Industri roti sempat menurun pada masa pandemi Covid-19 karena pembatasan sosial. Namun, di sisi lain, industri roti skala rumah tangga berpotensi berkembang seiring meningkatnya hobi yang menjadi bisnis skala kecil.
Oleh
Krishna P Panolih
·4 menit baca
Pembatasan aktivitas masyarakat akibat pandemi Covid-19 sedikit banyak berdampak pada industri roti. Namun, perubahan pola konsumsi masyarakat yang mulai menjadikan roti sebagai makanan utama bisa menyelamatkan bisnis roti.
Industri roti menjadi salah satu sektor yang terdampak dari pembatasan kegiatan masyarakat, baik pembatasan sosial berskala besar (PSSB) maupun pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Pembatasan hingga penutupan aktivitas perdagangan dan jasa, seperti hotel, restoran, dan pusat perbelanjaan, membuat permintaan roti menurun. Survei yang dilakukan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah terhadap 202 pengusaha roti di Jakarta dan Surabaya menunjukkan, sekitar 94 persennya terdampak Covid-19.
Merujuk pemberitaan Kompas (15/6/2020), penurunan omzet industri roti mayoritas disebabkan berkurangnya pengunjung outlet. Kemudian menurunnya penjual dan merosotnya pengambilan produk (reseller). Sebagian pengusaha roti ada yang sudah mencoba strategi bisnis daring, tetapi kenaikannya hanya sekitar 14 persen.
Konsumsi naik
Namun, di balik penurunan permintaan tersebut, ada harapan cerah industri roti bisa bangkit kembali dan akan tetap berkembang. Perkembangan tersebut tak lepas dari meningkatnya ekonomi kelas menengah, pendapatan kelompok muda yang semakin tinggi, dan perubahan pola konsumsi masyarakat yang cenderung mengikuti gaya hidup perkotaan.
Laporan bertajuk ”Bakery Ingredients” (EIBN Reports 2019) menyebutkan, segmen roti Indonesia sekarang terbagi tiga kelas, yaitu kelas atas (roti dan pastry ala Eropa dan Amerika Serikat), kelasa menengah (roti pastry berkonsep Jepang dan Asia), serta kelas menengah ke bawah (roti putih dan manis).
Roti ala Eropa dan AS yang digemari kelas atas cenderung lebih tawar (plain) dengan tekstur padat. Adapun roti berkonsep Asia lebih bermain pada variasi isi roti, seperti kacang merah, ubi jalar, atau kombinasi unik, seperti bawang putih dan krim keju.
Roti ala Indonesia lebih manis, ringan, dan bertekstur empuk. Rasanya juga bervariasi dengan tambahan ceri, bluberi, dan kacang almon. Selain itu, juga mulai berkembang roti artisan yang pembuatannya mengutamakan kesegaran tinggi dan tanpa bahan pengawet.
Tren konsumsi roti pun cenderung meningkat. Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian pada 2013, konsumsi roti tawar dan manis masih 0,85 kilogram per kapita. Lima tahun berikutnya naik menjadi 3,15 kilogram per kapita. Begitu juga dengan biskuit, naik dari 0,69 kilogram per kapita (2013) menjadi 1,83 kilogram per kapita (2018).
Konsumsi hotel dan restoran/kafe memang menurun, tetapi bisa jadi konsumsi rumah tangga meningkat. Roti yang dulunya dianggap sebagai makanan sampingan (camilan) mulai menjadi makanan pokok bagi sebagian kelas menengah atas. Apalagi, saat Lebaran atau Natal, konsumsi roti hantaran meningkat.
Ekspansi
Meskipun sejumlah industri roti menurun di masa Covid-19 ini, ada yang bertahan, bahkan berekspansi. Misalnya, PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) yang membangun dua pabrik roti pada Agustus 2020 yang sebelumnya mengoperasikan 14 pabrik di 13 wilayah di Indonesia.
Di tingkat Asia, mengutip laman mordorintelligence, usaha bakery dalam periode 2020-2025 diprediksi rata-rata tumbuh 8,33 persen per tahun. Hanya saja, di pasar Asia, ada perbedaan dalam selera konsumen, yaitu roti artisan dengan aneka rasa yang inovatif serta jenis roti berserat tinggi, bebas gluten, dan rendah lemak.
Jumlah perusahaan roti di Indonesia, menurut laman Kementerian Perindustrian, hingga 2019 mencapai 586 unit. Industri roti rumahan pun diperkirakan naik pada masa pandemi. Mengacu pada survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), September lalu, hampir 70 persen responden menjadi lebih sering memasak selama pandemi. Hal ini menumbuhkan hobi baru memasak, salah satunya membuat roti. Merujuk pada pemberitaan media massa, hobi ini berkembang menjadi bisnis rumahan.
Tantangan bagi industri roti adalah harga tepung terigu yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, pada Desember 2016 harga tepung terigu masih Rp 8.888 per kilogram. Selanjutnya pada Maret 2020 harganya naik 6,3 persen menjadi Rp 9.453 per kilogram.
Di sisi lain, industri roti masih cukup bergantung pada bahan baku impor. Ketergantungan pada impor ini terjadi sejak 1990-an dan belum bisa dipenuhi dari pasar dalam negeri. Impor terigu pun selama tiga tahun terakhir terus naik. Tahun 2017, Indonesia mengimpor terigu 4.116 ton dan pada 2019 volume impor meningkat menjadi 10.056 ton.
Industri roti sempat menurun pada masa pandemi karena pembatasan sosial. Namun, di sisi lain, industri roti skala rumah tangga berpotensi berkembang yang dipicu perubahan pola konsumsi roti hingga hobi baru yang menjadi bisnis. Hanya saja, bahan baku utama roti yang masih mengandalkan impor menjadi tantangan tersendiri.