Penumpang Bersiasat Saat Transportasi Umum Kembali Padat
Sebagian penumpang moda transportasi umum berupaya mempercepat waktu pulang atau naik kendaraan pribadi saat bepergian. Semua itu demi menghindari potensi penularan Covid-19 dari kerumunan di pusat kota.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga Jakarta dan sekitarnya mulai mewaspadai potensi penularan Covid-19 di angkutan umum sejak sebagian moda transportasi, terutama kereta rel listrik, dipadati penumpang beberapa minggu terakhir. Ada yang bersiasat menghindari kerumunan di stasiun dengan mempercepat waktu pulang kerja dan ada pula yang berencana menggunakan kendaraan pribadi.
Kepadatan penumpang terlihat di kawasan Stasiun Tanah Abang dan Halte Jaklingko Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (10/3/2021). Pantauan Kompas menunjukkan antrean penumpang di kawasan itu mulai ramai sekitar pukul 09.00 dan pukul 16.00 saat warga Jabodetabek berangkat dan pulang kerja.
Alfi Syahrin (27), karyawan yang hendak pulang ke rumahnya di Klender, Jakarta Timur, menyegerakan pulang karena antrean penumpang di Stasiun Tanah Abang belakangan lebih ramai saat jam pulang kerja. Dari sebelumnya keluar kantor pukul 17.00, hari Rabu ini dia mulai jalan sejak pukul 15.30.
”Kemarin saat pulang menjelang malam, antrean kereta ke arah Jatinegara ramai banget. Saya enggak berani naik kalau (kereta) penuh. Jaga-jaga terus selama masih pandemi Covid-19,” kata Alfi saat dijumpai pada Rabu sore.
Rusliyanto (47), warga Tangerang, Banten, juga harus berdesakan dengan penumpang lain saat menumpangi KRL rute Rangkasbitung-Tanah Abang pada Rabu pagi. Baginya, kepadatan penumpang di pagi itu menyerupai situasi sebelum pandemi. Akibatnya, penumpang pun tidak bisa menjaga jarak fisik.
Rusliyanto mengaku tak punya pilihan naik kereta dengan jadwal yang lebih mundur karena ia harus sampai di kantor sebelum pukul 09.00. ”Naik kereta yang ini saja sudah telat karena mesti antre dulu. Kalau enggak kepepet waktu, saya enggak bela-belain naik kereta sepadat ini,” jelasnya.
Ia pun berencana mengendarai mobil pribadi jika hingga beberapa hari ke depan KRL masih dipadati penumpang. Namun, untuk saat ini, dia masih memilih KRL dengan menumpangi gerbong yang relatif tidak terlampau sesak penumpang.
Ika Nurly (25), warga Bekasi, Jawa Barat, juga cenderung menyegerakan waktu pulang kerja untuk menghindari kepadatan atrean penumpang di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Ia mengaku tidak memiliki pilihan lain, selain kereta, untuk menunjang mobilitasnya bekerja dari rumahnya di Bekasi ke tempatnya bekerja di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang berada di sekitar Cikini.
”Saya enggak ada pilihan transportasi ke kantor, selain kereta. Kalau terlalu ramai, saya pasti milih pulang lebih cepat saat jam belum padat,” ujar Ika.
Mulai padatnya penumpang di angkutan umum ini tak lepas dari melonggarnya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro belakangan ini. Kebijakan pelonggaran PPKM itu meliputi perkantoran yang mulai boleh diisi oleh 50 persen pegawai. Fasilitas umum pun kini diperbolehkan buka dengan pembatasan pengunjung 50 persen. Pusat perbelanjaan juga diizinkan buka hingga pukul 21.00 dari sebelumnya dibatasi hingga pukul 19.00.
Beberapa hari sebelumnya, Senin (8/3/2021), PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), penanggung jawab moda KRL, pun mencatat kenaikan penumpang saat pagi sebanyak 139.759 orang. Jumlah tersebut meningkat sekitar 10 persen dari 126.278 orang pada Senin pekan sebelumnya.
Vice President Corporate Secretary PT KCI Erni Sylviane Purba meminta penumpang tidak memaksakan diri naik kereta saat sudah penuh. ”Saya berharap kesadaran penumpang ketika menghadapi jam sibuk. Pembatasan moda masih berlangsung sesuai arahan dari pemerintah,” katanya.
Sekretaris Daerah DKI Jakarta Marullah Matali mengatakan, penanganan pandemi masih terkendala mobilitas warga di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. ”Saya masih lihat jalan saat ini macet di mana-mana. Artinya mobilitas saat ini masih tinggi,” ucapnya.
Sulfikar Amir, sosiolog bencana asal Indonesia yang mengajar di Nanyang Technological University (NTU), Singapura, menilai, pemerintah tampak tidak mampu menahan laju mobilitas warga dalam waktu yang lama. Kebijakan yang diterapkan saat ini pun sama sekali tidak mengarah pada langkah pembatasan mobilitas.
Hal yang bisa dilakukan saat ini adalah mengetatkan perilaku kebersihan warga di setiap tempat. ”Persoalan mobilitas memang pelik sekali, sementara setiap kebijakan pembatasan tahun ini justru malah banyak pelonggaran. Kalau tidak bisa membatasi mobilitas, kita hanya bisa mengandalkan protokol kesehatan di setiap lokasi. Selain itu, tes dan pelacakan kasus juga jangan sampai kendur,” jelas Sulfikar (Kompas, 28/2/2021).