Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Warisan Wali untuk Indonesia
Masjid Agung Sang Cipta Rasa bisa menjadi penguat kebersamaan, toleransi, hingga perlawanan terhadap pandemi. Tradisi azan ”pitu” menjadi senandung kisah yang mengiringinya.
Satu per satu anggota jemaah mulai memasuki Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat (30/4/2021) sekitar pukul 11.00. Hampir semua saf di ruang utama masjid penuh, kecuali saf keenam tepat di depan mimbar. Selama berabad-abad, setiap Jumat, tempat itu dikhususkan untuk tujuh orang istimewa.
Sama dengan saf lainnya, tempat itu juga beralas permadani. Namun, ada lima mikrofon menggantung di atasnya. Tujuh pria bergamis putih dan berserban kemudian mengisi saf kosong itu. Mereka menebar senyum, mengatupkan dua tangan, dan menyapa jemaah lain. Aroma wewangian tercium.
Tepat setelah beduk ditabuh, mereka serentak melantunkan azan. Suaranya menggema. Jemaah yang tadinya larut dalam bacaan Al Quran dan zikir pun langsung menjawab panggilan shalat itu. Inilah tradisi kumandange azan pitu (azan tujuh orang) yang berlangsung ratusan tahun.
Syahdan, ritual ini bermula abad ke-15, tidak lama setelah masjid dibangun pada 1488. Kala itu, sebutannya masih Masjid Agung Pakungwati, yang diambil dari nama istri Sunan Gunung Jati, Nyi Ratu Pakungwati.
Sebagai pemrakarsa masjid, Sunan Gunung Jati merupakan salah satu Wali Sanga, ulama besar penyebar Islam. Masjid itu adalah hadiah bagi sang istri. Ini seperti kisah pembangunan Taj Mahal di India, yakni dari Sultan Sjah Jahan (Sjahjahan) kepada istrinya, Begum Mumtaz Mahal.
Atas kesepakatan para Wali Sanga, pembangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang luas bangunan utamanya 13,3 meter x 17,8 m ini konon hanya membutuhkan waktu semalam. Sebanyak 30 tiang jati bulat dengan diameter 40 sentimeter menopang bangunan inti. Adapun serambi masjid ditopang 44 tiang.
Menurut Moh Ismail (46), salah satu muazin azan pitu, kehadiran masjid menarik perhatian masyarakat setempat yang belum banyak memeluk Islam. Kewajiban shalat lima waktu membuat masjid itu sering dikunjungi. Uniknya, bukan hanya orang Islam yang datang.
Salah satu penyebabnya, masjid tersebut tak seperti ”masjid”, tetapi bangunan Jawa dan Majapahit bercorak Hindu. Atapnya yang berbentuk limasan malah membuat orang mengira bangunan tersebut adalah pendopo khas Jawa.
Ini tidak terlepas dari peran Sunan Kalijaga yang menunjuk Raden Sepat, arsitek Majapahit, untuk mengerjakan fisik bangunannya. Lebih kurang 500 pekerja dari Cirebon dan Demak didatangkan.
Yanuar Mandiri dari Departemen Arkeologi Universitas Indonesia dalam artikelnya, ”Ekspresi Majapahit dalam Ornamen Bangunan Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon”, menunjukkan jejak Hindu di masjid itu. Bunga teratai khas Majapahit, misalnya, terdapat di sisi kanan dan kiri mihrab.
Ornamen surya Majapahit yang menyerupai matahari bahkan berada di bagian atas mihrab, tempat imam memimpin shalat. Gapura masjid juga mengadopsi Bajangratu, gapura peninggalan Majapahit. Inilah bukti akulturasi budaya di masjid.
Jadi, saat masuk ke masjid, warga yang bukan Muslim tidak merasa asing. Mereka seperti di rumah sendiri. Kalau sudah betah, hati orang terbuka dan mudah menerima kebenaran.
”Jadi, saat masuk ke masjid, warga yang bukan Muslim tidak merasa asing. Mereka seperti di rumah sendiri. Kalau sudah betah, hati orang terbuka dan mudah menerima kebenaran,” ungkap Ismail.
Inilah strategi dakwah Sunan Gunung Jati yang tidak menghilangkan tradisi warga setempat. Bahkan, nama masjid sengaja dibuat tidak berbahasa Arab, melainkan bahasa setempat. Diberikan oleh Sunan Kalijaga, ”Sang Cipta Rasa” berarti merasakan keagungan Sang Pencipta.
Keterbukaan masjid, lanjutnya, juga tampak dari adanya sembilan pintu masjid yang juga menyimbolkan sembilan wali. Pintu dibuat tidak terlalu tinggi sehingga jemaah harus menunduk, melepaskan keangkuhannya, sebelum memasuki rumah Allah itu.
Melawan wabah
Akan tetapi, ada saja yang dengki melihat masjid ramai pengunjung. Tokoh sakti tetapi jahat bernama Megananda berkesimpulan, jemaah berduyun-duyun ke masjid karena suara azan. Ia lalu menyebarkan racun menjangan wulung di dalam masjid yang sasaran utamanya muazin. Racun ini mewabah kepada jemaah lainnya.
Belum ada kepastian, penyakit apa yang mewabah kala itu. Namun, yang terkena bisa sakit pagi hari dan meninggal sorenya. Sunan Gunung Jati lalu mengumpulkan semua kerabat keraton untuk tafakur semalam. Muncullah ilham agar azan tidak dilakukan seorang diri.
Dua hingga enam orang lalu mengumandangkan azan bersamaan, tetapi tidak sampai tuntas. Racun Megananda terlalu kuat. Hingga tujuh orang mencoba azan bersama dan selesai. Megananda yang bersembunyi di memolo (serupa kubah masjid) pun kepanasan dan meledak.
Itu sebabnya, menurut Profesor Dadan Wildan dalam bukunya, Sunan Gunung Jati: Petuah, Pengaruh, dan Jejak-jejak Sang Wali di Tanah Jawa, Masjid Agung Sang Cipta Rasa tidak memiliki memolo. Adapun ketujuh muazin itu terkulai lemas dan wafat.
Menurut Ismail, memolo masjid terbang hingga ke Banten dan terpasang di kubah Masjid Agung Banten yang kini bertingkat dua. Sejak itu, azan pitu dikumandangkan setiap shalat lima waktu. Namun, karena kondisi kian kondusif, tradisi tersebut hanya dijalankan setiap azan pertama shalat Jumat.
Para muazin merupakan pengurus dewan kemakmuran masjid yang berganti setiap generasi. ”Kami tidak pernah latihan azan bersama, tetapi suaranya masuk (seirama),” ujar Ismail, cucu pemimpin DKM KH Achid.
Baca juga : Menjaga Napas Toleransi di ”Kota Wali”
Selain shalat Jumat, azan pitu juga terdengar ketika terjadi musibah. Ketika pandemi Covid-19 mulai melanda tahun lalu, azan pitu sempat berkumandang di masjid sebelum para muazin menyebar ke empat titik perbatasan Kota Cirebon. Daerah itu adalah Tuparev, Krucuk, Mundu, dan Penggung.
”Ini pertama kali kami azan dengan wilayah lebih luas. Harapannya, bisa menangkal wabah. Pesan lainnya, azan mengingatkan kita untuk kembali shalat, menghadap Allah SWT,” tutur Ismail.
Ikhtiar lain melawan wabah juga dilakukan dengan beberapa cara, seperti mewajibkan penggunaan masker dan memasang pengukur suhu tubuh di masjid. Ini adalah respons istimewa menghadapi keadaan tidak biasa.
Baca juga : Memadamkan Sumbu Bom Intoleransi
Temuan bom
Selain wabah, Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga pernah dihadapkan pada aksi terorisme. Pada Jumat (26/2/2010) sekira pukul 15.00, bungkusan plastik berisi bom rakitan yang gagal meledak ditemukan di area masjid. Saat itu, ribuan warga tengah memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang rutin digelar di Keraton Kasepuhan Cirebon, tepat di samping masjid.
Bungkusan itu berisi bensin, pecahan kaca, baterai, dan kabel. Kekuatan ledaknya bisa mencapai 15 meter dan berpotensi membakar material masjid yang didominasi kayu. Ismail menduga, ada sekelompok orang yang tidak sepakat dengan tradisi peringatan Maulid Nabi Muhammad dan keterbukaan masjid terhadap berbagai golongan.
Padahal, masjid tersebut sudah berabad-abad jadi pusat penyebaran Islam, pendidikan, dan penyemaian toleransi. Salah satu peninggalan berharga adalah tiang saka tatal yang terbuat dari serpihan kayu. Kehadiran tiang itu punya kisah.
Ini bermula dari pembangunan masjid yang menggunakan 74 tiang jati dari Jatitujuh, perbatasan Indramayu dan Majalengka. Ketika sampai di Jamblang, sekitar 16 kilometer dari masjid, Putri Ong Tien dari China yang juga istri Sunan Gunung Jati meminta satu tiang untuk pembangunan Wihara Jamblang. Tiang untuk masjid pun tersisa 73 buah.
Untuk mengganti satu tiang tersebut, Sunan Kalijaga mengumpulkan serpihan kayu menjadi tiang penopang masjid. ”Pesannya, dari sesuatu yang kecil dan sederhana bisa menjadi sesuatu bermanfaat. Seperti sapu lidi. Kalau cuma satu saja enggak berguna. Tapi kalau dikumpulkan, bisa membersihkan sesuatu. Umat Islam juga harus begitu,” ujarnya.
Baca juga : Jaga Pesan Terakhir Sultan Sepuh demi Masa Depan Gemilang
Ragam warisan nilai di masjid ini membuat banyak orang berkunjung. Mendiang sastrawan Ajip Rosidi, misalnya, meminang artis senior Nani Widjaja di masjid itu pada April 2017. Begitu pun dengan pejabat, dari bupati hingga Wakil Presiden Ma’ruf Amin pernah menyempatkan diri shalat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Pada awal 2020, rombongan anak muda dari berbagai agama yang tergabung dalam Peace Train Indonesia 2020 juga mengunjungi masjid tersebut. ”Tempat ini termasuk mengenalkan perdamaian dengan sejarah besarnya. Bangunannya juga masih terawat,” kata Cici Situmorang (33), koordinator lokal Peace Train yang juga warga Cirebon, tentang masjid dengan tembok bata merah itu.
Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati mengatakan, masjid kuno, seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa, merupakan potensi besar mengungkit pariwisata Cirebon melintasi zaman. Bersama At Taqwa Center, pihaknya bakal mengembangkan wisata masjid kuno. ”Ini daya tarik bagi wisatawan, khususnya wisata religi,” katanya.
Dengan beragam kisah dan sejarahnya, Masjid Agung Sang Cipta Rasa bisa menjadi penguat kebersamaan, toleransi, hingga perlawanan terhadap pandemi. Hal itu masih tampak dari bangunan dan tradisi. Mungkin yang baru hanyalah tulisan kapur di kayu bagian atas di saf depan bertuliskan ”bocor”, lengkap dengan tanda panah, menunggu segera diperbaiki.
Baca juga : Keberagaman dari Jamblang