Kredibilitas Sumber Berita Menentukan Tingkat Kepercayaan Audiens Muda
Kawula muda menyaring banjir informasi di ranah maya berdasarkan kredibilitas media, penilaian atau rating, dan isi berita.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paparan berita bohong di media sosial menggerakkan sebagian anak muda melakukan penyaringan. Kredibilitas sumber berita menjadi pertimbangan utama untuk memercayai kebenaran informasi yang mereka terima.
Jevan George (19), mahasiswa semester IV di Kupang, Nusa Tenggara Timur, sering memperoleh informasi dari lini masa Instagram. Intensitasnya dua hingga tiga berita dalam sekali memainkan aplikasi itu. ”Ada berita yang menarik berarti baca. Saya pilih-pilih beritanya, kadang sebarkan juga,” ujar Jevan, Rabu (10/2/2021).
Jevan memilah berita berdasarkan kredibilitas media, tepercaya atau tidak menurut versinya. Hal itu ditandai dengan rekam jejak, penilaian atau rating media, konten yang disajikan di media tersebut, serta layak atau tidak untuk disebarluaskan.
Ia berkaca dari pengalaman sempat terkecoh ketidaksesuaian judul dan isi berita. Dari situ sebisa mungkin terlebih dulu mencari beberapa berita sebagai pembanding. ”Kalau menurut saya, tidak layak berarti tidak disebarluaskan,” katanya.
Begitu pun Michael Hananta (22), lulusan perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat. Dia saban hari memperoleh berita dari lini masa media sosial. Dari semua media sosial yang diikutinya, dia paling banyak menerima informasi dari Twitter karena kecepatannya. Mirip dengan langkah Jevan, ia membiasakan memeriksa kredibilitas media sebelum meneruskan berita kepada orang lain. Fitur penyaring di Twitter pun aktif untuk menyaring banjir informasi tentang politik dan ekonomi hanya dari akun terverifikasi.
”Saya periksa dulu kredibilitas medianya. Biasanya saya membagikan ke teman dekat kalau dirasa penting untuk diketahui bersama. Sejauh ini belum pernah kena jebakan hoaks,” ucap Michael.
Sementara Erna Wiguna (24), karyawan swasta di Jakarta Selatan, menggunakan media karena cepat menyebarkan informasi. Kecepatan penyebaran informasi itu lantas membuatnya tak lupa memastikan kesahihan media dan isi berita.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mencatat pengguna internet naik 73,7 persen dari populasi atau setara dengan 196,7 juta pengguna. Jumlah pengguna internet itu berdasarkan hasil survei periode 2019 hingga kuartal II-2020.
Survei Nasional Kompas pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021 menemukan bahwa Generasi Z dan Y paling sering mengakses berita daring dan layanan media sosial. Mereka cenderung membaca apa saja yang tersedia di media, mencari, membuat, dan menciptakan informasi. Tak pelak, mereka juga harus mampu mengevaluasi informasi yang bertebaran supaya tidak mudah termakan hoaks atau informasi palsu.
Contohnya jeratan hukum yang menimpa GSDS (19), siswi salah satu sekolah menengah atas di Kota Kupang. Kompas.com dalam pemberitaannya menyebutkan, GSDS merekam video dirinya membakar masker, menyebut Covid-19 hoaks, memaki tenaga kesehatan dan pemerintah, Januari 2021. Penyebabnya ialah kekesalan setelah melihat unggahan salah satu teman di Whatsapp tentang seorang pasien Covid-19 yang meninggal berada dalam satu ruangan dengan pasien yang masih hidup.
Kompas dalam survei nasional terhadap 2.000 responden di 34 provinsi dengan tingkat kepercayaan mencapai 95 persen dan nirpencuplikan 2,83 persen menemukan, 46,9 persen generasi Z (berusia kurang dari 22 tahun) mengakses berita lewat situs berita daring sekali hingga dua kali dalam sepekan.
Sementara itu, yang lebih sering atau 3-6 kali dalam sepekan mencapai 23 persen. Sisanya ada 15,9 persen yang setiap hari membuka dan memperbarui informasi lewat situs berita daring.
Kondisi serupa terjadi pada generasi Y atau milenial muda (berusia 22-30 tahun) yang cenderung lebih banyak mengakses situs berita daring. Setidaknya 43,2 persen dari generasi ini membaca situs berita daring sekali hingga dua kali dalam sepekan.
Selanjutnya, ada 20,3 persen yang mengakses situs berita daring 3-6 kali dalam sepekan. Sisanya 16,3 persen membaca berita dari situs berita daring sebagai kebiasaan setiap hari.
Di sisi lain, setidaknya 42,9 persen generasi Z mengakses media sosial 2-5 kali dalam sehari. Bahkan, ada 32,1 persen yang mengakses media sosialnya setiap jam dalam sehari. Sisanya 19,6 persen mengakses media sosial sekali dalam sehari dan 5,4 persen tidak melakukannya minimal sekali dalam sehari.
Generasi Y juga demikian. Sebanyak 37 persen mengakses media sosial setidaknya 2-5 kali dalam sehari. Bahkan, ada 24,7 persen mengakses media sosial setiap jam setiap hari. Sisanya yang mengakses sekali dalam sehari mencapai 27,8 persen dan ada 10,6 persen tidak pernah mengakses media sosial dalam sehari.
Pilihan media sosial pada setiap generasi menunjukkan variasi yang berbeda sesuai dengan kepercayaan setiap generasi terhadap informasi yang ada. Generasi Z mengaku lebih memercayai informasi dari Instagram, Whatsapp, kemudian Facebook, Youtube, dan Twitter. Sedangkan generasi Y lebih memercayai informasi dari Facebook, Whatsapp, kemudian Instagram, Youtube, dan Twitter.