Hunian Sewa, Solusi Kebutuhan Rumah bagi Milenial di Pusat Kota
Kebutuhan rumah di Jakarta tidak akan lagi menggunakan konsep hak milik, melainkan sewa. Rusunawa, indekos, sewa apartemen dan rumah tapak bisa menjadi hunian transit sebelum milenial mampu membeli rumah.
Oleh
M Puteri Rosalina/ Satrio Wisanggeni/Fransiskus Wisnu/Albertus Krisna
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Menara Accordion salah satu menara yang telah siap huni dari lima menara proyek LRT City Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (23/9/2021). LRT City Jatibening memiliki total 4.230 unit apartemen yang berdiri di atas lahan seluas 6 hektar. Selain unit tempat tinggal lokasi tersebut juga dilengkapi dengan 18 unit ruko, mal, area parkir seluas 47.850 meter persegi, kolam renang, taman dan ruang kerja bersama atau coworking space. Proyek LRT City Jatibening yang dikerjakan PT Adhi Commuter Properti (ADCP) merupakan salah satu dari 11 proyek hunian berkonsep transit oriented development (TOD) yang terintegrasi dengan transportasi massal LRT.
JAKARTA, KOMPAS — Hunian sewa menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan rumah di kota besar. Selain karena alasan keterbatasan lahan, juga akan memudahkan pekerja milenial bergaji selevel upah minimum provinsi atau UMP untuk bisa menikmati hunian layak. Diperlukan intervensi pemerintah untuk memberikan insentif dan mengatur sistem sewa hunian.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Khalawi Abdul Hamid menilai pemenuhan kebutuhan rumah di kota besar seperti Jakarta tidak akan lagi menggunakan konsep hak milik, melainkan sewa. Migrasi penduduk akan terus terjadi di Jakarta dan akan membuat kapasitas kota semakin padat.
Menurut Khalawi, dengan Badan Bank Tanah, pemerintah sebetulnya bisa membentuk kerja sama dengan pihak swasta untuk membuat rumah sewa lebih banyak. ”Untuk kota besar ini sebetulnya harus high rise. Tetapi kadang-kadang, orang memang belum biasa tinggal di rumah high rise. Jadi, sekarang ini kita siapkan rumah landed, tetapi agak jauh,” kata Khalawi.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kondisi Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Pasar Rumput yang telah selesai dibangun, Setia Budi, Jakarta Selatan, Selasa (30/7/2019). Bangunan yang terdiri atas tiga menara dengan 25 lantai ini berisi hunian sebanyak 1.984 unit dan 1.314 unit kios.
Rusunawa menjadi salah satu konsep hunian sewa yang ditawarkan pemerintah. Salah satunya Rusunawa Pasar Rumput yang mencapai 1.984 unit. Rusunawa yang baru diresmikan Presiden Jokowi akhir September lalu tersebut merupakan hunian tipe 36 untuk keluarga.
Senada dengan Khalawi, Founder and Chairman Jababeka Group Setyono Djuandi Darmono mengatakan, selama milenial belum mampu membeli rumah, mereka bisa menggunakan hak pakai. Mereka bisa menyewa hunian dengan banyak pilihan, seperti indekos, sewa apartemen, atau rumah tapak.
Untuk kota besar ini sebetulnya harus high rise. Tetapi kadang-kadang, orang memang belum biasa tinggal di rumah high rise. Jadi sekarang ini kita siapkan rumah landed, tetapi agak jauh.
Menurut dia, para milenial tersebut untuk sementara waktu bisa menyewa unit-unit apartemen di pusat kota yang dekat dengan tempat kerja. ”Dengan menyewa apartemen, anak muda bisa menabung untuk membeli rumah, bisa tinggal layak tanpa harus jalan puluhan kilometer dan meningkatkan harga diri karena tinggal di apartemen,” katanya.
Darmono juga menambahkan, para milenial bisa memanfaatkan unit-unit apartemen yang dimiliki kalangan menengah atas di pusat kota. Selama ini, menurut dia, banyak unit apartemen yang kosong karena hanya digunakan sebagai investasi.
KOMPAS/KELVIN HIANUSA
Apartemen di kawasan Jakarta Barat. Apartemen atau hunian vertikal diproyeksi menjadi tempat tinggal masa depan bagi generasi milenial. Kemeterian PUPR pun sedang menyediakan rusunawa dan rusunami untuk para milenial
Data BPS menyebutkan, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati bangunan sewa tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Sebanyak 37,7 persen rumah tangga di Jakarta tinggal di hunian sewa.
Pengeluaran rata-rata per bulan untuk menyewa rumah menurut BPS adalah Rp 314.778 per kapita. Nilai tersebut tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Dalam setahun, jika satu rumah ditempati oleh empat orang, berarti tiap bulan harus mengeluarkan uang Rp 1,26 juta atau sekitar 15 juta dalam setahun.
Jika pekerja milenial yang bergaji setara UMP Jakarta, yakni sekitar Rp 4,5 juta, mengeluarkan biaya kontrak sekitar Rp 300.000, tidak terlalu berat, hanya sekitar 7 persen dari penghasilannya. Namun, jika milenial tersebut telah berkeluarga, biaya sewa tersebut sedikit banyak akan memengaruhi penghasilannya karena berarti harus membayar Rp 1,2 juta per bulan hanya untuk membayar rumah sewa.
Tarif sewa hunian yang tinggi tersebut, menurut Darmono, bisa diatur oleh pemerintah. ”Pemerintah bisa mengambil alih rumah-rumah kosong milik orang kaya. Daripada kosong, bisa disewakan pada anak-anak milenial yang belum mampu membeli rumah,” sebutnya.
Menurut dia, pemerintah selain menentukan tarif sewa, juga bisa berperan untuk memberikan pajak tinggi pada beberapa hunian kosong yang belum ditempati. ”Misal, jika belum disewakan akan dipajaki tinggi, tetapi kalau sudah disewakan akan dapat pajak rendah,” tambahnya.
Hunian transit
Namun, bukan berarti para milenial akan selamanya tinggal di rumah sewa. Saat milenial sudah mampu untuk membeli rumah, mereka bisa beralih status hunian dari hak pakai menjadi hak milik.
Mengutip konsep ”Apartemen Transit untuk Mendukung Housing Career System” yang dikeluarkan Bappenas (2020), sebagai langkah awal masyarakat bisa menghuni apartemen transit (sewa), sambil menabung untuk dapat membeli hunian milik. Setelah 3-5 tahun, masyarakat mengakses fasilitas pembiayaan perumahan seperti KPR atau produk pembiayaan lainnya. Terakhir, masyarakat berhasil membeli hunian milik sendiri.
Selama milenial belum mampu membeli rumah, bisa menggunakan hak pakai. Mereka bisa menyewa hunian dengan banyak pilihan, seperti indekos, sewa apartemen, atau rumah tapak.
Khalawi juga menyebutkan hal yang sama. Dia mencontohkan di Korea Selatan dan Singapura, milenial yang belum mampu membeli hunian bisa menyewa dulu apartemen. Dimulai dari menyewa apartemen tipe 18-22 untuk lajang. Selanjutnya jika sudah menikah bisa beralih ke tipe 36. Setelah dirasa mampu, bisa pindah ke apartemen komersial.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pekerja menyelesaikan pembangunan apartemen di Kota Bekasi, Rabu (15/9/2021). Selama semester I/2021, BTN telah menyalurkan kredit pemilikan rumah (KPR) senilai Rp 238.9 triliun atau sebesar 89,8 persen dari total kredit BTN. Industri perbankan semakin intensif menyasar kalangan milenial sebagai target penyaluran KPR.
Bagi milenial, menyewa apartemen atau hunian yang dekat dengan tempat kerja juga jadi alternatif yang menguntungkan. Fisena Hardiyanto (30), karyawan usaha rintisan di Setiabudi, Jakarta Selatan, memutuskan untuk kembali menyewa unit apartemen. Jaraknya dari kantor sekitar 15 menit dengan menggunakan MRT atau Transjakarta. Sementara ke pusat perbelanjaan atau mal terjangkau dengan berjalan kaki.
Keputusan itu diambil karena ada pilihan harga yang terjangkau untuk sewa hunian sekalipun letaknya di pusat kota. Berbeda halnya dengan rumah impian yang harganya selangit ketika berada di lokasi strategis. Kalaupun harganya terjangkau, aksesibilitas dan sarana prasarana belum tentu mendukung.
”Sewa apartemen dulu karena harganya lebih terjangkau. Tidak perlu memikirkan legalitas tanah, kontrak dengan developer, dan lainnya,” tuturnya.
Ia tetap menabung untuk punya hunian sendiri suatu saat nanti. Entah itu rumah tapak atau apartemen, ia masih menunggu dan mencari hunian yang sesuai dari segi harga, lokasi, dan fasilitas pendukungnya.
Pajak progresif
Di sisi lain ada juga wacana pengenaan pajak bagi kepemilikan hunian lebih dari satu. Menurut pakar tata kota dan pengajar Departemen Arsitektur Universitas Indonesia, Herlily, pajak progresif menjadi sebuah kebijakan alternatif untuk mencegah kelangkaan hunian di kota-kota besar.
Khalawi juga menilai saran adanya sebuah pajak progresif sebagai sebuah usul yang bagus dan akan ia pertimbangkan.
Menurut dia, skema pajak semacam ini dapat mencegah rumah ”ditumpuk” sebagai aset. Namun, ia memahami bahwa usulan pajak semacam ini perlu diskusi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan yang lain, termasuk pengembang.
”Rumah itu kan kebutuhan, banyak orang masih cari rumah. Ini masukan yang bagus sekali. Misalnya rumah ketiga itu pajaknya diprogresifkan,” kata Khalawi.