Mirip seperti saat pertama diciptakan untuk mengatasi kelaparan setelah Perang Dunia II di Jepang, sekarang mi instan Nusantara menjadi bahan makanan cadangan saat pembatasan sosial di dalam dan luar negeri.
Oleh
M. Puteri Rosalina (Litbang Kompas)
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas menata mi instan di gerai ritel KKV Indonesia di Central Park Mal, Jakarta Barat, Kamis (14/1/2021).
Pandemi Covid-19 agaknya tidak menyurutkan kerinduan orang untuk tetap sesekali mengonsumsi produk instan seperti mi. Serbuan makanan alami yang tengah tren saat ini nyatanya tidak menyurutkan penjualan mi instan, bahkan justru semakin meningkat di dalam dan luar negeri.
Mi instan, sejak produknya diluncurkan 1970 silam di Indonesia, menjadi makanan favorit masyarakat Indonesia di perkotaan hingga perdesaan. Cara membuatnya cukup mudah, cepat serta tidak membutuhkan keahlian khusus dalam memasak, hingga setiap orang bisa melakukannya.
Semua tingkatan usia pernah mengonsumsi mi instan dengan frekuensi mengonsumsi yang berbeda-beda. Catatan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, mi instan lebih banyak dikonsumsi usia muda ketimbang lansia.
Mi instan produksi Indonesia ini sudah melanglang buana dipasarkan ke 90-an negara dunia.
Penduduk usia muda cenderung makan mi 1-6 kali per minggu atau bisa dikatakan setiap hari mengonsumsi satu bungkus mi. Angka persentasenya berkisar pada angka 62-68 persen pada rentang usai 6-9 tahun hingga 30-34 tahun. Kisaran umur 35 tahun ke atas, angkanya cenderung menurun.
Sebaliknya, semakin tua usia, makin jarang mengonsumsi mi instan. Persentase konsumsi mi kurang dari tiga kali per bulan, semakin tinggi di usa 45 tahun ke atas dengan angka 40 persen hingga mencapai 61,1 persen di usia 65 tahun ke atas. Agaknya hal ini terkait dengan urusan kesehatan. Penduduk usia tua mulai menghindari makanan instan.
Perkembangan mi instan di Indonesia cukup pesat. Dari hanya satu merek yang mendominasi, sekarang mulai bermunculan berbagai merek yang menawarkan keunggulan masing-masing. Diawali dari merek Supermi, hingga Sarimi, Indomie, Mie Sedaap, Mi ABC, Pop Mie, Lemonilo, Migelas. Belum lagi mi instan impor dari Korea ataupun Jepang yang juga mempunyai penggemar tersendiri di Indonesia.
Mi instan sebagai makanan praktis menawarkan berbagai varian rasa, bumbu, hingga cara memasak. Bukan hanya mi kuah, melainkan juga mi goreng. Bahkan ada yang menyajikannya tidak perlu kompor dan panci, tapi hanya dibutuhkan air panas, yakni mi instan dalam bentuk kemasan cup.
Berbagai keunggulan yang dimiliki mi instan tersebut menjadikannya salah satu makanan andalan saat pembatasan sosial. Masa awal pandemi, saat pemerintah mengumumkan pemberlakuan PSBB, mi instan salah satu produk yang diincar masyarakat saat panic buying.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Mi instan kemasan cup dari berbagai jenis dari sejumlah negara terpampang di gerai ritel KKV Indonesia di Central Park Mal, Jakarta Barat, Kamis (14/1/2021).
Tak hanya di awal pandemi, penjualan mi instan di Indonesia terus meningkat hingga akhir 2020. Di antaranya adalah penjualan mi instan Indomie. Mengutip dari laman Kontan, Indofood mencatat laba bersih Rp 1,4 triliun pada kuartal II-2020. Angka tersebut meningkat 20,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Mi instan merek lain seperti Mi Sedaap juga membukukan prestasi yang sama meski belum diketahui angka kenaikannya. Merujuk pada pemberitaan Kontan, kenaikan permintaan mi Sedaap sudah dirasakan sejak pertengahan Maret 2020 dan terjadi merata di seluruh wilayah Indonesia.
Tidak hanya di pasar dalam negeri, penjualan mi cepat saji ini juga terus meningkat di luar negeri. Catatan BPS selama 2016-2019, volume ekspor meningkat 48 persen. Disusul juga oleh peningkatan nilai ekspornya pada periode yang sama sebesar 56 persen.
Ekspor ini juga tidak berhenti di masa pandemi dan cenderung meningkat. Catatan terakhir November 2020, volume ekspor mencapai 155,41 juta ton, melebihi dari total volume pada tahun 2019 yang hanya 131,84 juta ton. Peningkatan juga terjadi pada nilai ekspor yang mencapai 255,7 juta dollar AS.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pengunjung berbelanja mi instan di gerai ritel KKV Indonesia di Central Park Mal, Jakarta Barat, Kamis (14/1/2021).
Mi instan produksi Indonesia ini sudah melanglang buana dipasarkan ke 90-an negara dunia. Pengekspor mi instan terbesar adalah negara tetangga, Malaysia. Volume ekspornya hingga 2019 mencapai 43.862 ton.
Konsumsi menurun
Meski nilai penjualan mi instan naik selama pandemi, menurut BPS konsumsi mi instan cenderung menurun selama 2015-2020. Tahun 2015, rata-rata konsumsi per kapita 4162 bungkus per bulan. Tahun lalu, menurun menjadi 3.626 bungkus. Penurunan agaknya karena, masyarakat mengalihkan ke konsumsi jenis makanan lain, seperti beras yang meningkat pada 2019-2020 atau komoditas lainnya.
Penurunan konsumsi mi instan di dalam negeri tidak diikuti dengan konsumsi global. Tercatat dalam Global Demand for Instant Noodles, permintaan mi instan terus naik. Tahun 2015, konsumsi masih 97,49 juta bungkus dan menjadi 106,42 juta bungkus pada 2019.
Kenaikan permintaan pasar global tersebut bisa dimanfaatkan oleh industri mi instan dalam negeri untuk terus melakukan ekspansi pasar luar negeri. Penurunan konsumsi yang terjadi di Indonesia pun bukan berarti mi instan tidak lagi menjadi favorit. Buktinya, Indonesia masih menduduki peringkat kedua konsumen mi instan di dunia setelah China.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Didi (64), pemilik warung mi instan di Jalan Petamburan, Jakarta Pusat, memilih tetap berjuang pada hari libur Natal, Jumat (25/12/2020). Didi memilih tetap beraktivitas demi menjaga kebugaran.
Catatan Riskesdas 2018, mayoritas (58,5 persen) masyarakat Indonesia rutin mengonsumsi mi instan 1 hingga 6 kali seminggu. Atau dengan kata lain, rata-rata makan mi instan satu bungkus per hari.
Saat pemberlakuan pembatasan sosial, bisa saja jumlah yang dikonsumsi meningkat, menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat ingin menikmati makanan cepat dan praktis. Mirip seperti saat pertama diciptakan untuk mengatasi kelaparan setelah Perang Dunia II di Jepang, sekarang mi instan produk Indonesia juga menjadi bahan makanan cadangan saat pembatasan sosial di dalam dan luar negeri.