Jakarta Didorong Siapkan Jurus Antisipasi Kenaikan Kasus Covid-19 Lagi
Meski angka kasus aktif di Jakarta mulai turun, demikian juga sejumlah parameter lain, Jakarta belumlah aman dari pandemi Covid-19. Saat ini penanganan pandemi harus lebih fokus lagi, belajar dari kekurangan sebelumnya.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta berikut sejumlah parameter lain terus turun hingga Minggu (25/7/2021). Namun, pemerintah provinsi diminta siaga dan memiliki skenario menghadapi lonjakan kasus yang mungkin naik lagi.
Senin (26/7), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melalui kanal Youtube Pemprov DKI Jakarta memaparkan, kasus aktif di DKI Jakarta sempat lebih dari 113.000 pada 16 Juli 2021. Namun, pada 25 Juli 2021, angka kasus aktif turun di angka 64.000.
Turunnya angka kasus aktif juga diikuti tren penurunan di beberapa parameter, di antaranya positivity rate yang tadinya pada kisaran 45 persen, kini berkisar 25 persen. Pemakaman dengan protap Covid-19 yang sempat lebih dari 350 sehari kini turun di bawah 200 per hari. Lalu, antrean IGD sudah terurai meskipun ruang ICU masih padat.
Meski begitu, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mengingatkan Pemprov DKI untuk tidak lengah dan tetap bersiap dengan skenario darurat sebagai antisipasi apabila terjadi lonjakan kasus lagi atau gelombang ketiga.
Anies menegaskan, meski angka kasus aktif turun, situasi pandemi di DKI Jakarta belumlah aman. Itu karena angka kasus aktif itu tercatat dua kali lebih tinggi dari puncak gelombang pertama.
Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya, Selasa (27/7), mengingatkan, penurunan angka harian positif yang diiringi penurunan angka pengetesan belum menunjukkan angka sebenarnya. Kecuali, angka testing naik, tapi angka harian positif menurun.
Apalagi, kata Teguh, angka pengetesan juga masih mencakup angka tes yang dilakukan faskes Pemprov DKI, belum angka tes yang dilakukan warga secara mandiri. Warga bisa jadi tidak melaporkannya karena kekhawatiran pengucilan, merasa tidak yakin kalau lapor akan ditangani, memilih isolasi sendiri, atau malas repot kalau lapor ke pengurus RT atau RW.
”Jadi, ini penurunan di data, belum penurunan pada kondisi yang sebenarnya,” katanya.
Atas berbagai kemungkinan itu, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya mendorong Pemprov DKI tetap bersiaga dengan skenario darurat, mulai melakukan refocusing fasilitas kesehatan. Pemerintah mengubah semua wisma isolasi menjadi rumah sakit darurat agar saat gelombang ketiga sudah siap.
Langkah itu dinilai penting karena, saat pemerintah mulai menerapkan PPKM pertama, daya tahan ekonomi masyarakat mungkin masih kuat dengan tabungan terakhir. Namun, ketika PPKM dilanjutkan dengan kompensasi Rp 600.000 untuk dua bulan, serta diiringi pelonggaran di sektor ekonomi lemah, dikhawatirkan gelombang ketiga akan datang disertai varian Kappa.
”Karena penindakan menjadi tidak akan efektif saat masyarakat ekonomi lemah sudah tidak memiliki daya tahan ekonomi, mulai beraktivitas, dan ini meningkatkan potensi transmisi Covid-19,” kata Teguh menjelaskan.
Perpanjangan PPKM yang diiringi pelonggaran justru dinilai masa paling rawan. Ekonomi masyarakat sudah di ujung batas serta tenaga kesehatan dan masyarakat pun sudah berada di puncak kelelahan. Di sisi lain, pengawasan lemah dan kompensasi minim. Lalu, kasus di wilayah penyangga masih tinggi, baik positivity rate maupun angka kematiannya.
Pemprov DKI, lanjutnya, juga mesti memperkuat pengawasan di level RT dan RW dengan anggaran yang memadai. Tujuannya agar warga tanpa gejara dan bergejala ringan bisa isolasi mandiri di rumah dengan baik, termasuk dilacak para petugas.
Jika pengaturan ulang faskes tidak dilakukan Kementerian Kesehatan, kata Teguh, Gubernur DKI Jakarta selaku ketua kerja sama wilayah Jabodetabekjur bisa mengundang semua kepala daerah dalam kawasan. Itu untuk membantu peruntukan wisma isolasi bagi rumah sakit darurat kawasan sehingga Bogor atau Bekasi tidak perlu membangun RS tenda darurat dan tenaga kesehatannya diperbantukan di RSD terpusat Jabodetabekjur.
Terpisah, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Gilbert Simanjuntak, menegaskan, kegagalan antisipasi menjadi salah satu penyebab kesulitan menangani gelombang kedua pandemi Covid-19. ”Dampaknya, kelangkaan ruang perawatan dan ICU di RS, obat, oksigen, kepanikan, pasien isoman meninggal yang tidak terjadi di gelombang pertama, dan dampak ekonomi sosial yang berat,” tuturnya.
Kegagalan terbesar menangani gelombang kedua ini ada di Jakarta. Karena itu, Pemprov DKI perlu fokus dan belajar dari kegagalan ini. ”Jangan lagi menggunakan dana yang ada untuk sesuatu hal yang tidak mendesak, di saat lain berharap bantuan dari mana-mana. Saat ini, pengelolaan pandemi sudah diserahkan ke pemerintah daerah,” ucapnya menegaskan.