Dari Marah Jadi Terperangah di Stasiun Manggarai
Penataan stasiun, termasuk Stasiun Manggarai, bertujuan untuk mengurai kepadatan di fasilitas publik ini. Stasiun "baru" itu terbukti bisa mengakomodasi kebutuhan sirkulasi naik-turun penumpang dan yang sekedar transit.
Kesal dan Marah. Emosi itu familiar dirasakan pengguna kereta komuter di Jabodetabek di masa lalu ketika mendengar nama Stasiun Manggarai, yang kerap jadi biang hambatan perjalanan kereta. Akan tetapi, stasiun ini dan kualitas layanannya kini telah jauh berubah hingga membuat penggunanya terperangah kagum.
Anita Rosita (29), adalah salah satu warga yang menyimpan banyak kenangan dengan stasiun sentral di Jakarta Selatan itu. Ia pertama kali rutin menggunakan kereta komuter atau kereta rel listrik (KRL) semenjak memasuki dunia kerja pada 2014. Stasiun Manggarai selalu dilewatinya ketika berangkat dari rumahnya di daerah Depok, Jawa Barat, menuju Stasiun Gondangdia di Jakarta Pusat.
”Dulu saya sering kesal mendengar nama Stasiun Manggarai. Stasiun ini sering menahan kereta yang saya naiki ketika sampai di Stasiun Tebet atau ketika pulang dari Stasiun Gondangdia. Dulu sering juga kereta ketahan di Stasiun Manggarai, sampai bikin saya telat masuk kerja,” ujarnya saat diwawancarai bulan lalu.
Tidak hanya oleh warga Depok tersebut, warga Bogor, seperti Rina (35), yang berkantor di Juanda, Jakarta Pusat, juga sering mengalami keterlambatan keberangkatan kereta yang kadang berlangsung belasan hingga puluhan menit. Pengalaman itu ia masih alami sampai sekitar tahun 2018.
Ia kesal ketika operator hanya memberi pengumuman terlambatnya kedatangan kereta kepada penumpang tanpa menjelaskan alasan jelas. Jika kesiangan sampai kantor karena masalah kereta, ibu beranak dua itu akan meminta surat keterangan terlambat kerja yang disediakan manajemen KRL di stasiun. Namun, menurut dia, itu tidak selalu bisa jadi solusi.
”Saking seringnya minta surat terlambat kerja, saya sempat dikira bohong sama bos saya. Saya waktu itu sulit berangkat lebih awal ke kantor karena saban hari saya harus urus anak yang masih kecil. Saya hanya bisa luangkan waktu berangkat kerja satu jam untuk tiba di Jakarta pukul 08.00,” ujarnya.
Tidak hanya bagi kedua orang tersebut, pekerja urban yang selalu menempuh perjalanan jauh atau bermobilitas tinggi banyak yang dirugikan oleh keterlambatan perjalanan kereta. Bahkan, saking seringnya sampai muncul ungkapan di kalangan penumpang bahwa jadwal hanya sekadar catatan di atas kertas (Kompas, 6/6/2014).
Salah satu andil dalam keterlambatan kereta komuter adalah pemakaian jalur rel yang sama untuk beragam jenis kereta api. Selain menjadi jalur KRL rute Jakarta-Depok/Bogor juga Jakarta-Bekasi dan sebaliknya, rel yang ada di Jabodetabek juga digunakan untuk perjalanan kereta api penumpang jarak jauh (KAJJ) dan Kereta Api (KA) lokal.
Memang perlu ada edukasi bahwa infrastruktur transportasi publik tidak hanya untuk melayani kebutuhan sekarang, tetapi mengakomodasi pertumbuhan di masa depan.
Masalah ini terjadi di Stasiun Manggarai yang menjadi titik pertemuan KRL berbagai lintasan, baik dari Bekasi, Cikarang, Depok, Bogor, Kampung Badan hingga Jatinegara. Demikian juga, perjalanan KAJJ dari/ke Stasiun Gambir, Jakarta Kota, Tanjung Priok, hingga Merak yang melewati Stasiun Manggarai.
Padatnya, perjalanan kereta api, baik KAJJ maupun KRL, yang melintasi Manggarai, membuat sedikit saja keterlambatan atau gangguan perjalanan satu KA berimbas pada keterlambatan perjalanan KA berikutnya. Sebab, karakter perjalanan KA berbeda dengan jalan raya yang memungkinkan kendaraan menyusul serta menyalip dengan mudah apabila ada kendaraan yang terhenti.
Perjalanan KRL pun harus ditahan manakala ada KAJJ yang akan masuk atau keluar dari atau ke arah Stasiun Gambir ataupun Jakarta Kota.
Pada 2014, pengguna kereta komuter di Jabodetabek rata-rata 600.000 orang yang dilayani 669 perjalanan KRL per hari. Jumlah itu meningkat menjadi lebih dari 1 juta orang yang dilayani hampir 1.000 perjalanan KRL per hari, sampai sebelum masa pandemi Covid-19 di 2020.
Adapun 50 persen perjalanan KRL Jabodetabek transit di stasiun yang berlokasi di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, itu. Jumlah pengguna kereta yang transit di Manggarai pada masa normal mencapai rata-rata 30.000 orang per hari, bahkan pernah mencapai 70.000 orang per hari.
Jalur layang
Memori publik tentang Stasiun Manggarai yang ruwet dan kacau perlahan berubah membaik seiring dengan pengembangan infrastruktur yang terus berlanjut. Proyek pembangunan jalur dwiganda (double-double track/DDT) yang mulai dikerjakan pada awal 2019 dan terus dirampungkan sampai saat ini. Kini perubahan yang berdampak pada membaiknya layanan di sana sudah bisa dinikmati para pengguna KRL.
Sejak akhir September 2021, pengguna kereta bisa melihat kemegahan peron layang yang dilalui jalur 10,11,12, dan 13 di bangunan baru Stasiun Manggarai. Jalur baru itu menambah 9 jalur yang sudah ada selama ini. Empat jalur layang yang baru dibuka sementara ini dibuka seluruhnya untuk perjalanan KRL sentral Bogor–Jakarta Kota.
Penyesuaian ini pun menimbulkan decak takjub dari para pengguna setia KRL. Sepanjang akhir September hingga awal Oktober, perkembangan pembangunan di stasiun tersebut menjadi bahan pembicaraan di linimasa media sosial. Tidak sedikit komentar yang menyandingkan bangunan baru Stasiun Manggarai dengan stasiun di luar negeri.
Warga seperti Adam (21), yang tidak biasa menggunakan kereta, pun sampai rela pergi ke Stasiun Manggarai. Pemuda generasi Z ini mengaku penasaran dengan arsitektur bangunan tiga lantai yang sebagian ditutupi kaca, yang, menurut dia, bagus untuk dijadikan latar foto.
”Saya dan beberapa teman sempat pergi ke sana untuk cari konten awal Oktober kemarin. Itu pertama kalinya saya datang ke Stasiun Manggarai,” ungkap warga Jakarta Timur itu.
Walau demikian, ada juga sebagian kecil dari warga yang mengeluhkan besarnya bangunan yang dibangun di sisi barat stasiun. Posisi jalur baru yang berada di lantai tiga dinilai merepotkan karena sulit dijangkau dari pintu masuk di sisi timur stasiun.
Baca Juga: Langkah Awal Menjanjikan Penataan Stasiun di Ibu Kota
Hal ini diungkapkan warga Pamulang, Tangerang Selatan, Meta (27), yang sesekali menggunakan kereta melalui Stasiun Manggarai untuk bekerja di Cikini, Jakarta Pusat. ”Selama ini saya biasa naik sepeda motor. Masih belum berani naik kereta karena perjalanan bisa lebih lama dan agaknya capek kalau ketika transit harus naik-turun tangga,” ujarnya.
Vice President Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba, beberapa waktu lalu, menjelaskan, pembangunan infrastruktur di stasiun mereka, termasuk Stasiun Manggarai, selalu mengutamakan keselamatan dan keamanan.
Seperti halnya jalur penyeberangan bawah tanah di Stasiun Manggarai, jalur itu ada untuk menghindari risiko kecelakaan penumpang jika menyeberang melalui rel kereta.
”Kalau alasannya capek, lihat stasiun di luar negeri, penumpang harus naik-turun dua empat lantai. Memang perlu ada edukasi bahwa infrastruktur transportasi publik tidak hanya untuk melayani kebutuhan sekarang, tetapi mengakomodasi pertumbuhan di masa depan," katanya.
Sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi, Anne menambahkan, Stasiun Manggarai akan dilengkapi lebih banyak fasilitas, seperti lift dan eskalator yang ramah bagi penyandang disabilitas, jembatan multiguna yang terhubung dengan halte bus Transjakarta, hingga layanan berbasis internet lainnya.
Selain penataan sisi barat stasiun yang sudah nyaris sempurna, penataan sisi timur stasiun itu saat ini sedang dikerjakan PT Moda Integrasi Transportasi Jakarta (MITJ) melalui kegiatan penataan empat stasiun terpadu tahap kedua. Adapun penataan di dalam staisun akan dikerjakan bersama PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Terurai
Kepadatan simpul perjalanan kereta di Stasiun Manggarai yang mulai terurai menjadi tujuan utama dari proyek DDT. Direktur Prasarana Perkeretaapian Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Harno Trimadi menyatakan pemisahan kereta antarkota dengan kereta dalam kota merupakan konsep besar pembangunan DDT.
”Penumpang kereta antarkota dan penumpang kereta dalam kota bisa dilayani dengan seimbang, serta nantinya akan bertemu di Manggarai,” katanya dalam diskusi bertajuk ”Stasiun Manggarai Baru, Tonggak Pelayanan Baru” yang digelar Institut Studi Transportasi (Kompas.id, 3/11/2021).
Tidak hanya kedua kereta itu, kereta bandara akan beroperasi di jalur sisi barat stasiun yang pertama kali didirikan tahun 1918 itu.
Bertambahnya jalur baru di stasiun sejauh ini dirasakan berdampak pada perjalanan para pengguna kereta. Kekhawatiran yang kerap menghantui warga seperti Anita dan Rina di masa lalu pun tidak terjadi lagi.
”Sekarang enggak ada lagi antrean kereta setiap mau masuk ke Stasiun Manggarai. Izin telat karena kereta terlambat cukup jadi kenangan saja,” kata Rina yang masih setia menggunakan kereta untuk perjalanan kerja pulang-pergi.
Anita merasakan hal yang sama. Ia berharap ketika mobilitas pengguna kereta kembali normal, tidak ada lagi antrean kereta atau kepadatan penumpang dengan adanya penambahan jalur di Stasiun Manggarai.
Baca Juga: Manggarai Baru Dikembangkan sebagai Stasiun Sentral Tersibuk
Selama pandemi dan pembatasan kegiatan masyarakat diterapkan secara ketat, jumlah penumpang KRL Commuter Line menurun drastis. Pada Oktober 2021, jumlah pengguna KRL rata-rata 351.324 pengguna per hari, sedikit meningkat dibanding rata-rata September yang mencapai 282.760 pengguna setiap hari.
Selama pembatasan kegiatan masyarakat itu, jumlah pengguna yang menurun tidak mengurangi operasional dan layanan KRL Jabodetabek. Mulai 17 Oktober, 999 perjalanan KRL dioperasikan per hari dari sebelumnya sebanyak 994 perjalanan per hari. Operasional perjalanan kereta difokuskan pada jam-jam sibuk di pagi dan sore hari.
Pada November ini dan seterusnya nanti, seiring membaiknya tren kasus pandemi, mobilitas warga diperkirakan semakin tinggi termasuk dengan penggunaan kereta komuter Jabodetabek. Pengembangan Stasiun Manggarai tentu akan mengatasi ruwetnya lalu lintas perjalanan kereta dan turut membantu mencegah terjadinya kerumunan massa yang bisa menjadi mempermudah penularan Covid-19.
Kemarahan penumpang pun sudah selayaknya dipendam sebagai pengalaman masa lalu yang tidak perlu lagi dikenang.