Berani Bangkit, Atasi Kedukaan akibat Pandemi
Pemerintah di seluruh dunia terlalu fokus menghadapi pandemi dengan pendekatan medis serta cenderung lupa menggunakan pendekatan mental dan spiritual.
Pandemi Covid-19 membuat banyak orang kehilangan orang-orang tercinta. Kehilangan ayah, ibu, suami, istri, kakak, adik, anak, kerabat, juga teman dan sahabat. Meski berat dan tak mudah, mari terus berjuang untuk berani bangkit kembali.
Sekar Suci (30) tak pernah menyangka, perjalanannya dari kampung halaman di Subang, Jawa Barat, ke Jakarta, Desember 2020, akan menjadi perjalanan terakhirnya bersama sang ayah, Agus Setiyono (56). Beberapa hari setelah perjalanan itu, ayahnya demam tinggi hingga harus dirawat di ruang Instalasi Gawat Darurat RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.
”Awalnya papa tidak menduga terpapar Covid-19 karena papa punya riwayat penyakit bawaan. Begitu demam, papa berangkat sendiri ke RS untuk periksa. Saat itu, hasil tes usap PCR belum secepat sekarang, jadi papa harus menunggu beberapa hari sampai dinyatakan positif Covid-19,” ujar perempuan yang bekerja sebagai jurnalis ini, Rabu (28/7/2021).
Saat itu berat banget. Ayahku di RS, aku di tempat kos, ibuku di kampung halaman. Aku sampai ngeblank.
Di RS, kondisi ayahnya memburuk pada 13 Desember 2020. Ia mesti dirawat di ICU dan harus menggunakan ventilator. ”Saat itu berat banget. Ayahku di RS, aku di tempat kos, ibuku di kampung halaman. Aku sampai ngeblank,” ujarnya.
Merasa keluarganya pernah berkontak erat dengan sang ayah, Suci berinisiatif menjalani tes PCR. Hasilnya, ia negatif Covid-19. Ia lalu mendorong ibu dan adiknya agar menjalani tes PCR. Hasilnya keluar sepekan kemudian. ”Sepekan menunggu hasil swab itu masa paling menegangkan,” katanya.
Oleh pihak puskesmas, ibunda Suci, Sutarmi (62), yang sudah berada di Jakarta, dinyatakan positif, sementara adiknya negatif. Demi keselamatan, Suci dan adiknya kemudian tinggal di tempat terpisah agar ibunya bisa menjalani isolasi mandiri. Suci menyewa kamar hotel melati seharga Rp 200.000.
Baru dua hari, Suci menerima kabar ayahnya meninggal. Perasaan sedih, terpukul, dan bingung bercampur menjadi satu. ”Waktu ayah dimakamkan, suasananya sepi sekali. Tidak ada yang mengantar. Di pemakaman hanya ada aku, ibu, dan adikku. Ibuku positif Covid-19 tanpa gejala. Aku sedih enggak bisa merangkul dan mengusap punggungnya karena kami harus menjaga jarak fisik,” ujar Suci.
Selama tiga hari setelah kepergian ayahnya, ia merasa remuk. Dunia terasa runtuh. Ia tak bisa membayangkan masa depan. Segala mimpi dan cita-cita terasa hancur. Susah payah Suci berusaha mengembalikan semangat hidupnya.
Hati Cipi Armandita (44) pun tak kalah remuk saat mendengar sang ayah meninggal karena Covid-19 pada pertengahan Juni lalu. Cipi yang bekerja di perusahaan migas di Bangkok, Thailand, tak bisa pulang. ”Kalaupun bisa, mesti karantina dulu sekitar seminggu. Belum baliknya, karantina lagi,” kata Cipi.
Ia bersyukur, setelah menjalani tes, istri dan anak-anaknya dinyatakan sehat. Namun, hatinya kalut lantaran sejak pandemi merebak, ia tak bisa bertemu mereka. Ia pun harus bekerja sendiri di flatnya karena kebijakan bekerja dari rumah.
Gue cuma bisa nangis sambil menatap prosesi pemakaman babe lewat ponsel. Babe sudah tinggal bareng keluarga gue sejak 10 tahun lalu.
”Gue cuma bisa nangis sambil menatap prosesi pemakaman babe lewat ponsel. Babe sudah tinggal bareng keluarga gue sejak 10 tahun lalu,” ucap Cipi. Ibunya meninggal tahun 2009.
Situasi berat itu, di tengah pandemi, jauh dari keluarga dan kehilangan sang ayah, membuat Cipi sangat tertekan. ”Lama-lama bisa gila juga gue. Tambah stres. Kerjaan lagi bejibun pula,” katanya.
Beruntung, saat Cipi dilingkupi duka di negeri seberang, banyak teman peduli kepadanya. Membuatnya terhibur. ”Mereka menghubungi gue. Kami ngobrol lewat panggilan video,” katanya. Perlahan, Cipi kembali membangun semangat hidupnya.
Menerima
Praktisi kesehatan mental dari Santhosa, Adi Prayuda, mengungkapkan, selepas 2020, situasi memang tak mudah bagi banyak orang. Kondisi ini cukup menggerus kesehatan mental. Selain pandemi, efek domino berupa kehilangan juga mengikuti. Menerima tanpa terburu-buru adalah salah satu formula yang manjur untuk menyembuhkan.
”Cara berdamai dan menerima dari pendekatan jeda yang saya jalani adalah tidak melawan dan tidak menolak. Kalau memang sedih, ya, akui. Jangan lari. Jujur dengan diri sendiri bahwa memang sedang bersedih. Hadapi dan sadari. Menangis enggak apa,” ujarnya.
Tak bisa disangkal, penanggulangan rasa sedih atau rasa marah yang diidentikkan dengan perasaan negatif ini kerap dilakukan dengan cara menghindar atau menahannya agar tak terlihat. Namun, setiap manusia diberkahi aneka rasa, munculnya rasa sedih sebagai respons kehilangan atau kelelahan adalah wajar, sepatutnya diterima.
Tidak mudah, bahkan membutuhkan waktu. Untuk itu, dukungan orang sekitar agar tak terburu-buru mendorong seseorang yang sedang sedih lekas pulih, sangat diperlukan. Munculnya grup yang menyediakan konseling, kumpul dengan teman, hingga doa bersama untuk orang yang sedang berduka dinilai Adi positif dan sehat secara mental.
Adapun mengalihkan perhatian dari sedih, kadang juga dapat membantu proses penerimaan hingga pulih. ”Tidak saklek juga. Bisa refreshing sejenak. Karena saat ini, berat memang,” ujarnya.
Tolhas Damanik (39) yang 10 bulan lalu kehilangan belahan jiwanya, meski masih kerap kembali mengingat dan bersedih atas kepergian sang istri, Emilia Krisyanti, merasa sudah bisa menerima. Dia yakin, istrinya yang meninggal karena infeksi paru sudah berada di surga.
”Emilia tidak meninggal karena Covid. Tapi, tetangga memahami sebaliknya. Padahal, kan, enggak mungkin dia dibawa pulang kalau memang begitu,” tutur penyandang disabilitas netra yang bersama Emilia aktif memperjuangan hak-hak bagi penyandang disabilitas di Tanah Air.
Dengan latar belakangnya yang mempelajari bidang konseling, sebetulnya Tolhas paham bagaimana mengelola kesedihan. Kenyataannya, punya ilmunya saja tak cukup. ”Saat kita mengalami sendiri, semua ini sama sekali tidak mudah,” ujarnya.
Di awal kepergian Emilia, Tolhas mencoba untuk tak menekan rasa sedihnya. Kepada rekan-rekannya, dia berpesan agar mereka tak perlu terkejut jika melihat dia menangis. Tolhas juga lalu menyibukkan diri dengan banyak hal, yang menurut dia cukup membantu proses penyembuhan dukanya.
Beragam dukungan, simpati, serta ungkapan kesedihan dan kehilangan yang datang, membuat Tolhas mendapat banyak pasokan semangat. Salah satunya dari beberapa pertemuan daring yang digelar rekan-rekan Emilia. Tolhas merasa istrinya banyak dicintai orang.
”Kepergiannya juga menjadi kehilangan bersama. Dalam kondisi seperti itu, saya merasa harus meyakinkan mereka, termasuk diri sendiri, kalau kepergian Emilia adalah sesuatu yang memang harus terjadi dan alami,” ujar Tolhas.
Damayanti (44), yang kehilangan sang ayah karena Covid-19 pada 12 Juli lalu, pun merasa sudah iklhas. Padahal, sebelumnya, dia juga kehilangan sang kakak karena Covid-19.
”Waktu kehilangan jelas sedih. Apalagi sebelumnya kakakku. Hati rasanya hancur. Kok, gini amat. Tapi, aku berusaha menerima, ikhlas. Janji Allah memberikan tempat terbaik karena ini wabah, menenangkan hatiku,” ujar Damayanti.
Saat ini, dia fokus untuk membantu mengembalikan semangat dan kondisi sang ibu yang masih menjalani isolasi mandiri. Hidup, baginya, juga harus terus berjalan.
Bagi para penyintas Covid-19, seperti Woro (44) dan Indah Khairunnisa (40), pengalaman kehilangan dan terpapar Covid -19 justru menjadikan mereka pribadi yang makin pandai bersyukur. Meski sempat panik dan takut, keduanya berhasil keluar menjadi ”pemenang”.
”Yang mengganggu mental kami itu saat ada yang pergi satu-satu. Apalagi setiap ada kabar yang ujungnya Innalillah, bikin kami secara mental down,” ujar Indah yang terpapar Covid-19 bersama delapan anggota keluarga lainnya. Indah mengatasi semuanya dengan semangatnya yang besar untuk sembuh serta berusaha selalu berpikir positif.
”Salah satu berpikir positif yang paling mudah itu bersyukur. Allah miss called saya ini karena sayang. Syaratnya sabar dan tawakal atas ketentuan Allah,” katanya.
Hikmahnya luar biasa. ”Dikasih miss called dari Allah ini saya jadi di rumah saja, menemukan waktu 24 jam bersama anak, saudara, orangtua. Belajar dan kasih jeda untuk jiwa kita supaya enggak kepenuhan dan bisa loncat lebih jauh lagi,” kata perempuan yang berprofesi sebagai notaris ini.
Momen refleksi
Rani Badri Kalianda, praktisi mindfulness dari Soul of Speaking, mengungkapkan, pandemi Covid-19 telah membuat orang di seluruh dunia stres, ketakutan, marah, lelah, dan memicu perasaan negatif lainnya. Situasi ini juga terjadi pada pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk menenangkan masyarakat.
Bayangkan, jika pemerintahnya cemas, pengelola media cemas, para ulama cemas, para ahli cemas, ketika berkomunikasi dengan publik isi pesannya kecemasan semua.
”Bayangkan, jika pemerintahnya cemas, pengelola media cemas, para ulama cemas, para ahli cemas, ketika berkomunikasi dengan publik isi pesannya kecemasan semua. Akhirnya, komunikasi yang tujuannya memberikan pemahaman dan membangun kesadaran publik tidak tercapai,” ujar Rani.
Ia mengimbau pemerintah, para ahli, dan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi publik menenangkan diri terlebih dulu agar bisa berkomunikasi dengan baik. Termasuk media. ”Sadari bahwa kata-kata punya kekuatan luar biasa. Kata-kata itu doa. Karena itu, ketika menyampaikan pesan, pilih kata-kata yang positif, memotivasi, dan memberikan harapan. Ajak orang untuk menerima keadaan, bukan meremehkan keadaan,” ujarnya.
Rani melihat, pemerintah di seluruh dunia terlalu fokus menghadapi pandemi dengan pendekatan medis serta cenderung lupa menggunakan pendekatan mental dan spiritual. Imunisasi fisik itu penting, tapi imunisasi mental dan jiwa tak kalah penting.
Saat ini, masyarakat di seluruh dunia terus berkutat di fase ketakutan, kecemasan, dan penyangkalan terhadap Covid-19. Masyarakat perlu didorong untuk menerima pandemi sebagai bagian dari hidup yang harus dilalui, sebagai bagian dari kenikmatan yang diberikan Tuhan.
”Intinya ikhlas dan sabar. Ikhlas yang tumbuh dari perasaan, bukan sekadar ucapan. Anggap pandemi sebagai momen refleksi, kesempatan kita untuk melihat ke dalam diri dan menemukan kesadaran tentang hidup dan kehidupan,” katanya.
Pola pikir dalam menghadapi situasi pandemi juga mesti diubah karena pikiran akan berpengaruh pada perasaan. Pikiran positif akan menarik perasaan yang positif, dan sebaliknya.
”Kalau perasaan sedang sedih, pindahkan dan fokus perasaan kita ke hal-hal yang membuat kita gembira. Memang perlu dilatih karena sedari kecil kita biasa diajarkan mengikuti perasaan, bukan membalik perasaan,” ujarnya. (DNA/BAY/IAN/BSW)