Pembangunan Kota yang Inklusif Wajib Libatkan Partisipasi Masyarakat
Penataan kota akan berjalan dan berhasil baik apabila suara warga, termasuk warga yang terpinggirkan, dirangkul dan diakomodasi oleh pemangku kepentingan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Pembangunan kota yang berkelanjutan sejatinya tidak lagi menekankan pada kemajuan ekonomi semata, tetapi memastikan terjadinya akses dan distribusi layanan yang inklusif kepada semua kelompok marjinal. Membuat semua itu menjadi kenyataan adalah menciptakan dialog dua arah antara semua pihak terlibat, pemerintah, warga, dan sektor swasta.
”Ketimpangan dan ketidakadilan di perkotaan selama ini dianggap menjadi semacam kewajaran, bahkan dalam berbagai konteks studi perkotaan. Sejumlah penelitian mengenai Jakarta, misalnya, hanyut dalam pemikiran bahwa kesenjangan sosial memang dampak alamiah dari kehidupan perkotaan yang kompetitif,” kata sosiolog dari Universitas Ilmu-ilmu Sosial Singapura (SUSS), Rita Padawangi, dalam seminar dari Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada hari Selasa (20/4/2021).
Ia menjelaskan, munculnya pandangan mewajarkan ketimpangan ini ialah karena masyarakat terjebak melihat kota sebagai aset ekonomi sehingga semua langkah yang diambil bersifat pragmatis. Asumsi bahwa kota yang modern adalah kota yang dipenuhi berbagai teknologi canggih dan menyingkirkan elemen-elemen tradisional yang dianggap ketinggalan zaman, bahkan tidak rapi dan kotor menjadi pakem.
Di Ibu Kota terdapat 26.000 hektar wilayah permukiman padat dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. (Henny Warsilah)
Sejumlah contoh ialah penghilangan becak di Jakarta karena dianggap tidak tertib lalu lintas, penggusuran permukiman di wilayah yang dikategorikan sebagai aset umum, dan penggusuran untuk pembangunan infrastruktur yang melayani kepentingan orang banyak. Namun, kepentingan warga marjinal yang bertempat tinggal di daerah tersebut sering tidak menjadi pertimbangan karena keputusan semuanya diambil dari atas atau pemerintah, tanpa melibatkan aspirasi warga.
”Pembangunan memang penting, tetapi jangan pada konteks mengorbankan yang marjinal. Di sini pendekatan berupa mediasi menjadi sangat penting karena semua keputusan aturan perkotaan sebenarnya adalah keputusan politik, tidak hanya pragmatis, sehingga wajib melihat dari aspek hak asasi manusia. Namun, harus digarisbawahi keputusan politik tidak berarti janji politik dan dipolitisasi, tetapi membangun sebuah budaya dan sistem pembangunan yang inklusif,” ujar Rita.
Pembahasan pembangunan, misalnya normalisasi sungai, melibatkan pihak di luar pemerintah dan warga, seperti akademisi, pakar sosial, dan pakar teknis infrastruktur. Mereka kemudian menggodok beberapa pilihan solusi. Keputusan atas solusi yang akan dipakai jangan di tangan pemerintah, tetapi hasil rembuk dari semua pihak terkait, terutama warga yang menanggung dampaknya.
Pembangunan, kata Rita, juga tidak sebatas pembenahan fisik, tetapi juga perbaikan struktur ekonomi. Apabila hanya di permukaan, penduduk marjinal justru akan semakin rentan karena mereka akan otomatis jatuh ke tingkat paling bawah dalam jenjang perekonomian dan terlibas oleh pasar.
Hal ini tampak dalam persoalan pembebasan lahan. Jika acuan kompensasi dari pemerintah adalah bukti kepemilikan tanah, solusinya bukan dengan memberi sertifikat hak milik kepada warga. Keberadaan sertifikat justru membuat tanah itu sebagai aset komersial yang bisa diperdagangkan. Tanpa pengawasan yang baik, tanah-tanah warga justru berisiko diincar oleh pemilik modal yang lebih besar dan ujung-ujungnya warga kembali tersingkir.
”Pemikiran bahwa warga yang akan dibebaskan lahannya harus dijamin memperoleh hunian layak harus ada. Jangan sampai ketika sudah menerima ganti rugi warga kemudian mencari lokasi tempat tinggal baru yang juga bermasalah di wilayah lain,” ujarnya.
Koordinasi
Profesor Riset Sosiologi LIPI Henny Warsilah, yang melakukan penelitian di wilayah perkampungan urban Jakarta, mengatakan, di Ibu Kota terdapat 26.000 hektar wilayah permukiman padat dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Secara pengetahuan lokal, warga memang memiliki cara untuk hidup dalam situasi yang padat, rawan kebakaran, dan banjir. Namun, mereka belum tentu memiliki pengetahuan mengenai mitigasi terhadap risiko tersebut karena melibatkan berbagai faktor di luar tempat tinggal.
Pengetahuan akan mitigasi dan keberlanjutan lingkungan ini yang harus disosialisasikan kepada semua unsur masyarakat sehingga muncul kepahaman. Apabila solusi yang disepakati oleh semua pihak adalah pemindahan warga dan pembebasan lahan, harus ada keadilan di dalam semua prosesnya. Demikian pula jika solusi yang disepakati adalah pembenahan tata permukiman warga, harus ada komitmen untuk memastikan perilaku hidup juga berubah untuk menjaga keberlangsungan lingkungan perkotaan.
”Sekarang Jakarta tidak bisa lagi berpikir hanya dalam batas geografisnya. Kota-kota satelit adalah wilayah yang terimbas pembangunan Jakarta karena mereka menjadi tujuan domisili bagi warga yang dulu tinggal di Jakarta. Harus ada koordinasi antarpemerintah daerah mengenai tata hunian layak dan murah serta akses transportasi publik serta sekolah yang baik,” ujar Henny.
Partisipatif
Salah satu wilayah di Jakarta yang dinilai berhasil mempraktikkan pendekatan partisipatif warga adalah Kampung Aquarium di Penjaringan, Jakarta Barat. Setelah penggusuran pada tahun 2017, warga mengajukan gugatan perwakilan kelompok (class action) kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Kampung ini memang ada di dalam wilayah cagar budaya, tetapi setelah dicek aturannya, tidak semua wilayah cagar budaya adalah milik pemerintah. Ada yang bisa dimiliki oleh yayasan swasta, bahkan perorangan,” kata Koordinator Kampung Aquarium sekaligus Ketua Koperasi Kampung Aquarium, Dharma Diani.
Berbasis ketentuan itu warga meminta kepada Pemprov DKI Jakarta agar tidak direlokasi ke tempat yang jauh. Melalui diskusi yang panjang dan melibatkan akademisi, pakar cagar budaya, dan lembaga swadaya masyarakat, dicapai kesepakatan untuk membangun kampung susun sebagai tempat tinggal 500 keluarga yang sebelumnya digusur.
Menurut Diani, warga menyetujui persyaratan pembangunan permukiman di wilayah cagar budaya seperti tinggi gedung kampung susun tidak boleh melebihi empat lantai. Mereka juga membentuk koperasi yang mengelola pembangian unit kampung susun, keamanan, dan kebersihan.
”Kami meminta kepada pemprov agar tidak hanya memberi ganti rugi dan hunian, tetapi jaminan bermukim bahwa tempat tinggal baru ini tidak akan diperkarakan sehingga warga bisa hidup tenang. Apabila ada pembenahan wilayah, jangan cuma infrastruktur, angkat juga martabat warganya,” tuturnya.