Menolak Putusan Pengalihan Gugatan Banjir ke PTUN, Perwakilan Warga DKI Ajukan Banding
Pada Maret 2020, keputusan sela PN Jakarta Pusat menyatakan gugatan korban banjir sah berupa perwakilan kelompok. Pada Januari 2021, pengadilan yang sama mengeluarkan putusan sela kedua dan menyatakan gugatan salah kamar
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tim Advokasi Banjir 2020 mengajukan banding kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait keputusan pengadilan meminta mereka mengalihkan gugatan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Langkah ini dinilai penggugat sebagai upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lari dari tanggung jawab. Selain mengajukan banding, penggugat juga mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung soal peraturan yang mengakibatkan pengalihan kasus dari PB ke PTUN.
Kuasa hukum Tim Advokasi Banjir Jakarta 2020, Azas Tigor Nainggolan, pada Kamis (28/1/2021) mengutarakan keputusan PN Jakpus tersebut tidak masuk akal. Alasannya karena pada Maret 2020 pengadilan itu membuat keputusan sela bahwa gugatan itu sah berupa perwakilan kelompok (class action). Ada 312 korban banjir tanggal 1 Januari 2020 yang melanda Ibu Kota berkumpul dan bersama menggugat Anies Baswedan dengan tuduhan lalai menunaikan tanggung jawab memitigasi banjir ataupun lekas memberi pertolongan serta penanganan ketika banjir terjadi.
Pada awal Januari 2021, majelis hakim PN Jakpus mengeluarkan keputusan sela yang kedua. Isinya ialah gugatan perwakilan kelompok kepada Anies tersebut salah kamar. Semestinya diajukan ke PTUN, bukan PN. Landasan dari keputusan ini ialah Peraturan Mahkamah Agung (MA) No 2/2019 mengenai Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).
Pada Maret 2020, keputusan sela PN Jakarta Pusat menyatakan gugatan korban banjir sah berupa perwakilan kelompok. Pada Januari 2021, pengadilan yang sama mengeluarkan putusan sela kedua dan menyatakan gugatan salah kamar.
”Ini tidak masuk akal. Peraturan MA itu untuk menggugat kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat ataupun daerah yang dinilai merugikan masyarakat. Class action ini sama sekali tidak menyinggung kebijakan apa pun. Kami menggugat sikap Pemprov DKI Jakarta, dalam hal ini gubernur, yang tidak menjalankan kewajibannya,” papar Tigor.
Ia mengungkapkan, pada Maret 2020 ketika PN Jakpus mengatakan gugatan perwakilan kelompok itu sah, pihak tergugat, yaitu kuasa hukum Pemprov Jakarta, tidak menyatakan keberatan ataupun mengajukan banding. Tiba-tiba, bulan Januari 2021 adanya eksepsi meminta gugatan diajukan ke PTUN terjadi. Menurut Tigor, tampak tidak ada keseriusan Pemprov DKI Jakarta untuk mengambil sikap bertanggung jawab.
Penggugat meminta ganti rugi Rp 64 miliar untuk kerugian materiil dan Rp 1 triliun untuk kerugian imateriil. Pada tanggal 28 Januari, Tim Advokasi Banjir 2020 mengajukan banding ke PN Jakpus dengan argumen bahwa kasus tidak perlu dialihkan ke PTUN. Gugatan diperuntukkan atas tindakan gubernur, bukan kebijakan daerah.
”Kami juga mengajukan judicial review (uji materi) ke MA soal Peraturan MA 2/2019. Ini peraturan berbahaya karena bisa menghalangi masyarakat menggugat pemerintah pusat ataupun daerah yang lalai dari kewajiban,” ujar Tigor.
Pada kesempatan yang berbeda, Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Yuhanah mengatakan sepenuhnya menyerahkan keputusan kepada majelis hakim di PN Jakpus. Pemprov DKI Jakarta mengikuti aturan yang sah dan berlaku.
Area kelabu
Dosen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia sekaligus praktisi hukum, Ima Mayasari, menerangkan, Peraturan MA No 2/2019 merupakan area kelabu. Secara hukum, tindakan majelis hakim PN Jakpus mengalihkan kasus ke PTUN tidak salah. Di sisi lain, penggugat meminta banding dan uji materiil juga tidak salah.
”Satu-satunya solusi ialah agar MA membuat aturan turunan, minimal berupa surat edaran yang merincikan ketentuan dalam peraturan MA No 2/2019 itu,” ucapnya.
Ima menjabarkan, gugatan perwakilan kelompok mengenai banjir tersebut mencakup hukum publik dan hukum perdata. Apabila murni hukum perdata, kasus memang selayaknya diproses di PTUN. Akan tetapi, karena beririsan dengan hukum publik, Peraturan MA No 2/2019 justru mengakibatkan PN dan PTUN saling mengoper kasus. Akibatnya, pengadilan tidak pernah masuk ke inti permasalahan dan sibuk di persyaratan awal.
”MA harus membuat indikator jelas sebuah gugatan perwakilan kelompok harus dialihkan ke PTUN ataupun petunjuk kapan gugatan cukup diproses di PN,” tuturnya.
Ia menyatakan skeptis apabila gugatan dimasukkan ke PTUN Jakarta akan segera diproses dalam 90 hari kerja sesuai Peraturan MA 2/2019. Pengalamannya sebagai saksi ahli di PTUN Jawa Timur di Surabaya terkait gugatan perwakilan kelompok terhadap bupati Mojokerto, majelis hakim tampak ragu. Mereka memutuskan tidak memproses kasus tersebut. Kerugian terbesar diderita masyarakat karena mereka tidak bisa meminta pertanggungjawaban pemerintah dan pejabat publik bisa mangkir dari kewajibannya tanpa ada ketakutan diproses secara hukum.
”Alasan keraguan majelis hakim PTUN adalah karena gugatan class action terhadap pejabat pemerintah ataupun lembaga negara masih jarang. Banyak hakim masih terintimidasi apabila berhadapan dengan kasus seperti ini,” ucapnya.