Masjid Raya KH Hasyim Asy’ari dinamai dengan nama seorang tokoh ulama karismatik yang juga pahlawan nasional. Nama yang disandang diharapkan sesuai dengan semangat masjid yang bercorak inklusif dan moderat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Hawa terik serasa memanggang daerah Jakarta Barat pada Rabu (5/5/2021). Tidak ada sepoi angin dan rindang pepohonan yang memberi keteduhan di sepanjang Jalan Daan Mogot, Duri Kosambi, Cengkareng. Satu-satunya tempat yang tampaknya bisa untuk berteduh adalah gedung Masjid Raya Kiai Haji (KH) Hasyim Asy’ari yang megah dan berwarna putih.
Suasana masjid menjelang waktu shalat Dzuhur tampak sepi. Pandemi Covid-19 seolah telah mengurangi kegiatan ibadah ataupun sosial di masjid secara drastis. Menurut salah satu petugas keamanan, sebelum pandemi, setiap waktu shalat, masjid selalu dipenuhi oleh warga sekitar. Masjid Hasyim Asy’ari terletak di tengah kompleks Rumah Rusun Pesakih. Akan tetapi, biasanya warga Tambora hingga Kalideres datang menunaikan ibadah shalat di sana.
Di siang itu, orang-orang yang menjalankan shalat Dzuhur berjemaah hanya petugas keamanan, pengurus masjid, dan beberapa musafir. Jumlah mereka kurang dari 30 orang. Padahal, kapasitas maksimum Masjid Hasyim Asy’ari adalah 12.500 anggota jemaah. Begitu shalat selesai, mereka langsung membubarkan diri. Tidak ada ngobrol-ngobrol ataupun ramah tamah karena protokol kesehatan yang ketat tidak membiarkan ada interaksi terlalu lama.
Jemaah yang telah selesai shalat segera mengenakan alas kaki masing-masing dan mengendarai kendaraan keluar dari lapangan parkir masjid. Mayoritas adalah mobil pengantar barang dan pengemudi ojek daring yang tengah mengantar jemput pesanan.
Salah seorang anggota jemaah yang baru selesai shalat Dzuhur adalah Husain, pengemudi mobil barang untuk salah satu perusahaan ekspedisi. Ia mengaku beberapa kali melewati Jalan Daan Mogot yang merupakan jalur Jakarta menuju Kota Tangerang, tetapi baru kali ini ia mampir untuk beribadah di Masjid Hasyim Asy’ari. Sebelumnya, Husain hanya bisa penasaran ingin melongok ke dalam masjid.
”Besar sih masjidnya. Tapi kok berantakan, ya? Banyak bagian yang rusak dan bocor,” ujarnya.
Perkataan Husain tersebut memang benar. Di sejumlah titik masjid terdapat rangka besi menuju ke langit-langit yang dibongkar. Noda-noda coklat mengotori cat putih. Bahkan, di ruang kubah utama sejumlah ukiran di dinding mimbar tampak boncel-boncel.
”Pandemi ini memberi berkah terselubung. Memang kegiatan ibadah berkurang drastis jumlahnya, tapi di saat yang sama kami jadi memiliki waktu untuk berbenah dan merapikan kembali masjid. Plafon dibongkar untuk diperbaiki, ukiran-ukiran, pagar semuanya dibenahi. Rencananya, beberapa bagian dari gipsum seperti pagar balkon akan diganti ke bahan yang permanen supaya tahan lama,” kata Kepala Tata Usaha Masjid Hasyim Asy’ari Saifudin.
Menurut dia, berbenah ini tidak hanya dari segi fisik, tetapi juga dari segi makna bagi pengurus masjid untuk merenungkan ulang nilai-nilai peninggalan Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan pengejawantahannya ke dalam tata kelola hingga sumbangsih masjid bagi masyarakat di sekitar.
Saifudin menceritakan, masjid diresmikan tahun 2017 oleh Presiden Joko Widodo. Meskipun begitu, pembangunannya belum selesai. Masih ada taman-taman dan lapangan parkir yang perlu dibangun. Di lantai dasar masjid ada semacam cerukan yang masih kosong.
Awalnya, cerukan itu akan dibuat taman di dalam masjid, tetapi hingga kini belum ditemukan cara untuk mengeruk cerukan yang terisi air serta rumput liar itu. Oleh sebab itu, sedang dicari alternatif pemanfaatan yang tidak hanya baik untuk masjid, tetapi juga lingkungan.
Masjid Hasyim Asy’ari berdiri di tanah seluas 24.000 meter persegi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga dalam pembangunannya tidak perlu ada pembebasan lahan. Luas bangunannya adalah 16.900 meter persegi dan terdiri dari dua lantai. Selain kubah utama, masjid ini juga memiliki sayap kanan dan sayap kiri yang berfungsi sebagai kantor pengurus dan ruang-ruang kegiatan.
”Masjid diberi nama Hasyim Asy’ari bukan karena Kiai Hasyim pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia, melainkan karena beliau adalah pahlawan nasional. Ia simbol persatuan umat Islam, moderasi beragama, dan toleransi,” tutur Saifudin.
Hasyim Asy’ari ketika masa perjuangan kemerdekaan adalah tokoh yang mengajak seluruh umat Islam di Nusantara bersatu melawan penjajah. Resolusi jihad yang ia keluarkan merupakan inspirasi besar bagi perjuangan putra bangsa, terutama di Jawa Timur. Bung Tomo dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melandaskan segala semangat pertempuran dan kemerdekaan pada resolusi ini.
Akan tetapi, bagi Kyai Hasyim, perjuangan yang sejati tidak melalui kekerasan, sebaliknya melalui ilmu dan belas kasih. Dalam buku Mengenal Lebih Dekat Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari yang ditulis oleh pemimpin pesantren Tebuireng, Salahuddin Wahid, dijelaskan bahwa tujuan dari ilmu bagi Kiai Hasyim adalah moderasi beragama, kemerdekaan, persatuan, dan toleransi.
Bagi Kiai Hasyim, tujuan belajar bukan mencari harta, jabatan, dan status sosial. Ilmu adalah untuk membangun wawasan, kerja keras, dan kelapangdadaan. Semakin berilmu seseorang, semakin jernih jalan pikirannya. Ia menjalankan ibadah dengan prinsip ketuhanan dan ketaatan, tetapi juga mengulurkan tangan untuk membantu sesama manusia tanpa memandang perbedaan. Kiai Hasyim sangat mendukung kerja sama antarorganisasi masyarakat.
Salahuddin menuliskan, ajaran Kiai Hasyim yang langgeng adalah menempatkan amal sebagai puncak ilmu. Beramal berarti menerapkan pelajaran kognitif dan karakter. Tidak takut terhadap perbedaan karena segala jenis ilmu dipelajari dengan etika.
Prinsip yang dianut Kiai Hasyim ini juga tertuang ke dalam rancangan bangunan masjid. Wawancara Kompas.com pada tahun 2017 dengan arsitek masjid Adhi Moersid, mengungkapkan bahwa meskipun Kiai Hasyim berasal dari Jawa Timur, wujud masjid ini justru memakai kekhasan bangunan Betawi. Sebagai contoh, atap masjid memakai desain bapang Betawi dan joglo Jawa guna mencerminkan Jakarta dan Indonesia yang terdiri dari beragam budaya.
Halaman yang masih dalam penyelesaian pun ternyata tidak sekadar untuk menghijaukan bangunan. Menurut Adhi, masjid harus bisa menjadi tempat mengembangkan spiritualitas sekaligus bermanfaat nyata bagi penduduk sekitar. Oleh sebab itu, pekarangan masjid dirancang agar bisa dipakai oleh warga ataupun kelompok tani sebagai area bercocok tanam. Masjid Hasyim Asy’ari diharapkan juga bisa menjadi salah satu titik pertanian perkotaan, minimal untuk mencukupi kebutuhan warga setempat.
Nilai itu tecermin pula dari kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di Masjid Hasyim Asy’ari. Tempat ibadah ini membuka pintu bagi semua kelompok dan golongan Islam. Berbagai majelis taklim yang berasal dari aliran Islam, daerah, serta budaya suku bangsa Indonesia yang berbeda-beda diterima untuk berkegiatan di masjid raya ini.
Pada pagi hari anak-anak bermain sambil belajar di sejumlah lembaga pendidikan anak usia dini yang beroperasi di masjid. Di sore hari, suasana selalu ramai karena remaja masjid berdiskusi dan belajar mengaji. Ada pula anak-anak yang belajar membaca juz amma di taman belajar Al Quran. Di antara jam kegiatan anak-anak dari permukiman sekitar bebas bermain-main di lingkungan masjid.
”Pengurus masjid memantau melalui proposal kegiatan dari majelis taklim atau kelompok remaja masjid untuk memastikan ceramah atau diskusi yang diadakan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan nasionalisme dan tolerasi. Alhamdulillah, sejauh ini tidak ada kejadian konten kegiatan yang bermasalah,” kata Saifudin.
Menurut dia, Masjid Hasyim Asy’ari juga terbuka untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi agama lain ataupun organisasi nonkeagamaan. Selama tujuannya untuk kesejahteraan bersama dengan tetap menghormati satu sama lain, sama seperti wejangan Kiai Hasyim, masjid ini akan menjadi rumah yang mengayomi semua. (DNE)