Mencari Tahu ke Mana Warga Jakarta Pascakebakaran
Sepertiga kejadian kebakaran di DKI Jakarta melibatkan obyek bangunan perumahan. Penataan ulang wilayah permukiman menjadi satu solusi. Tapi, ke mana sebaiknya warga mencari perlindungan.
Seumur hidupnya, Novi, warga Kelurahan Mangga Dua Selatan, Kecamatan Sawah Besar, Jakarta Pusat, dua kali melihat langsung kebakaran di sekitar tempat tinggalnya. Pertama, kebakaran tahun 1997. Kedua, kebakaran di tiga RT di RW 009 karena dugaan korsleting listrik, Kamis (27/1/2022) malam.
Kebakaran yang tidak menimbulkan korban jiwa itu menghanguskan 38 rumah, termasuk rumah orangtua Novi yang juga ia tinggali bersama suami dan anak-anaknya. Api yang melahap rumah bangunan lamanya di RT 006 itu masih menyisakan sebagian tembok dan fondasi yang hendak ia bangun kembali.
Demi melindungi tanah dan bangunan tempat keluarganya tinggal, Novi dan keluarga masih menengok sisa rumah itu walau mereka telah mendapat rumah sewa. Mereka kerap datang untuk membersihkan sisa kebakaran.
Terpal dan tenda dibangun di dalam rumah bekas terbakar untuk tempat berlindung sementara, seperti Selasa pagi lalu, saat hujan deras mengguyur Jakarta. Dalam kondisi itu, beberapa anak Novi yang sudah bersekolah menyempatkan diri untuk belajar di sana.
Sekonyong-konyong musibah tidak diinginkan terjadi. ”Anak-anak lagi duduk, nulis buku, ngerjain tugas sekolah di situ. Eh, pas hujan tambah gede, tiba-tiba tembok jatuh dari samping. Kejadiannya sekitar pukul 10.30,” kata perempuan 31 tahun itu, Rabu (9/2).
Sebagian tembok yang tingginya kurang dari dua meter itu ambruk ke tenda tempat mereka berlindung. Bongkahan tembok menimpa tubuh mereka. Novi mengalami lecet, sedangkan anaknya luka ringan hingga sedang di bagian kepala.
Baca Juga: Semarak Imlek Warga Sawah Besar Sirna Bersama Puing Kebakaran
Anak tertuanya yang berusia 13 tahun luka ringan di kening, begitu juga anak keduanya yang baru berusia 8 tahun. Anak bungsu yang baru 7 bulan pun terluka cukup serius hingga harus mendapat satu jahitan. Sementara itu, anak ketiganya yang berumur 6 tahun masih harus dirawat di rumah sakit.
”Anak ketiga di rumah sakit, dirawat. Dia sadar, cuma masih pusing,” kata Novi yang sebelumnya biasa sibuk mencari uang dengan berjualan es krim di rumah.
Ketua RT 006, Nur, mengatakan, atas insiden itu, pihaknya sudah memanggil Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) setempat. ”Insyaallah dari pemadam kebakaran sudah mengecek lokasi dan akan dirubuhkan,” kata Nur.
Kebakaran itu membuat rumah Novi harus dibangun ulang agar lebih kokoh. Itu jelas membutuhkan biaya tidak sedikit. Ia juga tidak mengetahui apakah akan ada bantuan terkait pembangunan kembali rumah warga terdampak kebakaran.
”Katanya, sih, nanti ada bantuan bahan bangunan, seperti semen, batu bata atau pasir. Tapi, yang ada baru semen. Saya enggak tahu apa akan ada yang bantu bangun rumah kami. Tetangga, sih, ada yang sudah mulai bangun sendiri rumahnya,” ungkapnya.
Baca Juga: Dugaan Korsleting Listrik Tewaskan Tiga Warga di Tebet
Sementara itu, sebagian besar warga terdampak kebakaran di Jalan Kepa Duri Emas, RT 002 RW 004 Kelurahan Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, tidak terlalu pusing memikirkan ke mana hendak tinggal selanjutnya. Apalagi, tidak ada korban jiwa dalam kebakaran itu.
Sebanyak 100 rumah yang terbakar pada malam Imlek, Selasa (1/2/2022) dini hari, itu mayoritas adalah bedeng, rumah semipermanen yang berdiri di lahan sekitar 3.000 meter persegi. Rumah-rumah bedeng itu disewakan pemilik tanah dan bangunan kepada warga yang rata-rata pendatang dari luar Jakarta.
Lastri (70) dan Kusnadi (41), misalnya, kini sudah menyewa hunian di tempat lain setelah keluar dari pengungsian. Kebakaran yang tidak mereka ketahui penyebabnya itu memang telah menghanguskan harta benda. Namun, pekerjaan yang masih mereka miliki masih membantu mereka menghasilkan uang untuk memulai kehidupan baru di tempat lain.
”Saya dulu sewa kamar di sini Rp 500.000. Setelah kebakaran, saya cari lagi kontrakan baru. Biaya sewanya masih sama,” kata perempuan asal Purwodadi, Jawa Tengah, yang juga buruh cuci pakaian tersebut.
Hal sama dilakukan Kusnadi yang tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Keluarga perantau itu tidak lagi peduli dengan lahan bekas kebakaran yang pernah ditinggali, selagi mampu menyewa tempat tinggal cukup layak dan terjangkau untuk dihuni.
Permukiman rentan
Data Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, bangunan perumahan masih mendominasi obyek terbakar. Bangunan perumahan yang terbakar mencapai 516 kasus atau 33,62 persen dibandingkan obyek lainnya pada 2021, naik dari 461 kasus atau 30,63 persen pada 2020.
Selain obyek itu ada instalasi luar gedung yang di bawah 30 persen, lalu bangunan umum dan perdagangan yang juga selalu di bawah 20 persen, disusul kendaraan sekitar 6 persen. Hampir 70 persen kebakaran dipicu masalah kelistrikan.
”Kebakaran kalau dilihat dari kondisi kehidupan ekonomi warga di Jakarta bisa memicu. Ini terkait kepadatan permukiman penduduk, penggunaan listrik yang tidak sesuai ketentuan, penggunaan barang elektronik yang murah, dan lain sebagainya,” ujar Kepala Dinas Gulkarmat DKI Satriadi Gunawan per telepon, Kamis (10/2).
Kerentanan kebakaran karena kepadatan permukiman penduduk oleh urbanisasi menjadi hal klasik di Jakarta. Studi oleh Nuniek Susanti, Magister Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan rekan yang terbit di jurnal Tataloka pada 2020, membuktikan hal ini dari analisis terhadap risiko kebakaran di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat.
Studi menemukan, kecamatan terkecil di Jakarta Barat seluas 542,7 hektar itu rawan kebakaran risiko sedang sebesar 65,7 persen dan tingkat risiko tinggi 27,8 persen. Ini berkorelasi dengan kepadatan penduduk sebesar 49.240 jiwa/kilometer persegi (BPS, 2017), yang menempatkannya sebagai kecamatan terpadat kedua di DKI Jakarta.
Risiko kebakaran sedang ada pada kawasan dengan kondisi fisik kepadatan bangunan dan penduduk tinggi, disertai tingginya aktivitas penduduk, lebar jalan yang sempit serta tidak terjangkau oleh hidran.
Sementara itu, risiko kebakaran tinggi terbentuk karena faktor tambahan, seperti persentase kelompok umur lansia dan anak-anak yang lebih banyak dan faktor tingkat pendidikan rendah, dengan rata-rata SMP. Ada juga faktor pendapatan rendah, yang mana mayoritas warga di sana berpenghasilan di bawah Rp 3,5 juta per bulan.
Endrawati Fatimah, dosen Jurusan Teknik Planologi Universitas Trisakti, menilai, masih banyaknya kejadian kebakaran di wilayah permukiman Jakarta menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan warganya untuk menata ulang kawasan hunian penduduk. ”Untuk memitigasi ini memang perlu ada perluasan, ada pentataan ruang untuk atur kepadatan bangunan,” katanya.
Upaya ini salah satunya sudah dilakukan pemerintah daerah dan provinsi di DKI Jakarta dengan merelokasi warga korban kebakaran di permukiman padat ke hunian vertikal atau rumah susun (rusun) yang layak huni. Dari pemberitaan Kompas, upaya ini setidaknya sejak awal tahun 90-an.
Contohnya, Pemerintah Kota Jakarta Pusat yang membangun rumah susun sederhana milik bagi para warga RW 008 di lokasi eks kebakaran Bendungan Hilir. Rusun yang masih berdiri hingga saat ini tersebut menjadi bentuk penggantian yang diprioritaskan untuk warga terdampak kebakaran (Kompas, 14/10/1994).
Ketersediaan rusun yang semakin banyak juga memungkinkan korban kebakaran untuk direlokasi. Awal tahun 2021, misalnya, Pemkot Jakarta Timur yang bekerja sama dengan Dinas Perumahan dan Permukiman DKI menargetkan ratusan korban kebakaran di RW 013 Kelurahan Jatinegara mendapatkan rusun.
”Saya setuju kalau DKI bikin rusun untuk sediakan lahan hunian yang lebih luas dan tertata sehingga layak ditinggal dan dapat mencegah kebakaran,” ujar Endrawati.
Namun, menurut dia, penanggulangan kebakaran sebagai bencana buatan yang bisa dicegah adalah tanggung jawab semua pihak. Kebakaran yang kerap dipicu masalah listrik, misalnya, menjadi tanggung jawab penyedia infrastruktur kelistrikan. Lalu, tentunya, kesadaran masyarakat sebagai konsumen.
”Pemeliharaan rutin jaringan listrik dan penyediaan infrastruktur yang memadai itu jadi tanggung jawab penyedia. Lalu, warga juga harus paham untuk tidak menggunakan perangkat elektronik melebihi daya listrik di rumahnya, lalu mengantisipasi pencurian listrik dan sebagainya yang bisa memicu kebakaran,” ujarnya.
Edukasi penanggulangan
Adapun edukasi terkait kewaspadaan dan penanganan kebakaran menjadi tanggung jawab Dinas Gulkarmat DKI. Satriadi mengatakan, pihaknya tetap gencar menggalakkan hal tersebut kepada penduduk, khususnya di kawasan permukiman rencana kebakaran. Mereka melakukan sosialisasi di hampir 2.300 titik.
”Selama pandemi, kami tetap melakukan sosialisasi melalui pengeras suara, di mushala atau masjid untuk mengingatkan masyarakat akan bahaya kebakaran yang bisa terjadi kapan saja. Kami juga sampaikan agar kalau ada kebakaran, segera telepon 112. Pelayanan kami gratis, tanpa dipungut biaya,” ucapnya.
Inovasi itu, menurut dia, membuat angka kejadian kebakaran turun dan cenderung stagnan dua tahun terakhir. Frekuensi kebakaran pada 2020, contohnya, hanya 1.505 kasus atau turun 31 persen dibanding 2.183 kasus sepanjang 2019. Adapun kasus di 2021 hanya naik 30 kasus dari kasus kebakaran di tahun 2020.
Persentase kebakaran yang dapat diatasi sendiri oleh masyarakat juga terus meningkat dari 7,70 persen di 2019, menjadi 9,10 persen di 2020, lalu naik menjadi 11,34 persen di 2021.
Pada akhirnya, dalam menghadapi risiko bencana kebakaran, warga harus mau beralih ke kesadaran yang lebih baik akan berbagai risiko penyebab kebakaran. Pemerintah dan instansi terkait juga bertanggungjawab mewujudkan infrastruktur hunian yang lebih tertata dan mengutamakan aspek keamanan.