Imlek dan Perjuangan Pusat Belanja Menahan Badai Pandemi
Sedikitnya 82 pusat belanja di Jakarta bertahan dihantam pandemi. Menyambut Imlek, adaptasi dilakukan guna menggaet dan melayani konsumen, termasuk dengan pesan antar atau makan di tempat dengan protokol kesehatan ketat.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Jumat (12/2/2021), bertepatan dengan tahun baru Imlek. Memasuki tahun kerbau logam ini, Jakarta masih berhadapan dengan situasi pandemi Covid-19. Sama seperti perayaan hari raya Idul Fitri, Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru 2021, perayaan Imlek juga harus beradaptasi agar sesuai dengan situasi yang mengharuskan kita semua menjaga kesehatan dan keselamatan bersama.
Di Ibu Kota, makan-makan bersama keluarga dan kerabat di restoran, terutama di berbagai mal, telah menjadi tradisi. Terlebih bagi sebagian masyarakat yang merayakan Imlek, biasanya restoran di pusat belanja turut menjadi tempat mereka melakukan selebrasi sekaligus berkumpul bersama handai tolan. Masa Imlek sebelumnya juga berarti derasnya keran rezeki bagi hampir semua tennant di pusat belanja. Namun, tahun ini, segala kebiasaan tersebut surut terhadang pandemi.
Oleh sebab itu, pada Rabu (10/2/2021) ini, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) untuk wilayah DKI Jakarta Ellen Hidayat berbagi informasi terkait Imlek tahun ini dan cara pusat perbelanjaan beradaptasi. Ada 82 pusat perbelanjaan yang bernaung di organisasi ini. Berikut kutipan wawancara khususnya dengan Kompas:
Bagaimana APPBI Jakarta beradaptasi di tengah situasi pandemi dalam perayaan hari raya Imlek kali ini?
Inti dari perayaan Imlek serupa dengan perayaan lain, yaitu berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tersayang. Selain makan-makan di restoran atau di pusat perbelanjaan, juga ada tradisi open house (gelar griya) di tempat tinggal masing-masing.
Selama pandemi Covid-19 pastinya APPBI Jakarta mematuhi aturan dari pemerintah, yaitu jumlah pengunjung pusat perbelanjaan atau restoran, kafe, dan sebagainya tidak boleh melebihi 50 persen dari kapasitas maksimal. Melihat hal ini, APPBI Jakarta memperkirakan mal-mal dan pusat perbelanjaan tidak akan dipadati pengunjung.
Masyarakat juga masih menjaga keselamatan diri dan keluarga sehingga memilih untuk tidak ramai-ramai makan di restoran. Dugaannya akan banyak permintaan pesanan antar makanan ke rumah.
Tentunya tidak menutup kemungkinan masih ada keluarga yang ingin merayakan di mal, bukan?
Betul, tetapi hampir bisa dipastikan ini untuk keluarga inti saja. Tidak dengan saudara sepupu atau kerabat jauh, seperti Imlek tahun-tahun sebelumnya.
Seperti biasa, memasuki mal pengunjung diwajibkan memakai masker. Petugas keamanan akan memeriksa suhu tubuh mereka dengan termometer, pihak mal juga menyediakan cairan pembersih kuman untuk membersihkan tangan.
Memasuki restoran atau kafe, pengunjung pasti diperiksa kembali suhunya dan diminta memakai cairan antiseptik lagi. Hampir semua tempat makan sekarang menyediakan peralatan makan sekali pakai atau yang sudah disterilkan. Buku menu juga nyaris tidak ada karena diganti dengan menu daring.
Seperti apakah keadaan pusat-pusat belanja di Jakarta saat ini?
Semuanya dalam kondisi berjuang, mulai dari mal yang terkesan mahal sampai dengan ITC (International Trade Center) yang dipenuhi UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Tennant (pemilik kios) terpuruk akibat pandemi Covid-19 meski mal dan ITC sampai saat ini tidak pernah tercatat sebagai kluster penyebaran virus korona baru. Daya beli masyarakat yang menurun drastis.
Secara rata-rata, semua pusat perbelanjaan di Jakarta, jumlah pengunjung terbanyak sejak pandemi dimulai pada Maret 2020 adalah 40 persen dari kapasitas maksimal. Beberapa mal atau ITC bahkan lebih rendah lagi. Pada situasi normal jam-jam pusat perbelanjaan ramai itu jam makan siang dan jam pulang kantor karena mayoritas pengunjung mal adalah karyawan dari perkantoran di sekitarnya. Sekarang hampir semua kantor memberlakukan bekerja dari rumah dan hanya orang-orang yang piket harus ke kantor.
Ada 82 pusat perbelanjaan yang menjadi anggota APPBI Jakarta dan semuanya mengemukakan keluhan serupa, yaitu dari Maret 2020 hingga sekarang tidak ada kejelasan mengenai cara penanganan pandemi Covid-19 sehingga para pemilik toko dan kios tidak bisa menyusun strategi yang pasti. (Ellen Hidayat)
Apakah situasi ini mengakibatkan banyak pemilik toko dan kios tutup?
Ya. Data akhir tahun 2020 mengenai pusat perbelanjaan ialah mayoritas beroperasi di kisaran 70-90 persen. Mal dan ITC sudah berupaya memberikan banyak diskon kepada para pembeli, tetapi ini tidak cukup untuk meningkatkan penjualan. Setiap pusat perbelanjaan kehilangan 10-15 persen tennant mereka karena tidak kuat lagi menanggung biaya operasional.
Bagaimana dengan karyawan yang bekerja di mal?
Para pemilik toko dan kios memang banyak yang terpaksa merumahkan, bahkan melepas karyawan mereka karena biaya untuk menggaji mereka tidak tertanggung lagi. Karyawan yang dipertahankan dan mampu bertahan adalah mereka yang bisa multitasking.
Pada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) ketiga ini pemerintah mengizinkan pusat perbelanjaan menambah jam operasional dari pukul 20.00 menjadi pukul 21.00. Apakah kebijakan ini membantu?
Fakta lapangannya sangat beragam. Ada mal yang memutuskan jam operasionalnya pukul 11.00 hingga 20.00, ada juga yang buka pukul 11.00-21.00. Tidak semuanya memanfaatkan perpanjangan izin operasional ini karena berbagai alasan.
Namun, di satu sisi, ini kesempatan baik bagi resoran dan kafe untuk mendapat pengunjung pada jam makan malam. Saat ini, APPBI Jakarta belum bisa memperkirakan jika efek dari penambahan jam ini bisa memberikan perubahan secara signifikan. Kita lihat saja dulu.
Apakah APPBI Jakarta mempunyai tanggapan atau saran kepada pemerintah pusat ataupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?
Ada 82 pusat perbelanjaan yang menjadi anggota APPBI Jakarta dan semuanya mengemukakan keluhan serupa, yaitu dari Maret 2020 hingga sekarang tidak ada kejelasan mengenai cara penanganan pandemi Covid-19 sehingga para pemilik toko dan kios tidak bisa menyusun strategi yang pasti. Kami berargumen bahwa sejauh ini tidak ada data yang menunjukkan bahwa mal merupakan penyebab kluster penularan Covid-19.
Banyak pengusaha terpaksa menutup tokonya atau melakukan konsolidasi akibat dirundung kecemasan dan biaya operasional. Pengusaha yang sudah lama berkiprah pun tidak tahu kapan harus membuka kembali tokonya karena serba salah, jika dibuka berarti biaya operasional mengalir lagi. Bagi pengusaha baru juga tidak mudah karena waswas harus memulai dari mana.
Aturan selama ini diperuntukkan secara khusus kepada mal dan ITC, akibatnya kami melihat ada peralihan pemilik toko/kios membuka usaha di ruko karena dianggap lebih longgar. Padahal, mal adalah industri padat karya yang membuka lebih banyak lapangan kerja.