Buanglah Sampah Sembarangan, Kau Kena Azab!
Saya sengaja pakai bawa-bawa Tuhan. Masa mereka tidak takut Tuhan! Sejak poster itu dipasang, belum ada yang berani buang sampah di sini.
Praktik buang sampah seenaknya di pinggir jalan, tanah kosong, sampai pekarangan rumah orang lain sudah dalam taraf menjengkelkan. Saking jengkelnya, beberapa warga memasang aneka spanduk berisi peringatan, kecaman, hingga doa bernada ancaman: ”Ya Allah berilah azab kepada orang yang buang sampah di sini”. Kalau sudah begini, konflik horizontal tinggal menunggu waktu.
Setiap pagi saat membuka kios rokok kecilnya di pertigaan Jalan Lurah Disah, Ciputat Timur, Banten, Siti Hasibuan kerap menemukan buntelan-buntelan sampah yang ditaruh tepat di seberang kiosnya. Isinya mulai sisa makanan, popok bayi, pembalut, kasur dan bantal bekas, bangkai tikus, dan bangkai kucing. Dengan perasaan dongkol, ia terpaksa memusnahkan tumpukan sampah itu dengan cara dibakar. Jika sampahnya berupa bangkai kucing, ia menguburnya di tanah kosong.
”Capek setiap hari bersihin sampah yang dibuang orang. Tapi kalau tidak saya urus, baunya minta ampun,” kata Siti, Kamis (6/1/2022). Ia menunjuk sisa pembakaran sampah di depan kiosnya.
Kejadian itu terus berulang selama satu tahun sejak ia membuka kios di sana. Ia mendapat informasi bahwa si pelaku membuang sampah pada dini hari. ”Saya dan suami ronda untuk mergokin yang buang sampah. Mau saya maki-maki. Tapi enggak pernah berhasil.”
Kemudian, ia mencoba memasang poster dengan tulisan ”Dilarang buang sampah di sini!”. Maksudnya agar orang paham bahwa pinggir jalan bukan tempat sampah. ”Memang enggak ada lagi yang buang sampah di bawah poster itu. Tapi mereka buang sampah di sebelahnya, semeter dari poster. Coba abang pikir, mereka manusia macam apa?” kata Siti jengkel.
Lantaran marah tapi tak berdaya menghadapi kelakuan pembuang sampah, ia akhirnya membuat spanduk berisi doa yang mengancam. Bunyinya: ”Ya Allah yang Buang Sampah Beri Azab, Miskinkan, Masukan Nerakah-Mu”. Spanduk berwarna putih itu masih membentang di tembok di seberang kiosnya.
”Saya sengaja pakai bawa-bawa Tuhan. Masa mereka tidak takut Tuhan! Sejak poster itu dipasang, belum ada yang berani buang sampah di sini. Takut kena azab rupanya,” ujar Siti dengan logat Batak.
Dua tiga tahun terakhir, poster dan spanduk serupa itu mudah ditemukan di beberapa tempat di Ciputat, Pamulang, Ciledug, Pondok Cabe, Cireundeu, dan sekitarnya. Isinya mulai sekadar peringatan seperti ”Sampahmu Tanggung Jawabmu, Dilarang Buang Sampah Di sini!”, ”Di Sini Bukan tempat Sampah”, sampai yang isinya meminta Tuhan menghukum pelaku seperti ”Yang Buang Sampah di Sini Pasti Dapat Musibah. Amin”.
Poster atau spanduk bernada mengancam pelaku juga banyak dibentangkan. Ada yang berbunyi ”Buang Sampah di Sini Nyawa Taruhannya!!! Jangan Salahkan Kami!!”, ”Buang Sampah di Sini Kami Telanjangin!”.
Kejengkelan yang sudah sampai ”ubun-ubun” juga dirasakan Dewi (44) dan Dani (43), warga Beji, Depok, Jawa Barat. Betapa tidak, banyak orang seenaknya membuang sampah pinggir-pinggir jalan yang sepi Jalan Curug Agung tak jauh dari lokasi proyek Tol Cijago, Jalan Curugan serta Jalan Bungur, Kukusan. Begitu ada sedikit tanah kosong di pinggir jalan, tak lama jadi tempat orang membuang sampah.
Kamis (6/1/2022), beberapa bungkus tas plastik berisi sampah tampak tergeletak di pinggir jalan tak jauh dari proyek Jalan tol Cijago. Sebagian tampak baru dibuang. Selain mengganggu pemandangan, bau tak sedap selalu tercium di ruas jalan itu. Apalagi bila plastik pembungkus sampah pecah dilindas roda sepeda motor atau mobil.
”Buang sampah di pinggir jalan yang dilewati banyak orang, itu kok bisa sih? Apa mereka enggak pernah diajari buang sampah yang benar? Kok bisa begitu enggak pedulinya sama lingkungan,” kata Dewi kesal.
Belakangan ini, pembuang sampah menyasar bak pembuangan sampah dekat Masjid Nuruttaqwa. Akibatnya, jumlah sampah yang harus diangkut petugas sampah menggunung. ”Saya yang repot. Mereka enggak bayar iuran tapi buang sampah di situ,” kata Udin yang mengurusi sampah untuk lima perumahan di kawasan Beji.
Ia setiap hari bisa mengambil sampah hingga empat truk. Keterbatasan lahan, membuat Udin terpaksa menggunakan lahan rumahnya sebagai tempat bongkar muat sebelum sampah-sampah itu dibawa ke TPA Cipayung.
Vulgar
Udin tak jarang memergoki para pembuang sampah liar itu. Namun, karena merasa tak punya kewenangan untuk menegur, Udin tak bisa berbuat apa-apa. ”Ya, saya liatin aja orangnya. Sambil geleng-geleng kepala karena enggak habis pikir sama kelakuan mereka.”
Biasanya, lanjut Udin, mereka membuang sampah di malam hari. Ia menduga pelakunya orang dari luar wilayah karena biasanya bungkusannya diikat rapi. Ada juga yang pakai karung. ”Kalau orang sini enggak mau ngotorin wilayahnya sendiri kan istilahnya,” kata Udin.
Praktik buang sampah seenaknya sebagian dilakukan sembunyi-sembunyi, tetapi ada juga yang terang-terangan. Jika malam-malam melewati jalan di bawah jembatan layang Ciputat dan sekitar Pasar Cimanggis, Ciputat, kita mudah memergoki orang yang membawa buntelan sampah dengan sepeda motor. Setelah berhenti sejenak dan tengok kiri-kanan, ia melempar buntelan sampah itu di bawah jalan layang, pemisah jalan atau pinggir jalan.
Zezen Zaenal Mutaqin, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, pernah memergoki pelaku yang akan membuang sampah di Jalan Villa Pamulang, Tangerang Selatan, dekat tempat tinggalnya. Lantaran jengkel, ia menekan klakson mobilnya dalam-dalam sambil menyalakan lampu dim berkali-kali ke arah si pembuang sampah yang bermotor itu. Tujuannya agar si pelaku malu dan urung membuang sampah.
”Eh, ternyata enggak juga tuh. Tetap saja orang itu dengan santai melempar beberapa kantong plastik berisi sampah lalu ngeloyor pergi. Seperti tidak ada perasaan bersalah atau malu,” cerita doktor bidang hukum lulusan University of California Los Angeles itu, Kamis (6/1/2021).
Akibat kelakuan mereka, sampah menumpuk dan teronggok begitu saja di Jalan Villa Pamulang, dekat aliran sungai. Foto tumpukan sampah itu, lanjut Zezen, bahkan bisa dilihat di fitur aplikasi Google Street.
Tadinya, ia berpikir kebiasaan itu telah sirna terutama di kawasan yang ditumbuhi banyak kluster perumahan kelas menengah ke atas. Ternyata perilaku itu makin parah. Ini juga terjadi di banyak tempat lain di Indonesia. ”Saya pernah jalan ke beberapa daerah lain, Ketanggungan dan Bumiayu di Brebes, itu ya sama juga polanya. Pokoknya kalau ada sungai dan ada jembatan biasanya ada sampah (dibuang) di situ,” katanya.
Mengapa kebiasaan buruk ini tetap lestari?
Dari kacamata Zezen yang seorang ahli hukum, fenomena ini bisa dijelaskan dengan teori Broken Window yang mengilustrasikan bangunan rumah kosong dengan banyak jendela kaca. Jika ada seseorang melempar batu dan memecahkan satu kaca jendela rumah tadi, lantas dibiarkan, akan ada orang lain yang melempar batu dan memecahkan kaca jendela lainnya. Itu terjadi lantaran orang menganggap hal itu boleh dilakukan atau setidaknya perbuatan itu dianggap bukan pelanggaran atau kejahatan.
Secara sosiologis, Oekan S Abdoellah, Guru Besar Ekologi Manusia FISIP Universitas Padjadjaran, Jawa Barat, menilai ada banyak kekurangan yang dimiliki masyarakat Indonesia, seperti sikap egoistis alias berfokus pada diri sendiri (self centered), kurang peka terhadap lingkungan, baik biofisik maupun sosial. Selain itu, masyarakat juga kurang pengetahuan tentang persampahan dan kesadaran pentingnya membuang sampah dengan benar. ”Pokoknya asal bukan di tempat saya buang sampahnya. Not in my backyard,” ujarnya.
Untuk mengubah perilaku itu perlu proses peningkatan kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran untuk bisa mengatur diri sendiri itu perlu untuk diawasi dan dikontrol demi menghindari terjadinya konflik horizontal. Pemerintah juga harus berperan dan memberi akses mudah ke TPS.
Munculnya spanduk atau poster yang mengecam bahkan mengancam pelaku buang sampah sembarangan menunjukkan kejengkelan luar biasa dari warga yang dirugikan. Ini juga menunjukkan bahwa masyarakat secara umum tidak menoleransi praktik buang sampah seenaknya. Fenomena itu harus mendapat perhatian. ”Saya khawatir masyarakat bisa jadi main hakim sendiri atau memicu konflik horizontal,” ujar Oekan.
Zezen menambahkan, perlu ada yang namanya rekayasa sosial dan itu harus didorong oleh otoritas pemerintah untuk mengubah budaya masyarakat terkait sampah. Sayangnya, sepertinya soal ini ada di urutan bawah dalam prioritas pemerintah. Padahal, di luar negeri yang namanya pengelolaan sampah itu malah jadi rebutan karena sudah dianggap sumber duit lantaran bisa diolah jadi macam-macam.
Begitulah. Sementara di banyak komunitas atau negara, orang sudah bicara bagaimana mengelola dan memanfaatkan sampah rumah tangga sebanyak-banyaknya, sebagian dari kita masih berkutat membahas bagaimana memergoki dan membuat jera pelaku pembuang sampah sembarangan.
Ketika itu pun tidak berhasil, maka kita meminta Tuhan untuk mengatasinya. Ironis bukan?