Bangkitnya ekonomi desa di masa pandemi bisa menjadi momentum terjadinya proses deurbanisasi untuk menekan laju urbanisasi
Oleh
MB. Dewi Pancawati (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Lebaran telah usai. Pada H+5 (18 Mei 2021) tercatat 2.244.096 pemudik yang lolos dari penyekatan dalam rangka pelarangan mudik telah kembali ke Ibu Kota. Jumlah yang tidak sebesar tahun-tahun sebelum munculnya wabah Covid-19. Pada Lebaran 2019, tercatat 18,34 juta orang yang melakukan perjalanan mudik meninggalkan Jabodetabek.
Sudah menjadi tradisi pula arus balik setelah Lebaran selalu diikuti oleh fenomena gelombang migrasi. Muncul wajah-wajah baru dari desa yang ikut merantau bersama teman atau kerabat untuk mengadu nasib di kota. Manisnya ”gula-gula” di kota menarik pendatang untuk ikut mencicipinya.
Jakarta sebagai episentrum pembangunan, ekonomi, dan bisnis rata-rata setiap tahun menerima 70.000 pendatang. Arus pendatang baru ini turut mempercepat urbanisasi atau proses meluas dan membesarnya kawasan perkotaan.
Hingga 31 Desember 2020 ada 1.044.558 pemudik atau pendatang yang kembali ke desa. (Kemendesa PDTT)
Tahun 2020 kepadatan penduduk DKI Jakarta sudah 16.704 jiwa per kilometer persegi. Tak hanya di Jakarta, kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa, juga menjadi tujuan utama arus migrasi. Tak dapat dimungkiri 58,70 persen struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa.
Dampak urbanisasi
Urbanisasi yang semakin masif membuat penduduk perkotaan semakin padat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tahun 2020 lebih dari separuh (56,7 persen) penduduk ada di perkotaan. Dalam kondisi normal tahun 2035 diproyeksikan penduduk perkotaan berkembang menjadi 66,6 persen. Meskipun dari aspek ekonomi urbanisasi dapat menciptakan peluang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, jika tidak disertai dengan tata kelola yang baik, justru akan menimbulkan masalah baru perkotaan.
Pendatang dari luar daerah yang tidak memiliki kualifikasi kerja yang baik dan tidak terserap pasar tenaga kerja justru akan menambah angka pengangguran perkotaan. Pada akhirnya juga akan berdampak pada bertambahnya angka kemiskinan. Belum lagi dampak sosial, di antaranya tumbuhnya permukiman liar, masalah lingkungan seperti sampah, banjir, dan polusi, serta berkembangnya problem kriminalitas.
Beban yang semakin berat dipikul wilayah-wilayah perkotaan menjadikan isu urbanisasi selalu menjadi isu penting dan problem yang belum terselesaikan karena dampak yang semakin kompleks.
Deurbanisasi
Kondisi menjadi berubah ketika awal 2020 pandemi Covid-19 melanda dan ”melumpuhkan” pergerakan roda perekonomian di perkotaan, tak terkecuali sektor informal juga ikut terdampak. Hilangnya mata pencaharian di kota membuat sebagian perantau terpaksa meninggalkan kota kembali ke kampung halaman. Setidaknya di desa lebih bisa bertahan hidup sebelum memutuskan kembali lagi ke kota setelah kondisi membaik atau akan tetap bertahan di desa.
Fenomena hijrahnya orang ke desa meninggalkan kota karena pandemi ini bisa menjadi awal terjadinya proses deurbanisasi atau ruralisasi. Belum ada data seberapa besar arus deurbanisasi ini, tetapi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mencatat, hingga 31 Desember 2020 ada 1.044.558 pemudik atau pendatang yang kembali ke desa. Mereka, antara lain, tercatat sebagai penerima bantuan alokasi dana desa melalui Program Karya Tunai Desa (PKTD).
Potensi desa
Total dana desa sebesar Rp 323,32 triliun yang sudah digulirkan sampai 2020 telah berhasil membangun infrastruktur dan memberdayakan masyarakat perdesaan. Dengan demikian, kesenjangan ekonomi serta minimnya akses dan fasilitas semestinya sudah tidak lagi menjadi alasan pendorong migrasi.
Dana desa selama lima tahun terakhir juga berhasil menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan di perdesaan. Meski demikian, tak dapat dimungkiri akibat pandemi Covid-19 angka pengangguran dan kemiskinan meningkat kembali di tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi di perkotaan bahkan peningkatannya lebih tajam.
Data BPS mencatat, desa mampu menahan kenaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) lebih rendah (1,16 persen) daripada di kota (2,83 persen) selama pandemi Februari-Agustus 2020. Demikian pula dengan angka kemiskinan. Selama pandemi Maret-September 2020, kenaikan angka kemiskinan perdesaan tercatat 0,38 persen, sementara perkotaan 0,5 persen meskipun secara nasional proporsi kemiskinan di perdesaan lebih besar.
Hal ini menunjukkan desa mampu bertahan di tengah pandemi. Ketahanan desa, antara lain, didukung oleh potensi desa sebagai lumbung pangan. Selama pandemi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan masih tumbuh positif. Kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2021 sebesar 13,17 persen. Bahkan, pertumbuhannya tertinggi dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 terhadap triwulan IV-2020 sebesar 9,81 persen.
Perkembangan sektor pertanian di perdesaan juga semakin baik dengan dukungan teknologi digital. Perdagangan daringdengan memanfaatkan jejaring marketplace juga berkembang sehingga bisa mengurangi rantai pasok yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Pandemi juga mendorong desa semakin kreatif dan inovatif dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya. Munculnya ikon desa wisata, desa inklusif, atau desa digital juga menjadi peluang meningkatkan ekonomi desa yang menguasai 91 persen wilayah Indonesia.
Meski demikian, jangan sampai berkembangnya ekonomi desa di masa pandemi yang bisa menjadi momentum menekan laju urbanisasi justru hanya akan memindahkan permasalahan kota ke desa. Tata kelola yang baik di kota dan di desa tetap perlu diperhatikan dan dilakukan.