Data Bansos Bermasalah, Peran RT dan RW Perlu Ditingkatkan
Pemutakhiran data penerima bantuan pun perlu diperbaiki, salah satunya dengan memaksimalkan peran RT dan RW di lingkungan warga.
Oleh
erika kurnia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyaluran bantuan sosial atau bansos masih banyak bermasalah karena pendataan yang buruk. Pemutakhiran data penerima bantuan pun perlu diperbaiki, salah satunya dengan memaksimalkan peran RT dan RW di lingkungan warga.
Masalah terkait pendataan bantuan sosial oleh instansi terkait banyak diadukan masyarakat, antara lain kepada Ombudsman Jakarta Raya. Laporan masuk dari berbagai wilayah selain Jakarta yang diawasi Ombudsman tersebut, seperti Bekasi, Depok, Tangerang, hingga Bogor.
”Salah satu laporan terhadap instansi daerah yang sering masuk dan di peringkat nomor satu yakni terkait bantuan sosial,” kata Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho, dalam seminar publik di Bogor, Jawa Barat, yang juga disiarkan secara virtual, Senin (6/12/2021).
Salah satu contoh bentuk laporannya adalah warga tidak terdaftar meski berhak menerima bantuan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bansos secara Nontunai, penerima bansos adalah seseorang, keluarga, kelompok, atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap risiko sosial.
RT dan RW memegang peran penting karena dekat dengan rakyat dan paling diandalkan untuk mendaftar, mengadu, dan lainnya.
Teguh berpendapat, permasalahan pendataan terkait bantuan sosial sudah menjadi masalah klasik. Masalah ini terus berulang karena adanya perbedaan data yang dilaporkan pemerintah daerah ke pusat. ”Salah satu upaya mengurai benang kusut ini adalah dengan melakukan kajian langsung terhadap warga,” ujarnya.
Upaya mengkaji masalah tersebut baru-baru ini dikerjakan Koalisi Reformasi Perlindungan Sosial yang terdiri dari Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) dan Perkumpulan Inisiatif. Koalisi tersebut membuat audit sosial yang diselenggarakan di Kota Bandar Lampung, Kota Tasikmalaya, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Provinsi DKI Jakarta.
Ari Nurman, Peneliti Perkumpulan Inisiatif, pada seminar itu, menjelaskan, audit sosial mereka antara lain mengkaji kebijakan pemutakhiran data fakir miskin atau orang tidak mampu di sepuluh daerah di Jawa Barat, termasuk Kabupaten dan Kota Bogor. Lalu, mengkaji proses pendaftaran bantuan secara mandiri oleh warga dan penanganannya oleh pemerintah.
Khusus di Jakarta, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor, kegiatan audit sosial melibatkan warga masing-masing berjumlah 1.727 responden, 702 responden, dan 650 responden. Lalu narasumber institusi tingkat RT, RW, dan kelurahan sebanyak 100 di Jakarta, 42 di Kota Bogor, dan 48 di Kabupaten Bogor.
Dalam hal pendataan, kata Ari, penelitian menemukan bahwa RT dan RW memiliki peran dominan. Sayangnya, mereka tidak punya kewenangan lain selain merekomendasikan warga penerima bantuan.
”RT dan RW memegang peran penting karena dekat dengan rakyat dan paling diandalkan untuk mendaftar, mengadu, dan lainnya,” kata Ari. Untuk itu, mereka merekomendasikan agar RT dan RW memaksimalkan partisipasi mereka dalam mendata warganya yang membutuhkan bantuan sosial.
Cara pendaftaran di luar jaringan yang merepotkan juga ditemukan sebagai kendala proses pendaftaran calon penerima bansos. Akibat lainnya, banyak masyarakat meminta bantuan pihak ketiga untuk mendaftar. Pengalihan kuasa ini tidak sedikit membuat kesalahan administrasi sehingga pendaftaran gagal.
Sementara itu, pendaftaran secara daring, seperti yang disediakan pemerintah Jakarta, masih dianggap menyulitkan karena masalah platform, keterlambatan informasi, dan sebagainya.
Namun, layanan pendaftaran daring juga terus dikembangkan. Dinas Sosial Kota Bogor, misalnya, tahun ini menggunakan aplikasi Sosial Integrasi Data (Solid) untuk membantu layanan bansos kepada warga. Aplikasi yang dibangun dengan anggaran Covid-19 itu masih perlu dikembangkan dan disosialisasikan.
Pada kesempatan sama, anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor, Endah Purwanti, juga meminta pemerintah pusat mengubah indikator kemiskinan agar warga yang sebenarnya membutuhkan bantuan bisa terjaring.
”Saya kira indikator kemiskinan juga perlu ada pemutakhiran. Indikator Kemensos tidak bisa lagi diikuti di Kota Bogor. Ada warga miskin yang rumahnya sudah bata dan bukan lantai tanah, Kota Bogor, misalnya, sudah enggak bisa pakai skala kemiskinan nasional,” ujarnya.
Dari hasil penelitian dan seminar itu, Teguh mengatakan, Ombudsman akan menyampaikan hasilnya sebagai rekomendasi kepada pemangku kebijakan di pusat. ”Kami akan sampaikan hasil diskusi ini ke pihak-pihak terkait,” janjinya.