Omicron DKI Terus Naik, Transmisi Lokal Dekati Kasus karena Pelaku Perjalanan
Memasuki akhir Januari, peningkatan kasus aktif di Jakarta terus terjadi. Kasus Omicron juga meningkat dan mendominasi kasus sehingga DKI mewaspadai pertambahan kasus dari transmisi lokal.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga saat ini, kasus Covid-19 varian omicron di DKI Jakarta sudah mencapai 2.525 kasus. Peningkatan kasus, khususnya dari transmisi lokal, kian diwaspadai. Ahli epidemiologi meminta DKI Jakarta meningkatkan deteksi kasus, memperkuat 3T, serta mempercepat vaksinasi.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria, Minggu (30/1/2022), menyatakan, kasus Omicron di Jakarta dalam dua hari ini ada di angka 2.525 kasus dengan rincian 1.373 kasus merupakan kasus karena perjalanan luar negeri dan 1.152 kasus transmisi lokal. ”Ini sebentar lagi terbalik. Sebelumnya kasus Omicron impor yang besar, kasus transmisi lokal akan bisa lebih besar,” ujarnya.
Data Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyebutkan, kasus Omicron meningkat signifikan sepekan terakhir. Pada 23 Januari, kasus Omicron tercatat 1.313 kasus, 24 Januari 2022 menjadi 1.584 kasus, 25 Januari menjadi 1.697 kasus, dan 26 Januari bertambah lagi sehingga menjadi 1.922 kasus. Angka kasus melonjak pada 27 Januari menjadi sebanyak 2.404 kasus, lalu pada 28 dan 29 Januari ini jumlah kasus Omicron mencapai 2.525 kasus.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia secara terpisah menjelaskan, dengan peningkatan kasus Omicron, kasus aktif juga meningkat. Apabila pada 23 Januari kasus aktif bertambah 1.217 kasus sehingga total kasus aktif di Jakarta ada 9.057 kasus, dalam dua hari ini kasus aktif bertambah signifikan.
Pada 28 Januari, kasus aktif bertambah 3.089 kasus sehingga total kasus aktifnya 19.419 kasus. Pada 29 Januari, jumlah kasus aktif bertambah 3.978 kasus sehingga total kasus aktif menjadi 23.397 kasus.
Dari penambahan kasus aktif itu, menurut Dwi, pada 28 Januari 2022 dari kasus total sebanyak itu, transmisi lokalnya 18.341 kasus atau 91,2 persen, sedangkan pada 29 Januari, kasus transmisi lokal tercatat 22.247 kasus atau 92,2 persen.
Menurut Dwi, masyarakat harus mewaspadai penularan yang meningkat di Jakarta. Apalagi, dari deteksi dengan menggunakan pengurutan keseluruhan genom (whole genome sequencing/WGS), juga dengan tes PCR–SGTF, diketahui bahwa varian Omicron mendominasi kasus di DKI Jakarta.
Pemerintah Provinsi DKI sendiri, menurut Ahmad Riza, terus mewaspadai peningkatan jumlah kasus Omicron ataupun peningkatan jumlah kasus akibat transmisi lokal ini. DKI Jakarta meningkatkan jumlah tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, melakukan pengawasan dan evaluasi, serta mengoptimalkan kerja satgas Covid-19. Sanksi bagi unit-unit kegiatan seperti pasar, pusat perbelanjaan, pabrik, dan restoran diberikan bagi yang melanggar.
Untuk keterisian tempat tidur (BOR) di rumah sakit yang menangani Covid-19, ujar Ahmad Riza, memang ada peningkatan juga. Tempat tidur isolasi bukan ICU saat ini sudah terisi 56 persen. ”Hari sebelumnya masih 54 persen, sekarang meningkat lagi dari 4.361 terisi 2.426. Jadi, 56 persen BOR-nya. Untuk BOR ICU sudah 19 persen. Naik lagi,” paparnya.
Meski begitu, Dwi melanjutkan, kasus masih bisa tertangani. ”Yang membutuhkan perawatan di RS masih tertangani dengan baik,” katanya.
Dibandingkan situasi kegawatan Covid-19 pada Juli 2021, kata Dwi, saat ini jumlah tempat tidur yang tersedia di semua RS yang menangani Covid-19 sekitar 5.000 unit, lebih sedikit dibandingkan pada Juli 2021 yang tersedia 12.000 tempat tidur. ”Kita meningkatkan ketersediaan tempat tidur ini seiring meningkatnya kebutuhan di RS,” ucapnya.
Pada saat kasus makin tinggi, akan lebih banyak tempat tidur yang dikonversi, yaitu dari tempat tidur untuk pasien non-Covid diubah ke layanan Covid-19. ”Itu salah satu strategi untuk berusaha memenuhi layanan di RS untuk pasien Covid pada saat kasus meningkat,” kata Dwi.
Ahmad Riza menambahkan, merespons peningkatan jumlah kasus, ia pun mengimbau masyarakat untuk tetap berdisiplin menerapkan protokol kesehatan dan membatasi mobilitas dengan berada di rumah. ”Sekalipun sudah divaksin, jangan kendur, jangan euforia,” katanya,
Secara terpisah, ahli epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman, menyatakan, seiring peningkatan jumlah kasus aktif yang didominasi varian Omicron, Pemprov DKI harus meresponsnya dengan sangat serius. Apalagi, 80-90 persen kasus Omicron tidak bergejala atau bergejala ringan sehingga membuat orang tidak hafal atau waspada. Apalagi di Indonesia, literasi masyarakat terhadap kesadaran ini masih sangat harus ditingkatkan
Untuk itu, lanjut Dicky, DKI perlu melakukan mitigasi kuat sebagai pencegahan. Langkah 3T (pengetesan, penelusuran, perawatan) harus dilakukan secara aktif supaya penularan tidak banyak merambah kepada kelompok rentan, seperti anak-anak, warga lansia, dan orang dengan komorbid. Deteksi kasus yang diikuti isolasi karantina penting dilakukan.
”Dengan konteks saat ini, karena banyak yang tidak bergejala, bahkan ringan dan sedang, jangan bebani faskes. Lakukan literasi isolasi karantina mandiri yang siap secara teknis, klinis. Ada telemedicine, ada pemantauan,” jelasnya.
Namun, untuk masyarakat yang tidak bisa melakukan isolasi mandiri dengan alasan teknis klinis, supaya tidak membebani faskes seperti RS, perlu disiapkan tempat isolasi terpadu yang dekat dengan masyarakat, misalnya memanfaatkan fasilitas umum di kelurahan atau kecamatan. Obat-obatan dan oksigen perlu disiapkan. Sementara tenaga kesehatan juga perlu dilengkapi dengan alat pelindung diri (APD).
”Di sisi itulah perlu penguatan sistem rujukan, selain tadi deteksi dan penjangkauan ke komunitas. Sistem rujukan juga diperketat supaya orang tidak asal nyelonong ke RS. APD untuk nakes (tenaga kesehtan), obat, dan oksigen perlu disiagakan. Bukan tidak akan ada seperti Delta, tetap bisa ada. Jangan mengentengkan,” kata Dicky mengingatkan.
Adapun untuk pembatasan ketat, menurut Dicky, belajar dari banyak negara yang juga menghadapi peningkatan kasus yang didominasi varian Omicron, tidak perlu ada lockdown. Hal itu terkait upaya vaksinasi yang terus berjalan. Apabila pemerintah hendak meningkatkan level pembatasan karena jumlah kasus naik, ia mengingatkan, langkah itu harus mempertimbangkan data cakupan vaksinasi atau imunitas, beban di faskes, ataupun angka reproduksi atau tes positivity rate-nya.
”Karena ini bicara cakupan vaksinasi atau imunitas, coverage imunitas yang sudah cukup misalnya untuk konteks Jawa dan Bali. Tapi, pada daerah-daerah, jadi bicara dampak Omicron itu bergantung pada landscape dari imunitas di wilayah, landscape dari imunitas di provinsi atau kabupaten/kota itu. Sehingga, bahwa urgensi atau keperluan menerapkan PPKM level 3 atau 4 itu sebenarnya akan bergantung pada landscape imunitasnya itu,” tuturnya.
Dicky mengingatkan, percepatan atau akselerasi vaksinasi pun perlu dikerjakan. Pekerjaan rumah besar ada pada akselerasi vaksinasi penguat (booster) dan vaksinasi pada kelompok yang baru mulai, seperti anak-anak.