Spirit Kwan Kong Iringi Satu Dekade Museum Benteng Heritage
Satu dasawarsa sudah Museum Benteng Heritage berdiri kokoh di tengah gang sempit dengan hiruk pikuk pasar tumpah di Jalan Cilame, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
·3 menit baca
Satu dekade berlalu. Suasana di Jalan Cilame, Kelurahan Sukasari, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten, masih sama. Lapak-lapak pedagang tergelar, pejalan kaki dan pengendara hilir mudik.
Satu bangunan tua bercorak Tionghoa berdiri kokoh. Bangunan yang diresmikan pada 11 November 2011 itu menyempil di tengah lapak pedagang. Dari depan gerbang tampak sejumlah ornamen dan artefak Tionghoa.
”Sejak Agustus sudah buka, mulai pukul 10.00 hingga pukul 16.00. Ada saja pengunjung yang datang, paling banyak Sabtu dan Minggu,” ujar Martin, pemandu wisata di Museum Benteng Heritage, Jumat (12/11/2021).
Dengan biaya Rp 30.000, pengunjung sudah bisa mengelilingi bangunan bersejarah yang diperkirakan berasal dari akhir tahun 1700-an Masehi. Namun, selama masa pandemi Covid-19, rombongan dibatasi maksimal 10 orang dan wajib menjaga jarak dengan berdiri sesuai stiker jaga jarak berwarna merah yang tertempel di lantai.
Pengunjung juga tak boleh memotret atau merekam di dalam museum yang menampilkan sejarah panjang peranakan Tionghoa dan percampuran dengan budaya lokal Betawi-Sunda. Itu terjadi sejak muhibah Cheng Ho ke pesisir Tangerang akhir 1400-an Masehi.
Bentuknya ada batik peranakan, perlengkapan rumah sehari-hari yang berasal dari Tiongkok, dan seni budaya yang berbaur dalam orkes gambang kromong.
Sementara rumah yang menjadi museum terdiri dari bangunan dua lantai. Lantai dasarnya berupa tegel tua. Ornamen pecahan keramik dan berbagai bahan yang membentuk relief kisah Tionghoa klasik menghiasi bangunan.
Pengunjung wajib melepas alas kaki sebelum naik ke lantai dua yang berlantai kayu. Terdapat koleksi timbangan candu, kecap, aneka keramik kuno, uang, foto-foto, perabot tua, dan altar Kwan Kong.
”Koleksi kami bersihkan setiap dua pekan atau sebulan sekali,” ujar lelaki yang sudah 5 tahun mengurus museum itu. Ia berharap di usia ke-10 tahun, Museum Benteng Heritage semakin berkembang. Begitu juga minat wisatawan atau warga.
Spirit
Keberadaan altar Kwan Kong bukan tanpa alasan. Kwan Kong menjadi bagian dari Museum Benteng Heritage. Karakternya yang kesatria/berani, jujur/adil, dan setia, mengilhami Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage, untuk terus mengembangkan museum dan segala kegiatannya.
”Tepat 11/11/11, lahir karya orang gila dengan segudang ide kreatif. Bangunan bersejarah peninggalan abad ke-17 menjadi Museum Benteng Heritage. Museum cagar budaya di Kota Tangerang yang berusia 10 tahun. Berperan dalam bidang budaya, sejarah, arsitektur, dan kuliner,” tuturnya dalam webinar, Kamis (11/11/2021) malam.
”Nonton Pehcun di Kali Tangerang” mengalun, mengawali pemerhati budaya Tionghoa itu menuturkan kilas balik perjalanan 10 tahun museum, sejak restorasi bangunan hingga kini.
Ketika proses bersih-bersih, ada harta karun. Ada relief yang awalnya tidak tahu itu apa. Ternyata karya luar biasa tentang Kwan Kong.
Ia senang kerja setengah gilanya selama 10 tahun menghasilkan banyak kenalan dan sahabat melalui keberadaan museum di kawasan titik nol Kota ”Benteng” Tangerang.
Sejak membeli bangunan tua yang sekarang bersolek menjadi museum, Udaya mendapati temuan penting. Itu adalah Kwan Kong, sosok inspiratif dengan tiga karakter mulianya.
”Ketika proses bersih-bersih, ada harta karun. Ada relief yang awalnya tidak tahu itu apa. Ternyata karya luar biasa tentang Kwan Kong,” ujarnya.
Semenjak itu tak terhitung peluh, waktu, dan tenaganya yang habis untuk menelusuri sejarah bangunan cikal bakal Museum Benteng Heritage. Mulai dari Kota Tangerang, Lasem di Jawa Tengah, hingga Penang dan Melaka di Malaysia didatangi demi menemukan kepingan-kepingan sejarah.
Satu pelajaran dipetiknya, membongkar lebih mudah ketimbang mengembalikan ke asalnya. Untuk itu, harus punya ketulusan untuk melakukan sesuatu, seperti halnya Kwan Kong.
Udaya menyadari banyak capaian, begitu juga pekerjaan rumah. Ia masih harus menyatukan seluruh bangunan museum yang tadinya satu rumah, tetapi dibagi menjadi tiga oleh pemilik sebelumnya.
”Sejauh ini baru dua pertiga dari satu rumah besar yang sudah jadi museum. Satu lagi belum dilepas pemiliknya,” katanya.
Udaya meyakini kuno itu indah dan mahal sekali nilainya. Tidak akan ada yang sia-sia dari kerja gilanya selama 10 tahun terkahir dan untuk waktu yang akan datang. Semuanya hanya untuk warisan kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kesetaraan kepada anak cucu.