Jangan Cuma Ganti Istilah, Ajak Pemimpin Komunitas untuk Optimalisasi Pembatasan Sosial
Istilah boleh berganti, tetapi laju penularan masih tinggi. Pemerintah dan masyarakat dinilai belum seiring sejalan dalam mengatasi pandemi.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia, setidaknya ada tiga program pembatasan aktivitas warga yang diberlakukan pemerintah. Istilah boleh berganti, tetapi laju penularan masih tinggi. Pemerintah dan masyarakat dinilai belum seiring sejalan dalam mengatasi pandemi. Ini karena relasi sosial di antara keduanya berjarak.
Presiden Joko Widodo pertama kali memperkenalkan istilah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pada akhir Maret 2020, sebuah solusi moderat di tengah desakan dari berbagai pihak untuk melakukan karantina wilayah.
Berselang beberapa minggu, Provinsi DKI Jakarta mengusulkan kepada Kementerian Kesehatan untuk menerapkan PSBB. Sejumlah wilayah lain dengan tingkat penularan tinggi pun menyusul.
Pada masa Lebaran 2020, pandemi Covid-19 sudah dua bulan menjangkiti Indonesia. PSBB diperkuat dengan larangan mudik dan pembatasan transportasi umum. Akan tetapi, aturan ini belum bisa meyakinkan semua warga untuk berlebaran di rumah saja. Masih ada saja warga yang nekat pulang ke kampung halaman.
Baca juga : Inovasi Daerah Krusial dalam Tangani Pandemi
Tarik ulur ketentuan PSBB diterapkan setiap daerah sesuai situasi masing-masing. Saat Natal dan pergantian tahun, misalnya, pergerakan pengguna kendaraan umum dibatasi dengan adanya keharusan tes Covid-19 yang berlaku maksimal hanya tiga hari sebelum jadwal keberangkatan.
Memasuki awal 2021, laju penambahan kasus Covid-19 masih belum terkendali. Pemerintah pun mengenalkan istilah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa-Bali. Padahal, saat itu, istilah PSBB relatif sudah akrab di telinga warga.
PPKM pertama kali diberlakukan pada periode 11-25 Januari 2021 dan diperpanjang pada 26 Januari-8 Februari. Nyaris tidak ada perubahan kecuali waktu operasional restoran dan tempat makan yang diperpanjang dari pukul 19.00 menjadi pukul 20.00.
Selesai dengan dua kali PPKM, kali ini istilah diperbarui menjadi PPKM skala mikro, yang berlaku pada 9-22 Februari 2021. Ruang warga ditandai dengan zona, sesuai kasus Covid-19 yang ada di setiap RT. Selain zonasi ini, aktivitas restoran dan pusat perbelanjaan diperlonggar dari keharusan tutup pukul 20.00 menjadi pukul 21.00.
Bagi warga, adanya aneka istilah ini membingungkan. Payino (48), pedagang stiker kendaraan di Palmerah, Jakarta Barat, sering mendengar ikhwal PSBB di televisi. Namun, dia mengerutkan dahi ketika ada istilah PPKM.
Pedagang asal Klaten, Jawa Tengah, ini pun tak ambil pusing dengan aturan itu. Dia rutin pulang kampung setiap dua bulan sekali ke Klaten. Padahal, baik aturan PSBB maupun PPKM sama-sama menganjurkan warga tak bepergian dulu ke luar kota.
Penghidupan
Bagi Hendra (36), pedagang kopi keliling di jalan layang Joglo, Jakarta Barat, PSBB dia maknai sebagai masa menyusutnya omzet dan berkurangnya keleluasaan berjualan. Biasanya dia bisa keliling sampai tengah malam di sekitar jembatan ini. Kini, satuan polisi pamong praja sudah membubarkan dia dan pedagang lain jelang pukul 21.00.
”Sekarang apa lagi itu namanya, PSKM (maksudnya PPKM)? Sama saja itu. Orang di jalan tetap lengang dan kopi saya tak banyak yang beli,” ujarnya.
Warga Srengseng, Jakarta Barat, ini sebetulnya sudah mendapat bantuan sosial tunai (BST) sebesar Rp 300.000 per bulan sejak Januari lalu. Namun, katanya, bantuan itu tak cukup. Sebab, besarannya cuma setara dengan untung selama dua hari berjualan semasa sebelum Covid-19.
Dia pun masih mendua dalam menyikapi pandemi. Di satu sisi, dia percaya Covid-19 benar-benar ada karena pemerintah membuat berbagai macam program bantuan. Namun, cerita dari media sosial yang menyebutkan Covid-19 merupakan konspirasi juga masih membebani pikirannya.
Basis komunal
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam Prasodjo, berpendapat, ada sejumlah hal yang membuat pembatasan sosial di Indonesia belum efektif menekan laju penularan. Pertama, keluarga di Indonesia berbasis komunal. Ini berbeda dengan masyarakat Barat yang berbentuk keluarga batih (nuclear family).
Oleh sebab itu, masyarakat Indonesia cenderung lebih menyukai berkumpul bersama keluarga ketimbang menyendiri di wilayah tertentu. Ini pula yang membuat mobilitas warga sulit ditekan pada hari libur panjang ataupun momen hari keagamaan tertentu.
Selain struktur masyarakat, kepatuhan terhadap protokol kesehatan juga ditentukan oleh pola penghidupan masyarakat. Menurut Imam, sebanyak 60 persen masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal. Sejumlah anggota keluarga pekerja sektor informal pergi ke kota untuk mencari alternatif pekerjaan. Masa libur paling ditunggu lantaran inilah waktu untuk kembali berkumpul bersama keluarga.
Dia sendiri pernah terlibat dalam perdebatan serius untuk menunda kepulangan sopirnya akhir tahun lalu. Imam menekankan kepada sopirnya bahwa pada masa pandemi semua orang harus berkorban. Dia membujuk sopir agar mau menunda kepulangan. Kalau si sopir mau, Imam akan meminjamkan mobilnya. Solusi ini ditempuh untuk menyelamatkan keluarga sopir sekaligus Imam dan keluarga. Sebab, risiko penularan lebih kecil dengan menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan angkutan umum.
”Ini menjadi gambaran, untuk dia yang relasi sosialnya dekat dengan saya saja butuh kerja keras untuk mencegahnya pulang kampung. Kalau sudah begitu, bagaimana imbauan dari pemerintah yang relasi sosialnya relatif lebih berjarak dengan orang-orang seperti sopir saya ini? Otomatis pasti akan lebih susah,” ujarnya.
Baca juga : Pelacakan Kasus Covid-19 Terganjal Beda Alamat
Oleh sebab itu, Imam menyarankan agar pemerintah mendekati para pemimpin di tingkat komunitas untuk mengimplementasikan pembatasan sosial. Ini karena pemimpin di tingkat komunitas, baik formal maupun informal, akan lebih didengar anjurannya. Sebab, mereka lebih punya pengaruh dalam mengatur anggotanya.
Ini menjadi gambaran, untuk dia yang relasi sosialnya dekat dengan saya saja butuh kerja keras untuk mencegahnya pulang kampung. Kalau sudah begitu, bagaimana imbauan dari pemerintah yang relasi sosialnya relatif lebih berjarak dengan orang-orang seperti sopir saya ini? Otomatis pasti akan lebih susah.
Untuk memastikan protokol kesehatan berjalan di pasar, misalnya, dia melanjutkan, pemerintah bisa menggandeng ketua koperasi pasar atau ketua asosiasi pedagang. Beri insentif untuk pedagang yang patuh dan tegakkan sanksi bagi para pelanggar. Evaluasi setiap laporan masuk. Pasar dengan protokol baik tandai dengan zona hijau. Sementara pasar yang tidak menerapkan protokol kesehatan beri stiker zona merah.
”Pendekatan semacam ini kalau disampaikan ke pemerintah dianggap terlalu mikro dan detail. Mereka maunya yang gampang saja. Padahal, membangun ketangguhan komunitas ini sebenarnya solusi untuk lebih mengefektifkan pembatasan sosial,” katanya.
Dia menambahkan, pemerintah juga harus mempertajam pemetaan sosial. Pandemi merupakan medan pertempuran kelompok sains dan antisains dalam berbagai macam bungkus, seperti ideologi, politik, bahkan agama.
Menurut dia, ada orang yang mengetahui pandemi Covid-19 sekaligus patuh terhadap protokol kesehatan. Ada juga yang tak mengetahui penyakit ini, tetapi mematuhi protokol kesehatan lantaran takut terkena sanksi.
”Ada pula yang enggak percaya Covid-19 dengan sendirinya tak menerapkan protokol kesehatan. Tetapi, enggak ngajak-ngajak orang. Yang terakhir ini paling berbahaya, yaitu yang beranggapan Covid-19 konspirasi, lalu mengajak orang lain untuk percaya. Terhadap kelompok terakhir, harus dipikirkan juga strategi penyadaran sekaligus sanksinya,” tutur Imam.
Menurut Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono, salah satu kekurangan PSBB adalah penerapannya ditentukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kesehatan. Berbagai aturan di dalamnya tak bisa lagi diubah karena sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Sementara itu, wilayah di Indonesia punya karakteristik yang beragam. Maka dari itu, fleksibilitas daerah dalam menangani Covid-19 lebih terangkum dalam PPKM. Sebab, setiap daerah dimungkinkan untuk menerapkan strategi tersendiri dalam pengendalian Covid-19.
”Jadi, menurut saya, PPKM itu dibuatkan saja PP-nya. Pemerintah pusat cukup membuat pedoman umum. Nanti detailnya biar diatur sendiri oleh daerah,” katanya.