Keluarga dan pelaku kekerasan seksual terhadap remaja 15 tahun di Kota Bekasi, Jawa Barat, mengusulkan pernikahan sebagai salah satu solusi. Usulan itu dinilai justru bisa membuat kekerasan kembali berulang.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga dan pelaku kekerasan seksual terhadap remaja 15 tahun di Kota Bekasi, Jawa Barat, mengusulkan pernikahan sebagai salah satu solusi. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau LPSK justru menilai, usulan itu bisa membuat kekerasan kembali berulang.
Bambang Sunaryo, kuasa hukum Amri Tanjung alias AT (21), mengatakan, AT dan keluarganya menawarkan untuk menikahkan pelajar SMP berinisial PU (15). Usulan itu disampaikan setelah anak anggota DPRD Kota Bekasi tersebut menyerahkan diri ke polisi, Jumat (21/5/2021). AT adalah tersangka persetubuhan anak dengan tipu muslihat.
”Saya sebagai kuasa hukum mencoba menyampaikan iktikad baik ini ke keluarga melalui utusan kami. Tetapi, kami masih ada kendala karena keluarga tidak merespons,” katanya, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (30/5/2021).
Tawaran pernikahan itu ia sebut bisa menjadi solusi untuk menjamin masa depan korban yang sebelumnya menjalin hubungan dengan AT. Pelaku dan korban diketahui telah berpacaran lebih kurang sembilan bulan dan sempat tinggal bersama di satu kos pada Februari-Maret 2021.
Jika keluarga korban menyetujui adanya pernikahan, Bambang menyebut, pihaknya bisa meminta izin pernikahan darurat ke pengadilan agama.
”Kalau sesuai aturan UU memang enggak boleh menikahkan anak di bawah umur, tetapi karena darurat bisa. Teknisnya nanti bergantung pada keputusan pengadilan, apa keduanya dipisahkan dulu sembari menunggu proses hukum ke AT jelas dan selesai,” tuturnya.
Kendati demikian, Bambang mengatakan, solusi pernikahan bukan untuk menyudahi proses hukum yang saat ini masih berjalan. Ia mendukung kepolisian dan kejaksaan untuk menuntaskan perkara. Di sisi lain, ia bersikeras AT tidak melakukan kekerasan, tetapi persetubuhan anak di bawah umur.
”Saya membantah adanya pemerkosaan. Yang ada adalah persetubuhan dengan anak,” tukasnya.
Kepolisian Resor Metro Bekasi menyangkakan AT dengan Pasal 81 Ayat (2) juncto Pasal 76D Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. AT terancam pidana penjara paling lama 15 tahun.
Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bekasi juga mengungkapkan, AT terlibat dalam perdagangan terhadap korban PU. Mereka menyebut, AT menyekap korban di rumah kos dan ”dijual” melalui aplikasi Michat. Padahal, awalnya AT mengajak korban untuk diberi pekerjaan sebagai penjual pisang goreng.
”Korban mengaku dalam sehari bisa melayani empat sampai lima kali. Tarif sekali melayani pelanggan Rp 400.000,” kata komisioner KPAD Kota Bekasi, Novrian (Kompas.id, 19/5/2021).
Akibat pemaksaan untuk meladeni hubungan seks tersebut, PU menderita penyakit kelamin. Pada 18 April 2021, korban menjalani operasi medis di salah satu rumah sakit di Kota Bekasi. Korban lantas mendapat perawatan konseling dari sejumlah pihak.
Atas pengalaman tersebut, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menilai, penegakan hukum dan rehabilitasi, untuk pemulihan fisik dan psikis, menjadi jalan terbaik untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dialami korban.
”Sementara pernikahan bukan solusi. Adanya relasi kuasa dalam pernikahan akan berdampak buruk kepada korban,” ujar Edwin dalam keterangan tertulisnya.
Relasi kuasa, yang menyebabkan munculnya kekerasan seksual, berpotensi menimbulkan reviktimisasi kepada korban jika pelaku dan korban dinikahkan. Artinya, korban kekerasan seksual berpotensi kembali menjadi korban, baik secara fisik maupun psikis.
Pernikahan bukan solusi. Adanya relasi kuasa dalam pernikahan akan berdampak buruk kepada korban. (Edwin Partogi Pasaribu)
Edwin menambahkan, selain rehabilitasi, anak yang menjadi korban persetubuhan juga memiliki hak atas restitusi atau ganti rugi ataupun layanan perlindungan lain, seperti pemenuhan hak prosedural. Menurut dia, hak tersebut sedang ditelaah LPSK untuk diberikan kepada korban dan keluarganya.
”LPSK pada April lalu sudah secara proaktif menawarkan perlindungan kepada keluarga korban dan pihak keluarga korban pun sudah mengajukan permohonan yang saat ini segera kami putuskan bentuk-bentuknya,” katanya.
LPSK pun mengharapkan adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat agar korban bisa bangkit dari pengalaman buruk tersebut. Dukungan masyarakat penting agar korban bisa kembali beraktivitas secara normal dan terhindar dari rasa malu.
”Masyarakat juga bisa memberikan dukungan dengan turut mengawal kasus ini, seperti yang selama ini sudah dilakukan,” ucap Edwin.
Untuk mencegah kasus serupa berulang, Bambang yang juga pendiri Kantor Hukum BSR mengingatkan agar orangtua bertanggung jawab mengawasi anak-anak remaja mereka.
”Orangtua jangan hanya membiarkan anaknya ketika pergi lama tanpa kejelasan, bahkan tinggal dengan lawan jenis. Orangtua juga harus bertanggung jawab kalau ada hal yang tidak diinginkan seperti ini,” katanya.