Dokter Palsu Jalankan Klinik Kecantikan, Dua Korban Keluhkan Efek Samping
SW menyuntikkan botoks atau ”filler” dengan dosis yang dikira-kira saja. Sebelum menjalankan tindakan, tersangka tidak menanyakan apakah pasien punya riwayat penyakit yang berpotensi memicu komplikasi atau efek samping.
Oleh
JOHANES GALUH BIMANTARA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Personel Kepolisian Daerah Metro Jaya menangkap seorang perempuan berinisial SW alias dokter Y karena menjalankan klinik kecantikan abal-abal. SW pun sebenarnya bukan dokter, padahal ia menjalankan tindakan medis invasif dan berisiko tinggi. Akibatnya, dua pasiennya melapor telah mengalami efek samping yang memengaruhi kesehatan mereka.
”Kami berharap jika masih ada pasien yang komplain akibat tindakan tersangka, silakan melapor ke Polda Metro Jaya. Kami akan menindaklanjuti,” ucap Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, dalam konferensi pers yang juga disiarkan daring pada Selasa (23/2/2021). Menurut dia, sejumlah figur publik pun pernah memakai jasa SW.
Tindakan-tindakan berisiko yang dilakukan SW antara lain suntik botulinum toxin atau botoks dan suntik filler. Pasien yang sudah melaporkan keluhan adalah RN dan DM. RN membayar untuk tindakan filler di payudara, kemudian mengalami infeksi sehingga mesti dioperasi guna mengeluarkan filler tersebut. Adapun DM menerima suntikan filler di pipi, lantas muncul benjolan di pipi pasca-tindakan.
Jika masih ada pasien yang komplain akibat tindakan tersangka, silakan melapor ke Polda Metro Jaya. Kami akan menindaklanjuti. (Yusri Yunus)
Yusri mengatakan, SW bukan dokter dan tidak pernah mengenyam pendidikan kedokteran, tetapi nekat membuka klinik kecantikan bernama Zevmine Pure Beauty Skin Care and Medical Spa sejak 2017.
Klinik berlokasi di salah satu ruko di Jalan Simatupang, Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur, tetapi penghasilan terbesar SW berasal dari layanan langsung di rumah pasien. Kepada mereka, ia mengaku sebagai dokter.
SW tidak hanya melayani pasien di Jakarta. Ia bahkan bisa datang ke Bandung, Jawa Barat, hingga ke Aceh. Guna menggaet konsumen, ia mempromosikan Zevmine Pure Beauty lewat Instagram lalu mengarahkan mereka yang tertarik untuk menghubunginya via Whatsapp di nomor yang tertera. ”Sebelum pandemi, jumlah pasien mencapai 100 orang per bulan, tetapi selama pandemi berkurang menjadi sekitar 30 orang per bulan,” ujar Yusri.
Polisi masih menghitung omzet yang dihasilkan SW selama empat tahun beraksi mengingat harga per tindakan bervariasi, mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 9,5 juta. Yusri mencontohkan, injeksi botoks dibanderol Rp 2,5 juta-Rp 3,5 juta per tindakan. Tanam benang (thread lift) bisa mencapai Rp 6,5 juta per tindakan.
Pengungkapan berawal dari tindak lanjut Subdirektorat III/Sumber Daya Lingkungan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya terhadap laporan masyarakat terkait adanya praktik kedokteran kecantikan yang ilegal di Jakarta Timur.
Polisi lantas berpura-pura menjadi konsumen, menghubungi tersangka melalui pesan pribadi Instagram, berkonsultasi, lalu membuat janji untuk tindakan di klinik tersangka pada Minggu (14/2/2021) pukul 19.00.
Polisi wanita Inspektur Satu YN dan Brigadir Satu AM mengambil risiko dengan menyamar sebagai pasien. Setelah penyuntikan botox ke Iptu YN selesai, petugas lain menggerebek klinik itu. Polisi meminta SW memperlihatkan bukti sah dia merupakan dokter dan kliniknya resmi, tetapi SW tidak mampu menunjukkannya.
Yusri menyebutkan, SW menjalankan bisnisnya cuma berdasarkan hasil belajar otodidak serta pengalaman sebagai mantan perawat untuk dokter estetik salah satu rumah sakit. Ia pun tahu jenis obat dan suntikan yang mesti disiapkan karena pengalaman itu.
Meski demikian, SW tetap tidak menjalankan prosedur yang aman. Ia, misalnya, menyuntikkan botoks atau filler dengan dosis yang dikira-kira saja. Sebelum bertindak, tersangka tidak menanyakan apakah pasien punya riwayat penyakit yang berpotensi memicu komplikasi atau efek samping. Selain itu, ia tidak membuat surat persetujuan untuk ditandatangani pasien yang wajib disodorkan sebelum tindakan medis berisiko tinggi itu.
SW dijerat dengan Pasal 77 juncto Pasal 73 Ayat 1 dan atau Pasal 78 juncto Pasal 73 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Ia terancam dipenjara hingga lima tahun dan didenda sampai Rp 150 juta.
Sulung Mulia Putra, Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Rujukan dan Krisis Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, mengatakan, pihaknya sudah mengecek ke Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI. Hasilnya, SW terbukti tidak memiliki izin praktik dokter dan kliniknya juga tidak punya izin beroperasi.
Tindakan-tindakan SW merupakan tindakan medis invasif yang tidak boleh dilakukan bahkan oleh dokter yang tidak terlatih. ”Dalam standar kompetensi kedokteran Indonesia, yang dilakukan tersangka merupakan kompetensi dokter spesialis,” ucap Sulung.