DKI Jakarta Tetapkan PPKM Level 4, Ombudsman Evaluasi PPKM Darurat
Seiring kasus harian terkonfirmasi yang masih stabil tinggi dua pekan ini, Pemprov DKI memperpanjang kebijakan PPKM darurat dengan sejumlah pembatasan. Langkah itu menindaklanjuti kebijakan pemerintah pusat.
JAKARTA, KOMPAS — Melihat angka kasus Covid-19 di DKI Jakarta dalam dua pekan terakhir, Pemprov DKI memperpanjang kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat. Pembatasan ini berlangsung lima hari.
Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, melalui keterangan resmi Pemprov DKI Jakarta, Kamis (22/07/2021), menjelaskan, kebijakan tersebut merupakan pelaksanaan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Desease di Wilayah Jawa dan Bali.
Baca Juga: Evaluasi PPKM Darurat, DKI Benahi Layanan Fasilitas Kesehatan
Pemprov DKI kemudian menerbitkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 925 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Level 4 Corona Virus Desease 2019. Kebijakan itu berlaku selama lima hari sejak 21 Juli-25 Juli 2021.
Selama lima hari ke depan, sejumlah pembatasan di berbagai sektor kegiatan diatur melalui Kepgub tersebut. Pembatasan kegiatan pada tempat kerja atau perkantoran untuk sektor non-esensial diatur work from home (WFH) sebesar 100 persen.
Pada tempat kerja atau perkantoran sektor esensial keuangan dan perbankan; hanya asuransi, bank, pegadaian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan yang berorientasi pada pelayanan fisik dengan pelanggan yang dibolehkan beraktivitas dengan pembatasan. Ketentuannya adalah work from office (WFO) sebesar 50 persen untuk lokasi yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat dan dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat, dan WFO sebesar 25 persen untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional, dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat.
Untuk sektor esensial pasar modal (yang berorientasi pada pelayanan dengan pelanggan dan berjalannya operasional pasar modal secara baik); teknologi informasi dan komunikasi meliputi operator seluler, pusat data, internet, pos, media terkait dengan penyebaran informasi kepada masyarakat, dan perhotelan nonpenanganan karantina Covid-19 diberlakukan WFO sebesar 50 persen, dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat
Pada sektor esensial industri orientasi ekspor, perusahaan harus menunjukkan contoh dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB) selama 12 bulan terakhir atau dokumen lain yang menunjukkan rencana ekspor dan wajib memiliki izin operasional dan mobilitas kegiatan industri (IOMKI).
Untuk sektor ini, diberlakukan WFO 50 persen hanya di fasilitas produksi/pabrik, dengan penerapan protokol kesehatan lebih ketat, dan WFO 10 persen untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional, dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat.
Baca Juga: PPKM Darurat, Mobilitas Warga di Jakarta Turun
Untuk sektor pemerintahan yang memberikan pelayanan publik yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya, diatur WFO 25 persen dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat. Kemudian, untuk sektor kritikal kesehatan dan keamanan serta ketertiban diatur WFO 100 persen dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat.
Untuk sektor kritikal penanganan bencana, energi, logistik, transportasi, dan distribusi, terutama untuk kebutuhan pokok masyarakat: makanan dan minuman; makanan dan minuman termasuk untuk ternak atau hewan peliharaan; pupuk dan petrokimia, semen dan bahan bangunan, obyek vital nasional, proyek strategis nasional, konstruksi (infrastruktur publik), dan utilitas dasar (listrik, air, dan pengelolaan sampah), diatur WFO 100 persen hanya pada fasilitas produksi/konstruksi/pelayanan kepada masyarakat, dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat, dan WFO sebesar 25 persen untuk pelayanan administrasi perkantoran guna mendukung operasional, dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat.
Kemudian, kegiatan belajar mengajar di sekolah, perguruan tinggi, akademi, tempat pendidikan/pelatihan dilakukan secara daring.
Adapun untuk kegiatan pada sektor kebutuhan sehari-hari juga dibuat pengaturan. Supermarket, toko kelontong, dan pasar swalayan yang menjual kebutuhan sehari-hari beroperasi sampai dengan pukul 20.00 dengan kapasitas pengunjung 50 persen dan dengan penerapan protokol kesehatan secara lebih ketat. Pasar tradisional hanya boleh beroperasi sampai dengan pukul 13.00 dengan kapasitas pengunjung 50 persen. Khusus pasar induk dapat beroperasi sesuai jam operasional.
Apotek dan toko obat dapat buka selama 24 jam dengan penerapan protokol kesehatan ketat. Sementara warung makan, rumah makan, kafe, pedagang kaki lima, lapak jajanan (baik yang berada pada lokasi tersendiri maupun yang berlokasi di pusat perbelanjaan) hanya boleh menerima pemesanan untuk dibawa dan tidak menerima makan di tempat.
Pusat perbelanjaan juga pusat perdagangan ditutup. Namun, akses ke restoran, supermarket, dan pasar swalayan dibolehkan sesuai ketentuan. Kegiatan konstruksi bisa beroperasi 100 persen dengan prokes.
Peribadatan ditiadakan sementara, demikian juga kegiatan di area publik dan wisata ditutup. Untuk fasilitas kesehatan, boleh beroperasi 100 persen, sedangkan kegiatan di angkutan umum juga dibatasi.
Dihubungi terpisah, Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya juga mengevaluasi PPKM darurat. ”Ada enam poin yang dipantau Ombudsman, yaitu penapisan mobilitas warga di wilayah aglomerasi Jabodetabek, pengawasan mobilitas warga di tingkat komunitas, layanan fasilitas kesehatan, pelaksaan 3T (tracing, tracking, dan treatment), kompensasi dan mitigasi dampak ekonomi PPKM bagi masyarakat rentan, dan program percepatan vaksinasi,” papar Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya.
Untuk penapisan mobilitas warga di wilayah Jabodetabek, Ombudsman Jakarta Raya mengapresiasi seluruh pimpinan daerah di wilayah Jabodetabek, Dirlantas Polda Metro Jaya, dan Dirlantas Polda Jabar sebagai pengendali kegiatan tersebut. Bersama dengan DPMPTSP Jakarta, mereka berhasil melakukan inovasi penerbitan surat tanda register pekerja (STRP) berbasis data pekerja dari perusahaan sehingga berhasil menerbitkan lebih dari 1,2 juta STRP di luar 1,2 juta mitra transportasi online di wilayah Jabodetabek dengan QR tunggal untuk masing-masing perusahaan transportasi daring.
Pengendalian dan penapisan mobilitas penduduk di wilayah aglomerasi Jakarta dinilai Ombudsman RI Jakarta Raya cukup berhasil menekan laju mobilitas warga di kawasan tersebut walaupun belum mencapai angka sempurna karena pencapaian angka ideal pembatasan mobilitas tidak hanya dapat bergantung pada faktor tunggal di pos-pos penapisan dan penyekatan.
”DPMPTSP DKI sebaiknya menggencarkan sosialisasi dan memberikan panduan penggunaan aplikasi scanner untuk membaca STRP oleh petugas. Karena petugas masih membaca manual, seperti di stasiun commuter line dan di pos penyekatan, khususnya bagi mitra transportasi daring,” tuturnya.
Poin kedua, terkait layanan fasilitas kesehatan bagi pasien kritis menjadi keprihatinan terbesar. Menurut Ombudsman, pemerintah pusat harusnya memandang pelayanan faskes kesehatan bagi pasien kritis baik Covid maupun non-Covid di Jabodetabek dalam perpektif kawasan aglomerasi, seperti penapisan mobilitas penduduk.
Karena tidak ada perspektif itu, pelayanan rumah sakit di Jakarta dan wilayah penyangga kolaps. Antrean panjang demi menunggu kamar isolasi dan ICU terjadi. Banyak pasien isoman tanpa bantuan dan perlengkapan memadai.
Menurut Ombudsman, hal tersebut menyebabkan angka kematian pasien di rumah sakit dan saat isolasi mandiri sangat tinggi, baik di wilayah Jakarta maupun penyangga. Banyak pasien kritis yang baru mendapatkan ruangan isolasi setelah antre panjang dan sudah mengalami perburukan yang parah, atau meninggal saat isolasi karena kondisi mereka sudah sangat kritis.
Di sisi lain, pemerintah pusat dan Pemprov DKI justru terus menambah fasilitas perawatan isolasi rujukan untuk menangani pasien Covid-19 dengan gejala ringan dan OTG di saat pemerintah daerah penyangga juga berusaha membangun rumah sakit darurat. Masalahnya, dengan wisma isolasi tersebut, mereka menyita tenaga nakes yang jumlahnya sangat terbatas, termasuk sarana dan prasarana yang semestinya bisa dipergunakan untuk pasien-pasien Covid-19 kritis yang mengalami perburukan.
Ombudsman berpendapat mencetak nakes tidaklah semudah membalik telapak tangan, termasuk juga redistribusi nakes dari beberapa daerah non-PPKM ke wilayah episentrum karena potensi ledakan Covid-19 di wilayah non-episentrum juga sangat mungkin terjadi dan kepala daerah mereka pasti mengutamakan kesiapsiagan jika wilayah mereka berubah menjadi wilayah merah.
Vaksinasi
Untuk vaksinasi, Ombudsman melihat pemerintah pusat belum memandang pentingnya kesetaraan layanan program vaksinasi antara Jakarta dan penyangga sebagai sebuah kawasan aglomerasi. Vaksin di Jakarta sangat melimpah, warga bisa melakukan vaksinasi di puskesmas, rumah sakit, bahkan di Gelora Bung Karno dan mal.
Penyelenggaraannya pun bisa dikolaborasikan dengan TNI/Polri, pengelola pusat perbelanjaan, bahkan partai politik, baik yang telah daftar melalui si Jaki, RT/RW, maupun go show sekalipun. Selain program inovatif Pemprov DKI untuk melakukan jemput bola vaksin.
Namun, hal itu belum terjadi di wilayah penyangga, vaksinasi masih diutamakan dilaksanakan oleh pemerintah daerah atau kolaborasi dengan TNI/Polri yang jumlahnya terbatas. ”Harus diingat, lebih dari 2 juta orang pelaju, bekerja di Jakarta dari wilayah penyangga, percepatan vaksinasi di Jakarta juga harus dimbangi oleh percepatan vaksinasi di wilayah penyangga,” kata Teguh.
Untuk penapisan dan mobilitas warga di tingkat komunitas, ombudsman menilai pembatasan mobilitas warga baru berhasil secara efektif di jalan-jalan utama, ke dan dari daerah penyangga, juga di wilayah-wilayah perkantoran. Sementara pengawasan mobilitas penduduk di tingkat terbawah, seperti RT dan RW, permukiman penduduk, dan kawasan industri, belum berjalan efektif.
Selanjutnya, jelas Teguh, jumlah tracing juga menjadi salah satu evaluasi yang dilakukan Ombudsman Jakarta Raya. Turunnya jumlah suspect Covid-19 harian di Jakarta belum bisa menjadi indikator turunnya angka suspect yang sebenarnya karena hal itu diikuti oleh turunnya jumlah tracing.
Salah satu penyebab turunnya angka suspect Covid-19 di Jakarta dalam pantauan Ombudsman disebabkan oleh kelelahan nakes dan belum terintegrasinya data warga yang melakukan tracing mandiri dengan data tracing yang difasilitasi pemerintah.
Hal terakhir yang menjadi evaluasi Ombudsman Jakarta Raya, jelas Teguh, adalah kompenasi dan mitigasi dampak ekonomi PPKM bagi kelompok masyarakat rentan. Salah satu faktor utama sulitnya menekan laju mobilitas warga selama PPKM disebabkan oleh kebutuhan masyarakat rentan, khususnya pekerja harian.
”Seketat apa pun penapisan, bahkan lockdown sekalipun, tidak akan berhasil mengurangi angka mobilitas jika kebutuhan ekonomi warga tidak terpenuhi,” kata Teguh.