Bagi kelompok masyarakat yang mengalami impunitas sosial akibat tidak bisa mengakses pendidikan, pekerjaan, dan penghidupan yang baik, landasan unjuk kekuatan adalah hukum rimba.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Maraknya perilaku anarkistis yang ditimbulkan dari berbagai kelompok, seperti geng motor, terkait dengan berbagai ketidakpuasan terhadap situasi sosial saat ini. Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama satu tahun menjadi alasan untuk menunjukkan kemarahan tersebut.
”Aspek penyebabnya berkelindan, mulai dari lemahnya ketahanan budaya sampai gagap mengikuti revolusi teknologi,” kata Profesor Riset Sosiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Henny Warsilah, di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Kasus terkini ialah penangkapan anggota geng motor All Star Serang Timur di Serang, Banten. Mereka mendapat perhatian publik setelah mengunggah video di media sosial. Isi video tersebut adalah para anggota geng bersorak-sorai di atas motor sambil mengacung-acungkan berbagai senjata tajam. Mereka juga menyerukan tantangan kepada geng lain untuk berkonfrontasi mengadu kekuatan.
Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Firman Hadiansyah (40), yang akrab dengan sejumlah komunitas sepeda motor, bahkan kaget dengan keberadaan geng itu. Pasalnya, para penggemar motor yang ia kenal umumnya giat melakukan bakti sosial ataupun kegiatan-kegiatan positif lainnya (Kompas.id, 3 Maret 2021).
Makanya, permasalahan sosial seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara hukum, seperti polisi menyisir keberadaan geng. Ini benar-benar usaha seluruh masyarakat perkotaan dan lebih spesifik lagi komunitas di suatu lingkungan untuk memastikan setiap warga merasa aman dan hidup tanpa kecemasan.
Kekerasan akibat geng motor juga terjadi di Ibu Kota. Pada akhir Februari, seorang polisi dibacok oleh sejumlah anggota geng motor di Menteng, Jakarta Pusat. Setelah pelaku kekerasan ditangkap, polisi mengumumkan bahwa geng tersebut berasal dari Muara Baru, Jakarta Utara. Mereka berkonvoi keliling Jakarta sambil memamerkan senjata tajam dan meneriakkan kata ”utara” sebagai penanda wilayah asal.
Pada Agustus 2020, ada geng motor yang mengeroyok lima remaja di Matraman, Jakarta Timur, pada waktu subuh. Padahal, para korban bukan anggota geng dan sedang duduk nongkrong. Akibat penyerangan itu, dua orang yang diserang tewas.
Henny menjelaskan, perilaku unjuk kekuatan memang alami dalam diri makhluk hidup. Tujuannya demi bisa bertahan hidup dan tidak diganggu oleh orang atau makhluk hidup lain. Apabila dikembangkan dalam lingkungan yang positif dan produktif, sikap unjuk kekuatan ini berevolusi menjadi unjuk kepandaian dan keahlian untuk tujuan yang baik.
”Bagi kelompok masyarakat yang mengalami impunitas sosial akibat tidak bisa mengakses pendidikan, pekerjaan, dan penghidupan yang baik, landasan unjuk kekuatan adalah hukum rimba. Mereka yang kuat akan menghabisi yang lemah,” paparnya.
Perkembangan teknologi belum sepenuhnya menyempitkan kesenjangan sosial, malah di banyak aspek kian melebarkan jurang tersebut. Henny mencontohkan adanya pandemi Covid-19 yang berdampak pada pemecatan tenaga kerja tidak terampil sehingga risiko kemiskinan semakin meningkat.
”Adanya kegiatan belajar dari rumah juga memunculkan risiko baru bagi anak-anak, terutama remaja. Jenuh tidak bertemu teman, frustrasi akibat orangtua kehilangan nafkah, beban ekonomi tidak bisa membeli paket data, dan keinginan untuk bisa diakui,” tuturnya.
Di samping itu, ruang ekspresi juga sangat terbatas. Kegiatan bagi anak-anak muda selama pandemi seolah mati suri. Di masa seperti ini, geng menawarkan tempat untuk susah dan senang bersama, terlebih memberikan tujuan untuk menjadi yang terkuat agar tidak terlibas arus kehidupan.
Ia menjabarkan, ketahanan budaya masyarakat juga ternyata tidak kuat. Keberadaan geng tidak bisa serta-merta disalahkan kepada para anggotanya sebagai anak nakal dan bermasalah. Nilai dan norma yang dianut oleh anggota geng tetap saja berasal dari keluarga dan lingkungan tempat mereka tumbuh serta berkembang.
Kesibukan orangtua bukan berarti keteladanan hidup dan transfer norma tidak bisa terjadi. Mutu pendidikan yang holistik antara keluarga, sekolah, dan lingkungan menentukan pandangan hidup remaja. Apabila ketiga aspek tersebut tidak bisa memberikan jalan keluar bagi mereka, cara yang dipilih ialah dengan kekerasan.
”Makanya, permasalahan sosial seperti ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara hukum, seperti polisi menyisir keberadaan geng. Ini benar-benar usaha seluruh masyarakat perkotaan dan lebih spesifik lagi komunitas di suatu lingkungan untuk memastikan setiap warga merasa aman dan hidup tanpa kecemasan,” kata Henny.
Pendampingan
Dalam kesempatan yang berbeda, sosiolog Universitas Negeri Jakarta yang melakukan penelitian mengenai masyarakat akar rumput perkotaan, Asep Suryana, menerangkan, lingkaran setan kemiskinan tidak bisa diputus hanya dengan menaikkan tingkat perekonomian. Harus dipahami bahwa budaya kemiskinan melebihi isi dompet, tetapi terpatri di dalam cara berpikir dan berlaku.
”Contohnya ialah persepsi masyarakat miskin terhadap pendidikan, pelatihan kerja, dan etos kerja. Ketiga hal ini tidak bisa langsung berubah hanya jika individu itu memperoleh uang yang banyak. Apabila sejak awal tidak pernah diajak menabung, ia takkan menabung. Jika sejak awal ia tidak melihat pendidikan itu penting, ketika punya uang pun anaknya tidak didorong untuk sekolah,” paparnya.
Pendidikan masyarakat untuk mengubah budaya kemiskinan ini tidak hanya dilakukan di sekolah formal. Komunitas sebagai lembaga pendidikan terdekat di masyarakat yang harus membangun sistemnya. Asep menjelaskan dalam hal ini pentingnya pendampingan yang berkelanjutan dan berkesinambungan.
”Program pemerintah sudah ada, tapi antara informasinya tidak sampai di masyarakat atau kegiatanya dianggap selesai setelah tenggat tercapai dan tidak ada pendampingan lebih lanjut sehingga akhirnya memudar,” tutur Asep.