Pengusaha Kecil Bertahan Selama Pandemi Sembari Menahan Napas
Perpindahan metode penjualan ke lapak e-dagang menghadapi berbagai kendala, mulai dari gagap teknologi sampai ketidakdisiplinan penjual merapikan e-katalog dan merespons pesanan yang masuk.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Satu tahun pandemi Covid-19 melanda, sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah tetap bisa bertahan, bahkan berkembang. Memanfaatkan media sosial sebagai sarana pemasaran menjadi metode yang dipilih di tengah sepinya kehadiran pasar secara fisik.
Pada Rabu (10/3/2021) Tri Sugiarti sibuk menyusun berbagai kerajinan dari kertas bekas di rumahnya di Kelurahan Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Ada kotak tisu, kota perhiasan, stoples, dan juga tempat lampu. Semua terbuat dari potongan kertas koran, lembar majalah bekas, ada juga dari sisa brosur berbagai minimarket.
”Waktu dua sampai tiga bulan di awal pandemi tahun 2020 memang sempat enggak ada pemasukan sama sekali karena enggak ada pembeli. Untungnya perlahan pesanan sudah mulai masuk lagi,” kata Tri yang memasarkan produknya dengan merek Kreasi Menik.
Justru selama pandemi kantor-kantor kelurahan dan kecamatan diserbu para pelaku usaha meminta pendampingan agar tidak gulung tikar.
Tri mengaku usahanya bisa bertahan karena sejak awal pandemi telah sering mengikuti bazar serta berbagai lomba UMKM di Jakarta dan kota-kota lain. Dari kegiatan itu, ia mengumpulkan kontak para pelanggan. Umumnya, pembeli produk-produk buatannya adalah perusahaan sebagai cendera mata untuk diberikan kepada klien.
Di awal pembatasan sosial berskala besar (PSBB) tahap pertama, hampir semua kegiatan berhenti, kecuali sektor-sektro esensial. Pada masa itu, Tri sekeluarga terpaksa mengandalkan hidup dari tabungan. Sekarang PSBB lebih longgar, dalam artian acara penikahan boleh diadakan dengan syarat menerapkan protokol kesehatan. Kantor-kantor juga kembali beraktivitas dan berinteraksi dengan klien.
”Tren sekarang kalau ada acara pernikahan, walaupun sederhana di catatan sipil atau KUA (Kantor Urusan Agama), pasangan pengantin tetap memesan oleh-oleh untuk dikirim ke teman-teman dan kerabat,” ucapnya.
Waktu selama dua bulan tanpa pesanan ia manfaatkan untuk membuat produk. Ketika pesanan kembali masuk, Tri mengaku tidak khawatir memenuhi permintaan klien karena stok tersedia. Bahkan, beberapa hari yang lalu ia mengirim sejumlah produk ke Jayapura atas permintaan seorang pembeli.
”Sekarang saya sedang mengembangkan usaha lilin wangi dan sabun cuci dari minyak jelantah. Kalau saya lihat tren selama pandemi orang-orang lebih peduli sama kesehatan dan lingkungan. Di media sosial, produk-produk daur ulang jadi laku. Ini usaha sabun juga mencoba bikin produk daur ulang fungsional, bukan dekorasi saja,” ujarnya.
Tri berpendapat, walaupun pesanan mulai banyak, seperti 10 hingga 20 kotak tisu terjual setiap hari, situasi belum bisa dikatakan stabil. Oleh sebab itu, ia terus mencari produk-produk baru yang unik untuk dikembangkan selama pandemi agar bisa memberi kesempatan lebih banyak untuk bertahan.
Tertata
Kepala Suku Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Kecil dan Menengah (PPKUKM) Jakarta Selatan Sita Damayanti mengatakan, di kota administrasi ini sudah ada 17.944 pelaku usaha yang mengikuti program Jakrpreneur. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12.091 orang telah mengikuti pelatihan, baik berupa teknik pemolesan produk agar sesuai dengan standar jual maupun berbagai keterampilan lunak, seperti mengelola neraca keuangan dan cara pemasaran.
”Justru selama pandemi kantor-kantor kelurahan dan kecamatan diserbu para pelaku usaha meminta pendampingan agar tidak gulung tikar,” katanya.
Mayoritas yang tercatat di Jakarta Selatan adalah sektor kuliner. Sita mengatakan, salah satu arahan dari Sudin PPKUKM ialah agar tidak menyetok produk jadi karena jumlah pesanan masih turun naik dan risiko produk itu rusak ataupun basi. Para penjual disarankan menerapkan sistem membuat produk ketika ada pesanan masuk. Dalam hal ini relatif mudah dilakukan.
Tantangan berada pada digitalisasi UKM. Sudin bekerja sama dengan sejumlah perusahaan e-dagang untuk memasarkan produk-produk UKM. Permasalahannya, hampir semua pelaku usaha masih menganut mental menjual langsung karena terbiasa dengan sistem pameran dan bazar. Padahal, selama PSBB dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat kegiatan itu sukar dilaksanakan.
Kepala Seksi KUKM Andrianto Prabowo menerangkan, perpindahan metode penjualan ke lapak e-dagang menghadapi berbagai kendala, mulai dari gagap teknologi sampai ketidakdisiplinan penjual merapikan e-katalog dan merespons pesanan yang masuk. Apalagi, mayoritas pelaku UMKM di Jakarta Selatan berusia 40 tahun ke atas.
”Pelaku UMKM yang berusia 20 tahun sampai akhir 30-an tahun memang lebih pandai memakai gawai dan cepat sekali berinisiatif mengusur izin usaha. Pendampingan ke mereka juga jauh lebih mudah,” ujarnya.
Menurut dia, pada masa pandemi, animo masyarakat menjadi pelaku UMKM justru bertambah karena fenomena pekerja yang dirumahkan. Sambil mengisi waktu luang, mereka mulai membuat berbagai produk. Di permulaan pandemi, masker kain merupakan jenis komoditas yang paling banyak diproduksi oleh UMKM.
Akan tetapi, masker-masker ini akhirnya terlibas ketika merek-merek pakaian ataupun perusahaan konveksi besar turut membuat masker. Produksi pabrikan dijual dengan harga lebih murah, seperti di bawah Rp 10.000, karena sekali buat bisa ribuan lembar. Masker produksi UMKM rata-rata harga jualnya di atas Rp 10.000 karena murni buatan tangan.
”Strategi yang diambil ialah diversifikasi produk. Jangan cuma bergantung pada masker, harus ada variasi, misalnya membuat aksesori yang bisa dipakai sehari-hari dan produk-produk turunan makanan yang bisa disimpan beberapa hari,” kata Andrianto.
Pelatihan teknis menjahit, menganyam, dan keterampilan lain menjadi sangat penting. Andrianto menjelaskan, produk UMKM harus memiliki nilai plus dibandingkan dengan produk pabrikan. Misalnya untuk masker buatan UMKM, jika harga jualnya lebih mahal daripada masker konveksi, desainnya harus lebih mewah dan bahan bakunya lebih bermutu agar layak dijual lebih mahal.
Meskipun begitu, belum semua UMKM merasa diperhatikan. Di Kelapa Gading, Jakarta Utara, misalnya, Donna Altamirano, seorang pemilik salon rumahan, mengatakan, belum banyak program yang ditawarkan untuk bidang usaha tersebut. Mayoritas pendampingan masih di sektor kuliner dan kerajinan.