Pengurus RT dan RW Berjibaku Mengendalikan Kasus Covid-19
Peran pengurus RT dan RW makin penting saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat skala mikro berjalan di Jakarta. Sistem pelaporan dan pendataan terkait Covid-19 kian terpusat di tingkat warga.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM berskala mikro mendorong pengurus RT dan RW di Jakarta berjibaku mendata dan mengawasi jumlah kasus Covid-19 di lingkungannya. Upaya RT dan RW ini menjadi salah satu strategi menekan laju kasus Covid-19 aktif di lingkungan tempat tinggal.
Sejak Senin (15/2/2021), di sejumlah tempat di Jakarta ditemukan warga aktif melaporkan kasus Covid-19 di tempat tinggalnya ke pos RW. Hal tersebut berjalan seiring munculnya Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 107 Tahun 2021 tentang PPKM Berbasis Mikro. Kegiatan mengendalikan penularan pandemi Covid-19 hingga ke tingkat RT/RW menjadi fokus pemerintah provinsi.
Di Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur, pengurus RW bersiaga di posko untuk pendataan kasus Covid-19 secara berkala.
Ketua RW 005 Cipinang Melayu Suhartini, misalnya, masih intens memantau kasus positif aktif yang mulai menurun di lingkungannya meski penurunan kasus itu belum cukup signifikan. Hingga 6 Februari lalu, di lingkungan RW tersebut ditemukan 18 kasus positif aktif. Setelah ada yang dirujuk ke rumah sakit dan menjalani isolasi mandiri, jumlah positif Covid-19 aktif di RW itu berangsur menurun, seperti per hari Senin ini menjadi 7 kasus.
”Lingkungan kami sempat masuk zona merah. Untuk menekan penambahan kasus Covid-19 di lingkungan, kami berkoordinasi (dan kerja sama) dengan warga dan RT setempat, juga bersama kepolisian sebagai bagian dari Kampung Tangguh Jaya,” jelas Suhartini di Pos RW 005 Cipinang Melayu, Senin siang.
Ibu dua anak itu bercerita, koordinasi antarwarga belakangan lebih intens untuk pelaporan terkait Covid-19. Pengurus RW juga berinisiatif menutup akses jalan masuk ke lingkungan mereka dengan portal mulai Senin ini untuk mengendalikan penularan Covid-19 di kalangan warga.
Lurah Cipinang Melayu Agus Sulaeman menuturkan, sebagian wilayah, seperti RW 005, RW 010, dan RW 013, masih berusaha beranjak dari status zona merah Covid-19. Aparat kelurahan bersama kepolisian setempat mendorong warga lebih berperan aktif dalam penanganan pandemi, sesuai dengan instruksi gubernur.
”Sebagian RW ada yang menjadi binaan program Kampung Tangguh Jaya dari Polda Metro Jaya, sebagian lainnya juga adalah program Kampung Tangguh dan Kampung Siaga dari Pemprov DKI Jakarta. Semua semangatnya sama, yaitu untuk memutus rantai penularan pandemi,” katanya.
Menurut Agus, koordinasi dengan RW turut memudahkan pembaruan data warga untuk Covid-19. Dengan cara itu, ia berharap dapat mempercepat penanganan dari instansi terkait.
Upaya menekan laju kasus di tingkat warga juga berjalan di Kelurahan Menteng, Menteng, Jakarta Pusat. Ketua RW 009 Menteng Achmad Amir menyebutkan, sekitar 10 warga di lingkungannya masih berstatus positif Covid-19. Dia meminta warga setempat untuk mengurangi aktivitas keluar rumah.
Achmad menjalankan instruksi pendataan serta imbauan pembatasan bagi warga. Namun, pada praktiknya, tidak semua warga bisa mengurangi mobilitas karena berkaitan dengan pekerjaan sehari-hari.
”Ada usulan menutup akses wilayah lingkungan setempat selama masih berstatus zona merah. Tetapi, kan, tidak semua orang bisa seperti itu. Ada yang masih harus tiap hari bekerja. Apa jadinya kalau mereka tidak boleh keluar rumah?” ucap Achmad.
Pembatasan di lingkungan warga tanpa ketegasan untuk mengurangi mobilitas di tempat publik akan tetap berisiko penularan.
Sementara kasus positif Covid-19 aktif di Jakarta masih cukup tinggi. Hingga 15 Februari, sebanyak 265 dari total 267 kelurahan di DKI Jakarta tercatat memiliki kasus positif Covid-19. Pemprov DKI Jakarta merinci sebanyak 82 lingkungan RW berstatus zona merah per 4 Februari.
Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Tri Yunis Miko, memandang, pembatasan mikro masih menyisakan celah mobilitas warga. Selama mobilitas itu belum berkurang, masih akan ada potensi penularan Covid-19.
Tri menyarankan potensi kerumunan di angkutan publik, kantor, dan fasilitas umum harus tetap diantisipasi. Pelonggaran mobilitas di tempat berpotensi kerumunan akan menyebabkan risiko penambahan kasus lagi.
”Pembatasan di lingkungan warga tanpa ketegasan untuk mengurangi mobilitas di tempat publik akan tetap berisiko penularan. Pembatasan mobilitas jangan lagi setengah-setengah,” ujarnya.