormalisasi.
Menahan debit banjir puncak selama satu atau dua jam itu menolong Jakarta. (Sebab), Jakarta bisa mengamankan daerahnya dalam satu atau dua jam.
Normalisasi Ciliwung selama ini terkendala masalah pembebasan lahan. Lahan di bantaran Ciliwung yang telah dibebaskan masih acak dan lokasinya terpisah-pisah.
”Banyak lahan yang sudah bebas, tetapi masih spot-spot. Kalau kami bikin tanggul air, ada yang bolong, air masih bisa lewat,” kata Andri.
Menurut Guru Besar Bidang Hidrologi Sumber Daya Air IPB University Hidayat Pawitan, bendungan kering hanya berfungsi sebagai penahan air. Namun, keberadaan dua bendungan itu cukup efektif memitigasi banjir di Jakarta karena puncak banjir dari Ciliwung hulu tertahan selama satu atau dua jam.
”Menahan debit banjir puncak selama satu atau dua jam itu menolong Jakarta. (Sebab), Jakarta bisa mengamankan daerahnya dalam satu atau dua jam. Banjir dari Bendung Katulampa untuk sampai Pintu Air Manggarai itu perlu waktu sekitar enam jam,” tutur Hidayat, Selasa (15/2/2022).
Ia pada prinsipnya tidak menyetujui pembangunan bendungan dengan sistem bendungan kering. Apalagi, dua bendungan itu memiliki daya tampung di bawah 10 juta meter kubik.
Kapasitas yang dibutuhkan untuk menampung banjir dari hulu Ciliwung minimal 10 juta meter kubik. Kapasitas 10 juta meter kubik itu untuk mengantisipasi banjir dua tahunan dengan curah hujan maksimum sekitar 100 milimeter per 24 jam.
Solusi pengendalian banjir
Hidayat menambahkan, fungsi pengendalian banjir di Jakarta adalah mitigasi. Bagian hulu DAS Ciliwung harus ditata dengan sistem nonstruktur, misalnya vegetasi.
”Kemudian bikin banyak waduk. Kapasitas waduk itu tidak perlu besar. Kalau waduknya banyak dan jika diakumulasi daya tampungnya bisa sampai 10 juta meter kubik atau 20 juta meter kubik, selamat ini Jakarta,” ucapnya.
Ia juga menilai pembangunan sumur resapan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak efektif. Sebab, struktur tanah di 60 persen wilayah DKI berupa tanah liat sehingga air sulit merembes.
Pengendalian banjir atau genangan di wilayah DKI Jakarta bisa dilakukan dengan membangun polder air. Di setiap 1 kilometer persegi wilayah DKI Jakarta disediakan 1 persen polder air. ”Satu kilometer persegi itu 100 hektar. Kalau disisihkan 1 hektar saja untuk membangun polder air dengan kedalaman 1 atau 2 meter saja, itu sudah memadai,” ujar Hidayat.