Bantuan sosial yang diterima warga di masa pandemi kerap habis dalam sekejap. Sulit bagi sebagian penerima untuk menyisihkan bansos itu untuk kegiatan produktif.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bantuan sosial tunai yang diterima warga sering kali habis dalam sekejap. Jangankan untuk modal usaha, uang yang mereka terima habis untuk memenuhi kebutuhan harian yang sempat tertunda.
Pandemi Covid-19 membuat Indra Gunawan (46), penjual kipas angin bekas di Jalan KS Tubun, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, kelabakan. Sebelumnya, dia bisa menjual 2-3 kipas angin dalam sehari dengan keuntungan Rp 20.000-Rp 30.000 per unit.
Memasuki masa pandemi, penjualan kipas anginnya menurun drastis. Sering kali, dalam kurun waktu tiga hari, dia hanya mampu menjual satu unit kipas angin. Hal ini membuatnya kesulitan untuk menjaga kelangsungan usahanya.
”Sekarang ini sehari laku satu (kipas angin), habis itu dua hari bengong. Uang habis, barang juga habis,” katanya saat ditemui,pada Rabu (17/2/2021) siang.
Padahal, sebagai kepala keluarga, Indra bertanggung jawab menanggung kebutuhan hidup istri dan tiga anaknya di rumah. Salah satu anaknya yang berusia balita membutuhkan biaya ekstra untuk makanan tambahan dan susu formula. Beban lain yang harus ditanggung adalah sewa kontrakan di Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, sebesar Rp 800.000 per bulan.
Untungnya pada Desember 2020, Indra mendapatkan Bantuan Presiden (Banpres) Produktif UMKM senilai Rp 2,4 juta. Namun, bantuan tunai tersebut tidak bertahan lama. Selain untuk modal usaha, uang tersebut ludes untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang sebelumnya tertunda.
”Banpres habis buat keperluan sehari-hari dan susu anak. Sisanya buat beli kipas angin bekas dari tukang gerobak. Kipas yang rusak itu saya perbaiki biar bisa dijual lagi,” ujarnya.
Bantuan tunai yang diterima Indra tidak berhenti sampai di situ. Pada Januari 2021, dia juga menerima bantuan sosial tunai (BST) senilai Rp 300.000 sebagai pengganti bantuan sosial sembako. Lagi-lagi, bantuan bulanan tersebut langsung ludes dalam hitungan hari.
”Yang Rp 150.000 saya pakai buat nyicil bayar kontrakan, Rp 150.000 lainnya buat makan,” ungkapnya.
Banpres habis buat keperluan sehari-hari dan susu anak. Sisanya buat beli kipas angin bekas dari tukang gerobak. Kipas yang rusak itu saya perbaiki biar bisa dijual lagi.
Dampak pandemi Covid-19 juga dirasakan oleh Diah (43), warga Kebon Manggis, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebagai perias pengantin, dia banyak kehilangan pendapatan lantaran acara pernikahan tidak banyak digelar. Belum lagi pendapatan sang suami yang bekerja sebagai pengemudi ojek daring juga menurun.
Hal ini membuatnya banting setir menjadi penjual minuman jeruk peras di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, sejak Oktober 2020. Minuman yang dijualnya sempat diminati pembeli ketika pertama kali usahanya dibuka. Namun, musim hujan membuyarkan segalanya.
”Awal-awal banyak yang beli. Karena minuman ini, kan, mengandung vitamin C yang bagus buat daya tahan. Tetapi akhir-akhir ini menurun,” katanya.
Diah menuturkan, pada masa awal ia berjualan minuman jeruk peras bisa menghabiskan 15-17 kilogram jeruk hanya dalam waktu dua hari. Kini, 15 kilogram jeruk baru habis dalam jangka waktu 4-5 hari. Keuntungan yang tadinya Rp 200.000 per hari turun menjadi hanya Rp 50.000 per hari.
Ibu empat anak ini sempat terbantu dengan adanya bantuan sosial sembako. Setiap bulan, Diah mendapatkan paket kebutuhan pokok berisi 10 kilogram beras, 3 kaleng sarden, 2 liter minyak goreng, dan 1 bungkus kecap. Kebutuhan pokok tersebut bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarganya selama sebulan.
Namun, sejak Januari 2021, tidak ada lagi paket sembako yang Diah terima. Sebagai gantinya, dia menerima BST senilai Rp 300.000 per bulan. Alih-alih memenuhi kebutuhan pangannya selama sebulan, BST ini justru habis dalam sekejap.
”Jujur saya lebih mending dapat sembako. Kalau sembako, kan, mau enggak mau disuruh ngirit. Kalau bentuknya uang, langsung habis karena anak penginnya langsung makan ayam,” ujarnya.
Sementara Pendi (37), penjual peci di Jalan KS Tubun, Tanah Abang, selama ini masih bertahan tanpa pernah menerima bantuan tunai. Meski sudah mengajukan Banpres Produktif, sampai saat ini Pendi belum mendapatkan kabar apa pun.
”Sebelum pandemi saya jualan di emperan Pasar Tanah Abang. Karena sepi, saya pindah ke sini,” ungkapnya.
Padahal, Banpres Produktif tersebut sangat diidam-idamkan oleh Pendi. Sebab, sebagian besar penghasilannya kini habis untuk biaya hidupnya di Jakarta dan keluarganya di kampung halamannya, Garut, Jawa Barat.
Setiap pekan, Pendi setidaknya harus mengirimkan uang Rp 200.000 kepada istri di kampung. Jumlah tersebut bahkan sudah dipangkas. Sebelumnya dia biasa mengirimkan Rp 500.000 per pekan.
”Kalau ada bantuan bisa buat modal usaha. Stok peci saya juga sudah banyak yang habis. Setiap jenis paling cuma ada dua stok,” ungkapnya.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta Buyung Airlangga mengungkapkan, pandemi telah memberikan dampak berupa kenaikan penduduk miskin di Jakarta. Jumlah penduduk miskin di Jakarta kini 4,69 persen dari total penduduk atau 496.840 jiwa. Jumlah ini naik dibandingkan dengan Maret 2020 yang sebanyak 481.000 penduduk miskin (Kompas, 16 Februari 2021).
Menurut Dika Moehammad, Koordinator Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia yang merupakan bagian dari Koalisi Pemantau Bantuan Sosial Indonesia (KPBI), pemerintah telah memberikan bantuan sosial dan stimulus fiskal. Salah satunya BST yang diturunkan sejak Januari 2021. Dengan anggota keluarga empat orang, BST ini habis dalam waktu 2-7 hari.
Guru Besar Ekonomi Universitas Tarumanegara Jakarta Carunia Mulya Firdausy menilai, bansos dan stimulus bukan solusi permanen. Sambil terus mengucurkan bansos, harus ada pengalokasian anggaran penanganan pandemi yang bersifat pencegahan.