Kampung Tangguh Jaya adalah contoh yang sangat baik untuk mengajak warga bersama-sama menanggulangi wabah. Akan tetapi, harus ada upaya penyebarluasannya yang lebih masif agar seluruh masyarakat dapat dirangkul.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar & Johannes Galuh Bimantara
·6 menit baca
Beberapa kampung atau rukun warga di Ibu Kota ditunjuk menjadi Kampung Tangguh Jaya. Sebuah program pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 berbasis masyarakat yang dikembangkan oleh Polda Metro Jaya. Sejauh ini, setiap KTJ telah berjalan dengan baik. Akan tetapi, akan lebih maksimal jika inisiatif ini juga bisa menyebar ke kampung-kampung lain tanpa perlu dibuat program yang bersifat menurun dari atas ke bawah.
Hari Kamis (21/1/2021), Mahmudi, anggota Taruna Siaga Bencana Berbasis Masyarakat, sibuk menyapu balai Rukun Warga (RW) 003, Kelurahan Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. Di dalam ruangan itu ada lima tempat tidur dengan jarak 2 meter antara satu sama lain. Di sebelah setiap tempat tidur ada meja yang di atasnya ada gelas, sejumlah masker medis, dan cairan antiseptik.
”Ini jadi ruang isolasi darurat. Sejauh ini, sih, belum ada yang memakai soalnya pasien positif Covid-19 langsung dirujuk oleh puskesmas ke rumah sakit. Ada juga yang isolasi di rumah, tetapi kami tetap jaga-jaga,” katanya.
Di luar posko RW 003 itu terbentang spanduk bertuliskan Kampung Tangguh Jaya (KTJ). Menandakan bahwa wilayah yang terdiri dari 14 rukun tetangga (RT) dan 6.000 keluarga tersebut merupakan binaan Polda Metro Jaya (PMJ) dalam penanganan pandemi. Mahmudi mengungkapkan, peresmian RW 003 menjadi KTJ dilakukan pada pertengahan Desember 2020.
Program ini diinisiasi oleh Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal M Fadil Imran. Ketika masih menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur, ia juga memiliki program serupa bernama Kampung Tangguh Semeru. Tujuan program ini, selain mencegah penularan Covid-19. juga membuka persepsi masyarakat agar mereka tidak takut dengan vaksin dan berbagai tes rutin untuk mencari keberadaan kasus. Di Jakarta ada 203 KTJ.
Sebelumnya, RW tersebut dicanangkan sebagai RW terbaik se-Pondok Labu dalam hal koordinasi penanganan Covid-19. Menurut Mahmudi, hal itu karena warga sudah terbiasa berorganisasi. Ada enam RT di RW 003 yang selalu terkena banjir selama musim hujan karena letaknya tepat di cekungan. Hal ini membuat warga sudah memiliki rutinitas bersiap terhadap bencana dan setiap pengurus RT memiliki penugasan yang jelas.
”Kami juga punya kader jumantik di setiap RT. Mereka setiap minggu selalu berkunjung dari rumah ke rumah untuk memeriksa supaya enggak ada genangan air. Para kader jumantik ini sejak awal pandemi juga dobel memberi tahu tentang protokol kesehatan,” tutur Mahmudi.
Memang perlu waktu beberapa bulan sampai saya enggak pernah lepas masker lagi. Namun, di sini setiap hari petugas RT/RW selalu keliling dan menegur kalau masker kita lepas. (Ngatno)
Apabila ada warga yang menjalani isolasi mandiri di rumah, ketua RT memberi tahu kader jumantik agar tidak memasuki rumah itu. Sebagai gantinya, kader berkomunikasi dengan penghuni rumah melalui telepon atau pesan singkat. Di luar kader jumantik, pesan-pesan pencegahan Covid-19 juga disampaikan melalui kader pemberdayaan kesejahteraan keluarga dan posyandu.
”Mungkin warga bosan dikasih tahu terus, tetapi enggak apa-apa. Kan, yang penting mereka semua keluar rumah selalu pakai masker,” kata Mahmudi.
Dari pengamatan di lapangan, semua warga yang lalu lalang di RW 03 memakai masker, termasuk para pedagang kaki lima (PKL). Di titik-titik masuk RW selalu ada petugas piket memperingatkan warga ataupun orang luar yang hendak masuk agar merapikan masker mereka. Kegiatan jajan di warung dan PKL masih berjalan, tetapi semuanya dibungkus untuk dibawa pulang.
Petugas gugus tugas RW juga rutin mendatangi rumah-rumah warga yang menjalani isolasi mandiri. Mereka mengantarkan ransum makanan tiga kali sehari. Sekretaris RW 003 Pondok Labu Moch Yahya mengatakan, selama ini ransum memakai uang kas RW atau RT yang bersangkutan. Kini mereka tengah mengajukan permintaan penambahan biaya ransum ke Dinas Sosial DKI Jakarta.
Sementara itu, di RW 002 Kompleks Asrama Brimob Pejaten Barat, Pasar Minggu, seorang penjual bakso bernama Ngatno sibuk melayani pembeli. Masker yang tadi terbuka di bagian hidung segera ia naikkan ketika pembeli datang.
”Memang perlu waktu beberapa bulan sampai saya enggak pernah lepas masker lagi. Namun, di sini setiap hari petugas RT/RW selalu keliling dan menegur kalau masker kita lepas,” ujarnya. RW 002 Kompleks Asrama Brimob juga dipilih sebagai proyek rintisan KTJ.
Ketua RW 002 Badarun menjelaskan bahwa di tempatnya terdapat tujuh RT dan 449 keluarga. Berdasarkan data kependudukan dan catatan sipil tahun 2020, jumlah warganya 1.386 orang. Mereka semua adalah anggota kepolisian atau keluarga besar lembaga negara tersebut, misalnya janda atau duda polisi dan anak-anaknya.
”Dari segi kedisiplinan tidak jauh berbeda dengan masyarakat awam. Dulu waktu awal-awal sama-sama susah disuruh bermasker dan menjaga jarak,” ujarnya.
Jauh sebelum mereka diresmikan sebagai KTJ, RW 02 sudah berinisiatif menutup semua akses keluar dan masuk, kecuali gerbang utama yang memiliki portal. Petugas gugus tugas Covid-19 RW bergantian berjaga. Semua PKL ataupun pengemudi ojek daring yang datang untuk antar jemput pesanan diperiksa kelengkapan bermaskernya.
Setelah pengetatan ini, kedisiplinan warga fluktuatif. Ketika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih berlangsung ketat, RW ini bebas dari kasus positif. Ketika PSBB melonggar dan kantor-kantor kembali menerapkan bekerja secara langsung, satu per satu warga RW 02 terpapar Covid-19.
Ketika Kompas mendatangi RW 002 Kompleks Brimob, mereka masih menghindari isolasi mandiri di rumah. RW menyediakan tempat transit bagi pasien positif yang menunggu dijemput oleh petugas puskesmas untuk diantar ke rumah sakit atau lokasi isolasi binaan pemerintah.
Badarun mengatakan, adanya ruang isolasi ini merupakan gagasan yang muncul setelah RW tersebut dijadikan salah satu KTJ. Pasalnya, jika warga yang positif Covid-19 disuruh menunggu di rumah, akan susah memastikan isolasi benar-benar terjadi.
Meskipun telah membuahkan hasil yang baik, menurut dia, semangat dan konsep KTJ ini belum menyebar ke RW-RW lain. Di Kompleks Asrama Brimob, misalnya, hanya RW 01 dan RW 02 yang dideklarasikan sebagai KTJ. Badarun mengungkapkan, RW dan RT yang lain belum mengemukakan ketertarikan untuk mengikuti jejak KTJ.
Membiasakan tes
Di RT 015 RW 005, Kelurahan Penggilingan, Cakung, gugus tugas Covid-19 membiasakan warga dengan berbagai tes cepat dan tes usap reaksi berantai polimerase (PCR). Penggerak KTJ di RT ini, Komalawaty, mengatakan, hal ini bermula dari bantuan PMJ mengadakan tes massal di lokasi itu. Banyak warga ketakutan dan tidak mau menunjukkan batang hidung mereka di tempat tes.
”Setelah kami selidiki, ternyata warga takut jika ketahuan positif ia harus berpisah dari keluarga, sementara ia adalah tulang punggung. Apalagi kalau warga harus mengurus orangtua yang lansia atau anak kecil,” ujarnya.
Solusinya ialah komitmen gugus tugas, RT, dan RW merawat keluarga yang menjalani isolasi mandiri. Keluarga berjanji tidak keluar rumah selama dua pekan dan pengurus RT/RW setiap hari akan mengantar makanan dan berbagai keperluan lain. Melihat kegiatan di RT 017, warga dari RT lain juga tertarik. Mereka kerap bertanya jadwal tes massal berikutnya dan apakah mereka boleh ikut dites.
Antropolog kesehatan Universitas Indonesia, Vita Priantina Dewi, beberapa waktu lalu, mengatakan, inisiatif seperti KTJ ini contoh yang sangat baik. Akan tetapi, harus ada upaya penyebarluasannya di masyarakat agar jangan cuma wilayah yang masuk binaan lembaga resmi negara yang menikmati keuntungannya.
”Harus ada metode penyebarluasan yang organik. Artinya, lembaga formal bertindak sebagai mediator, tetapi yang paling penting agar wilayah-wilayah lain melihat manfaat nyata inisiatif tersebut sehingga memutuskan untuk mengikuti kiat-kiat yang telah dipraktikkan itu,” katanya.