Janji Air Bersih bagi Warga Rusunami City Garden Diadukan ke Gubernur DKI
Didampingi pengacara publik LBH Jakarta, warga rusunami mengadu kesulitan akses air bersih.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga perwakilan penghuni Rusunami City Garden Cengkareng yang tergabung dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rusunami City Garden mengadu ke Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Mereka mengadukan kondisi 12 tahun terakhir hunian tidak mendapatkan akses air bersih layak dari PAM, berbeda dengan janji pengembang pada saat pemasaran.
Pengaduan itu dilakukan 30-an warga perwakilan penghuni rusunami di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (26/11/2021). Pengaduan tersebut, dikatakan Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rusunami City Garden (P3CG) Suherman, merupakan puncak karut-marut pengelolaan Rusunami City Garden yang tak kunjung diserahkan pengembang kepada pemilik yang merupakan pelanggaran aturan hukum rumah susun.
Suherman menjelaskan, warga mulai menghuni rusunami yang berkapasitas 600 unit tersebut pada tahun 2008. Sejak awal warga menghuni, pihak pengembang, PT Reka Rumanda Agung Abadi, menunjuk PT Surya Citra Perdana sebagai pengelola.
Pihak pengelola menyediakan air tangki kepada warga meskipun warga meminta pemasangan layanan air PAM segera dilakukan agar tarif lebih murah, yang tak juga dilakukan. Berdasar proposal pengadaan PT Palyja sebagai operator PAM Jaya pada Agustus 2021, warga melalui pengelola harus membayar Rp 951 juta untuk pemasangan sambungan air bersih.
Tahun 2014, pengelola mengalihkan pengadaan sumber air melalui proyek Water Treatment Plant (WTP) yang dikelola pihak ketiga. Sejak saat itu warga mulai mengeluhkan kualitas air yang buruk. Air yang dikonsumsi warga berwarna keruh, sedikit berbau, yang kemudian memunculkan dugaan menjadi penyebab beberapa warga mengalami gatal-gatal dan timbul penyakit kulit.
Hasil uji laboratorium yang dilakukan warga secara mandiri bahkan menunjukkan hasil air yang tercemar dan berbahaya untuk digunakan. Pada Oktober 2021, WTP tersebut dinyatakan melanggar hukum oleh pemerintah dan ditutup. Sejak saat itu kebutuhan air bersih warga sama sekali tidak terpenuhi.
”Warga harus membeli secara mandiri dan membayar hingga lima kali lipat lebih mahal dari sebelumnya karena pengelola tidak menjalankan komitmennya menyediakan air bersih pengganti,” ujar Suherman.
Tidak hanya tidak mendapatkan air bersih, warga yang telah melunasi pembayaran juga hingga kini tidak mendapatkan sertifikat hak milik satuan rumah susun (SHMSRS). Warga juga mendapati pembangunan rusun tidak sesuai dengan yang dijanjikan dalam pemasaran dan justru mendapat intimidasi ketika melayangkan protes terhadap pengelolaan yang buruk.
Charlie Albajili, pengacara publik LBH Jakarta yang mendampingi warga ke Balai Kota DKI Jakarta, menyebutkan, permasalahan tersebut sejatinya adalah puncak gunung es dari persoalan abainya tanggung jawab pengembang pada tahap transisi untuk menyerahkan pengelolaan rusunami kepada pemilik setelah lebih dari 12 tahun penghunian. Tanggung jawab itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 Tahun 2019 yang meliputi pengurusan dokumen pertelaan, dokumen kepemilikan dan perizinan, serta memfasilitasi pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (P3SRS).
”Berbagai upaya telah dilakukan warga, mulai dari negosiasi dan mediasi dengan pengelola serta pengembang hingga pengaduan kepada dinas-dinas pemerintahan daerah terkait, tetapi urung mendapatkan penyelesaian. Oleh karena itu, warga melakukan aksi unjuk rasa dan penyampaian tuntutan pemenuhan hak secara langsung kepada Gubernur DKI Jakarta,” jelasnya.
LBH Jakarta berpandangan, upaya warga melayangkan pengaduan dan memohon pemenuhan hak kepada Gubernur DKI Jakarta adalah tepat. Sebab, pemenuhan hak atas air bersih merupakan hak asasi manusia dan tanggung jawab pemerintah daerah memastikan pemenuhannya berdasarkan ketentuan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 UU Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Sulit dan mahalnya proses pemasangan saluran air bersih oleh PAM/Palyja juga diduga sarat malaadministrasi jika melihat ketentuan Pergub DKI Nomor 16 Tahun 2020.
Adapun dalam hal pengembang yang melanggar hak warga dalam pengelolaan di masa transisinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berwenang melakukan pengawasan, melayangkan teguran, pemanggilan, hingga sanksi administratif dalam hal tidak dipatuhinya kewajiban yang diatur dalam Pergub DKI Nomor 133 Tahun 2019 dan juga PP Nomor 13 Tahun 2021.
”Gubernur tidak boleh membiarkan warganya sendirian melawan pengembang untuk pemenuhan haknya. Undang-undang memberikan kewenangan, bahkan tanggung jawab, bagi pemerintah daerah untuk melakukan intervensi demi terpenuhinya hak atas tempat tinggal layak dan hak atas air,” ujar Charlie Albajili selaku pendamping warga.
Sementara Sarjoko, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta, yang dihubungi untuk mendapatkan konfirmasi terkait permasalahan yang diadukan, pengelola, juga akses air bersih, belum merespons Kompas.