Di Tengah Puasa dan Pandemi, Warga Miskin Kian Terimpit
Warga miskin kota mengeluhkan sulitnya mencari penghidupan selama momen Ramadhan dan pandemi Covid-19. Sejumlah kebutuhan terus bermunculan, tetapi penghasilan mereka kian berkurang.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga miskin kota berhadapan dengan sulitnya mencari penghidupan saat momen Ramadhan dan pandemi Covid-19. Sejumlah kebutuhan terus bermunculan, tetapi penghasilan mereka kian berkurang.
Memasuki pekan kedua Ramadhan, Kamis (22/4/2021), sejumlah warga di Jakarta mengeluhkan kesulitan mencari nafkah dari bidang usaha mereka. Alih-alih penghasilan bertambah, kerja keras mereka berjualan barang atau jasa selama seharian malah berkurang.
Slamet Agus Heryanto (28), pemulung barang bekas di sekitarJalan Raya Daan Mogot, Jakarta Barat, menyebut kesulitan uang karena belakangan penghasilan dari memulung turun drastis. Hasilnya mengumpulkan kardus, kertas, dan plastik bekas dalam seminggu hanya 200 kilogram (kg) dan laku dijual seharga Rp 500.000.
Jumlah itu terhitung sedikit karena pada hari-hari sebelum pandemi dia bisa mengumpulkan berbagai barang bekas sedikitnya 50 kg setiap hari dan dalam seminggu bisa diperoleh lebih dari 350 kg barang bekas. Penghasilannya dalam sepekan bisa Rp 800.000 hingga Rp 1 juta.
Minimnya penghasilan sejak awal tahun 2021 membuat Slamet dan istrinya kesulitan mencukupi kebutuhan belanja sehari-hari. Mereka pun membatalkan rencana mudik lebih awal ke kampung halamannya di Kebumen, Jawa Tengah.
”Ramadhan ini, sedikitnya penghasilan saya semakin terasa. Butuh beli apa-apa serba kekurangan. Mau menyegerakan mudik pun enggak bisa karena enggak ada uang,” ucapnya, Kamis siang.
Slamet mengatakan, sejak awal bulan puasa, ia dan istrinya sudah berusaha mengirit agar dapat menyisihkan uang untuk pulang kampung, salah satunya tidak makan di warung.
Namun, menurut perkiraannya, biaya untuk pulang kampung saat ini jauh lebih tinggi. Untuk naik bus atau kereta, setidaknya memakan biaya Rp 300.000 per orang. Jika ditambah dengan surat keterangan negatif Covid-19 dengan tes cepat antigen, biayanya akan menjadi Rp 500.000 per orang.
Kondisi serba kelurangan turut membuat Slamet dan istri sering bertengkar. ”Kemarin, saya berantem dengan istri karena urusan utang Rp 150.000 di warung dekat rumah. Saya bilang minta waktu, habisnya mau bayar pakai apa,” ujar laki-laki yang enam tahun terakhir bermukim di Jakarta, ini.
Dalam beberapa pekan, Suherman juga kerap menebeng buka puasa di Masjid Raya Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat. Hal itu dia lakukan demi mengirit pengeluaran untuk buka puasa.
Mencari takjil gratis
Kondisi kekurangan juga dialami Suherman (38), pemilik bengkel sepeda motor di Jelambar, Jakarta Barat. Dia mendapati usaha yang sepi seiring keputusan sejumlah tetangga untuk mudik. Dia hanya memegang uang Rp 800.000 untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya hingga menjelang Lebaran.
Dengan uang pegangan yang terbatas, Suherman meminta istrinya menghemat belanja. Sebab, hingga kini dia belum bisa memastikan adanya pundi-pundi pemasukan tambahan.
Dalam beberapa pekan, Suherman juga kerap menebeng buka puasa di Masjid Raya Al-Isra, Tanjung Duren, Jakarta Barat. Hal itu dia lakukan demi mengirit pengeluaran untuk buka puasa.
”Baru beberapa hari ini, saya jadi rutin buka puasa di masjid. Sepulang dari masjid, kadang saya bawa hidangan takjil berlebih untuk orang rumah. Ya, berkah kecil seperti itu saya pikir mesti disyukuri,” ungkapnya.
Slamet dan Herman adalah bagian dari warga miskin kota yang terdampak kondisi pandemi. Warga miskin adalah golongan orang yang mengeluarkan uang lebih sedikit dari angka garis kemiskinan yang ditentukan Badan Pusat Statistik (BPS). Adapun angka garis kemiskinan pada September 2020 adalah Rp 683.339.
BPS DKI Jakarta sebelumnya mencatat jumlah warga miskin kota bertambah menjadi 497.000 jiwa per September 2020. Sebelumnya, ketika BPS melakukan penghitungan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin 481.000 jiwa.
Kepala BPS DKI Jakarta Buyung Lalana menyebutkan, kondisi peningkatan jumlah warga miskin kota itu merupakan dampak nyata pandemi Covid-19. Dari data yang diumumkan BPS, dia mengatakan semakin banyak orang yang berbelanja di bawah angka garis kemiskinan (Kompas, 15/2/2021).
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, kondisi warga miskin kota saat ini harus disambut dengan bantuan sosial yang telah dialokasikan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional. Begitu pula adanya bantuan berupa zakat di bulan Ramadhan, mungkin bisa diarahkan untuk mereka yang penghidupannya terdampak pandemi Covid-19.
”Program bantuan itu harus tepat sasaran ke yang benar-benar butuh. Setidaknya setahun ini masalah bantuan masih terus berkutat pada pendataan yang lemah,” jelas Faisal.
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanagara Carunia Mulya Firdausy menuturkan, bansos dan stimulus bukan solusi permanen. Kedua program ini sifatnya membantu meringankan beban masyarakat untuk jangka waktu pendek. Sejatinya, APBN ataupun APBD tidak akan pernah cukup untuk menjadi tumpuan penyejahteraan rakyat tanpa disokong program-program lain yang lebih sistematis dan permanen.
Sambil terus mengucurkan bansos, harus ada pengalokasian anggaran ke penanganan pandemi yang bersifat pencegahan guna menurunkan biaya pengobatan. Selain itu, diperlukan pula stimulus berupa penurunan biaya listrik atau bahan bakar minyak untuk masyarakat miskin (Kompas, 15/2/2021).
Sebelumnya, Sekretaris Lembaga Wakaf Majelis Ulama Indonesia (MUI) Guntur Subagja Mahardika menyampaikan, lembaga zakat, infak, dan sedekah pada Ramadhan kali ini akan dimaksimalkan untuk penyaluran dana bagi warga yang terdampak pandemi. Rencana tersebut sesuai dengan fatwa MUI yang terbit pada Ramadhan 2020.
”Potensi zakat saja, misalnya, di Indonesia sangat besar. Sudah saatnya lembaga zakat, infak, dan sedekah menjadi motor penggerak umat untuk membantu sesama,” ucap Guntur dalam telekonferensi pers MUI yang disiarkan pada Kamis (22/4/2021).