IA-CEPA dan Relasi Gandum yang Bertepuk Sebelah Tangan
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia berada di posisi 10 besar negara importir produk biji-bijian dari Australia, tepatnya di peringkat ke-2. Dibandingkan dengan negara lain, pangsa pasar Indonesia mencapai 15 persen.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Ibarat sejoli, Indonesia dan Australia mestinya tengah menikmati masa-masa kasmaran. Sayangnya, pandemi mengganggu relasi kedua negara ini. Gangguan itu pun bermuara pada pintu yang belum terbuka.
Masa kasmaran itu dimulai dari penerapan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia-Australia atau IA-CEPA per 5 Juli 2020. Sejumlah pelaku bisnis, baik dari Indonesia maupun Australia, dapat menikmati fasilitas pembebasan tarif.
Bagi Indonesia, Australia menghapuskan tarif masuknya pada saat IA-CEPA diterapkan pada semua pos tarif. Sebaliknya, Indonesia mengeliminasi tarif masuk untuk Australia pada 99 persen pos tarif.
Tak ingin ketinggalan momentum IA-CEPA, CEO Grain Trade Australia Pat O\'Shannassy berniat memperkuat perdagangan komoditas grain atau biji-bijian, seperti gandum. Intensi itu dinyatakan webinar berjudul ”Capturing Trade Opportunities from IA-CEPA Strategic Grain Partnership” yang diadakan Grain Trade Australia, Rabu (30/09/2020).
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia berada di posisi 10 besar sebagai tujuan negara importir produk biji-bijian Australia, tepatnya di peringkat ke-2. Dibandingkan dengan negara lainnya, pangsa pasar Indonesia mencapai 15 persen.
IA-CEPA memberikan fasilitas bagi komoditas pakan biji-bijian, termasuk gandum, barli, dan butiran sorgum. Pada tahun pertama penerapan IA-CEPA, kuota biji-bijian yang dibebaskan tarifnya untuk masuk ke Indonesia sebesar 244.535 ton. Pada tahun kedua, jumlahnya mencapai 525.250 ton dan meningkat 5 persen per tahun.
Oleh sebab itu, Pat mempromosikan biji-bijian pakan kepada industri di Indonesia. Australia memproduksi biji-bijian pakan dengan teknologi inovatif yang memperhatikan lingkungan serta memiliki sistem jaminan mutu di rantai pasoknya sehingga produknya berkualitas tinggi.
Dalam lima tahun terakhir, Indonesia berada di posisi 10 besar sebagai tujuan negara importir produk biji-bijian Australia, tepatnya di peringkat ke-2. Dibandingkan dengan negara lainnya, pangsa pasar Indonesia mencapai 15 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), Desianto Budi Utomo menilai IA-CEPA belum bisa dimanfaatkan secara optimal pada saat ini karena adanya pandemi Covid-19. ”IA-CEPA merupakan program yang bagus, tetapi waktunya sekarang belum tepat,” ujarnya.
Pandemi Covid-19 menyebabkan produksi pakan sepanjang semester-I 2020 mencapai 6,77 juta ton atau lebih rendah 31 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. GPMT memproyeksikan, penurunan produksi pakan sepanjang 2020 berkisar 30 persen dibandingkan dengan posisi pada akhir 2019 yang sebesar 21,5 juta ton.
IA-CEPA merupakan program yang bagus, tetapi waktunya sekarang belum tepat.
Kementerian Perdagangan mendata, sepanjang Januari-Juli 2020, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan terhadap Australia sebesar 1,32 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Defisit ini lebih rendah dibandingkan dengan pada Januari-Juli 2019 yang mencapai 1,77 miliar dollar AS.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Ratna Sari Loppies menyatakan, Australia pernah menjadi sumber utama pengadaan gandum. ”Sayangnya, gelombang mengganggu produksinya sehingga Australia tak jadi sumber utama,” katanya saat dihubungi, Sabtu (3/10/2020).
Badan Pusat Statistik mendata, sepanjang Januari-Agustus 2020, Indonesia mengimpor 6,83 juta ton biji gandum dan meslin. Australia menempati posisi keempat setelah Argentina, Kanada, AS, dan Ukraina.
Ratna ingin melihat dan meninjau terlebih dahulu konsistensi produksi gandum dari Australia karena posisi geografisnya lebih dekat dibandingkan negara lain. Namun, pelaku usaha tengah meninjau Rusia dan Ukraina yang tengah bertumbuh dan produknya berdaya saing.
Selain itu, Australia dinilai juga ingin meningkatkan ekspor tepung gandum. ”Hal ini patut diwaspadai karena kita ingin nilai tambah gandum ada di Indonesia. Kita sudah memiliki industri penggilingan gandum di sini,” katanya.
Australia telah mengetuk pintu Indonesia untuk menawarkan produk biji-bijiannya. Sayang, Indonesia belum membuka pintu itu belum terbuka untuk saat ini. Semoga setelah pandemi berlalu, keinginan Australia tak lagi bertepuk sebelah tangan.