Koordinasi antarpihak pemerintah menjadi ganjalan penataan kawasan Puncak di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hal ini membuat masalah di area pegunungan itu tak kunjung selesai.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koordinasi antarpihak pemerintah belum efektif dalam menata kawasan Puncak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Bertahun-tahun masalah ini belum juga membaik kendati sudah ada payung hukum sejak lama.
Penataan ruang kawasan Puncak telah menjadi agenda Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur). Regulasi ini menginginkan keterpaduan penataan ruang antardaerah serta mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan. Beberapa hal itu termasuk perihal konservasi air tanah dan penanggulangan banjir.
Walakin, pelaksanaannya kerap tersendat karena tumpang tindih regulasi di tingkat kementerian dan pemerintah daerah. Ada pula persoalan wewenang penindakan saat terdapat peruntukan kawasan yang dinilai tidak sesuai. Pemerintah pun meneken aturan baru untuk penanganan tersebut, yakni Perpres Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur.
Perpres baru ini menguatkan konsep pengelolaan kawasan yang telah ada dengan menunjuk lembaga koordinasi penyelenggaraan tata ruang. Pasal 135 perpres tersebut mensyaratkan pengelolaan dilaksanakan oleh menteri, kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
”Koordinasi yang berjalan pada tahun-tahun sebelumnya sangat lemah. Padahal, persoalan Puncak dan kawasan lainnya ini lintas administrasi. Karena itu, dengan adanya perpres baru dan dipimpin pemerintah pusat, semestinya penataan ruang Jabodetabek Punjur bisa berjalan lebih baik,” ucap Kepala Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB University Ernan Rustiandi, Rabu (3/2/2021).
Ernan yang juga Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak mengatakan, lembaga koordinasi untuk penataan ruang harus bergerak secara terpadu. Sebab, pada praktik pengawasan dan pengendalian tata ruang kerap ada tumpang tindih regulasi yang terjadi. Kondisi ini, misalnya, terjadi dalam konteks regulasi antarpihak kementerian.
Koordinator kampanye Forest Watch Indonesia (FWI) Anggi Putra Prayoga menyebutkan, Perpres Perencanaan Tata Ruang Jabodetabek-Punjur pada praktiknya kerap tumpang tindih dengan sejumlah regulasi terkait peruntukan fungsi lindung dan fungsi produksi pada level presiden, kementerian, provinsi, hingga kabupaten/kota. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 195/KPTS-II/2003, misalnya, menyebabkan interpretasi berbeda-beda di kalangan publik, terutama bagi pemilik usaha.
Beda-beda interpretasi di kalangan publik akhirnya turut menyulitkan proses pengendalian tata ruang. ”Pemerintah mesti selaras dalam kebijakan, regulasi mana yang mau digunakan. Kalau ada perpres yang langsung dari Presiden, semestinya itu menjadi kebijakan tertinggi. Tetapi, kondisi di lapangan tidak selaras seperti itu,” ucapnya.
Menurut catatan FWI hingga 2017, ada 1.712 hektar berstatus fungsi hutan lindung dan hutan produksi. Sebanyak 48,26 persen dari total kawasan hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani tidak lagi berupa hutan. Sementara ada 334,54 hektar kawasan konservasi yang beralih fungsi menjadi vila, kebun teh, dan real estat. Alih fungsi itu berlangsung di tengah tumpang tindih regulasi dari pemerintah.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) pada November 2020 menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur. Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menyebutkan, tim itu dipimpin langsung olehnya serta Wakil Ketua dari Menteri PPN/Bappenas dan Menteri Dalam Negeri. Adapun anggota tim terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri PUPR, Menteri Perhubungan, Panglima Tentara Nasional Indonesia, dan Kepala Polri.
”Penanggung jawab masing-masing wilayah kemudian diserahkan kepada gubernur sebagai ketua serta bupati/wali kota sebagai wakil ketua tim pelaksana. Ada pula project management officer (PMO) yang turut mendampingi tim koordinasi dan tim pelaksana,” ujar Sofyan dalam keterangan resmi, 4 Desember 2020.
Menurut Sofyan, pemerintah sedang mengambil tindakan segera. Sebab, bencana yang terjadi di Jabodetabek tidak terlepas dari banyak alih fungsi lahan, antara lain kawasan lindung menjadi kawasan budidaya atau penerbitan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Salah satu pengendalian tata ruang yang juga jadi perhatian kini adalah kawasan Puncak. Pengendalian akan dilakukan secara komprehensif dari hulu hingga hilir.
Di Jabodetabek, perubahan alih fungsi lahan, termasuk di daerah aliran sungai, terjadi berulang. Pemerintah kini menggunakan pendekatan justice restorative untuk mengembalikan sungai atau pemanfaatan ruang agar sesuai dengan fungsinya. ”Di republik ini yang terjadi ketelanjuran itu banyak, ini yang akan kami kembalikan. Izin tata ruang sekarang akan sangat tegas,” ujar Sofyan dalam wawancara terpisah, Rabu (27/1/2020).
Ernan mengingatkan, penanganan kawasan Puncak mendatang harus mencakup berbagai aspek. Di Puncak, ada tata ruang, transportasi, permukiman, dan aspek lain-lain yang berkaitan dengan daya dukung lingkungan. Konsep penanganan itu tidak bisa lagi secara parsial. Semua pihak harus terlibat. ”Saya membayangkan aspek penataan ini harus menyeluruh. Dengan koordinasi lintas sektor, penanganan tata ruang bisa jadi akan lebih cepat,” tuturnya.
Persoalan kawasan Puncak telah terjadi menahun. Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, pernah bercerita kalau kondisi kemacetan di Puncak dapat dipahami lantaran ada sedikitnya sekitar 19.000 kendaraan yang melintas setiap akhir pekan. Dengan jumlah sebanyak itu, perlu adanya kajian ulang terkait daya dukung wilayah. Hal itu untuk melihat apakah kawasan Puncak sudah kelebihan ”beban” dan risiko apa saja yang bakal muncul dengan kondisi sekarang (Kompas, 27/10/2019).
Selama 2017 tercatat sedikitnya 7,4 juta wisatawan Nusantara (wisnus) yang berkunjung ke Kabupaten Bogor. Warga Jabodetabek-lah yang menjadi pengunjung setia kawasan Puncak. Menurut laporan ”Penyusunan Strategi Pemasaran Pariwisata Kabupaten Bogor” (Edi, 2018), sebanyak 92 persen dari total wisatawan pada 2017 berasal dari Jabodetabek (Kompas, 3/1/2021).