Hampir Setahun, Nasib Gugatan Warga atas Banjir Januari 2020 Tidak Jelas
Penggugat meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 64 miliar dan ganti rugi imateriil akibat stres, tidak bisa bekerja, serta faktor sosio-psikologis lainnya sebesar Rp 1 triliun.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menunda keputusan kelanjutan gugatan perwakilan kelompok atau class action 312 warga Jakarta terdampak banjir 1 Januari 2020 terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Pengumuman keputusan akan dilakukan 12 Januari 2021, tetapi tim kuasa hukum korban banjir menganggap hal itu merupakan cara pengadilan menolak memproses kasus tersebut.
”Sesuai dengan keputusan PN (Pengadilan Negeri) Jakarta Pusat 17 Maret 2020, bentuk gugatan class action diterima dan dinyatakan sah. Hanya ada eksepsi dari pihak tergugat, yakni Gubernur Jakarta Anies Baswedan, sehingga ada keputusan sela yang harus diambil,” kata ketua majelis hakim Panji Surono dalam sidang ke-23 terkait gugatan banjir Januari 2020, Selasa (15/12/2020).
Menurut dia, majelis hakim harus membahas kelanjutan kasus itu sebelum mengumumkan keputusan pada 12 Januari 2021. Jika hasil keputusan menyatakan PN Jakarta Pusat memang berwenang mengadili kasus gugatan banjir, segala bukti yang diajukan penggugat dan tergugat akan diproses. Apabila analisis majelis hakim membuktikan kasus tersebut lebih pantas diproses di pengadilan tata usaha negara (PTUN), penggugat harus memulai semua proses dari nol karena berpindah lembaga pengadilan.
Kuasa hukum tergugat Gubernur Jakarta Anies Baswedan, M Thariq, memaparkan bahwa tujuan gugatan perwakilan kelompok itu tidak hanya meminta ganti rugi berupa uang tunai. Penggugat juga meminta adanya perubahan kebijakan serta sistem kerja Pemerintah Provinsi Jakarta. Oleh sebab itu, pihak tergugat mengajukan eksepsi bahwa persoalan kebijakan pemerintah jika dimungkinkan dibahas di PTUN.
Saat banjir 1 Januari 2020 dini hari, sejumlah titik di lima wilayah Jakarta terendam air. Warga terdampak lalu berkumpul dan membentuk gugatan perwakilan kelompok dengan jumlah penggugat 312 orang.
Mereka menggugat Anies karena dinilai lalai memberikan peringatan dini akan terjadinya banjir walau Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sudah memberi tahu akan terjadi hujan lebat di Jakarta dan Jawa barat. Selain itu, Anies juga dianggap terlambat melakukan aksi tanggap darurat.
”Sejak tahun 2015 di wilayah tempat tinggal saya tidak pernah banjir karena Kali Pesanggrahan sempat dua kali dikeruk pada 2015 dan 2016. Tiba-tiba tahun 2020 banjir sampai tingginya 1 meter. Apakah Pemprov Jakarta tidak memastikan sarana penanganan banjir bekerja dengan baik dan kenapa tidak ada sistem peringatan dini, baik melalui media, petugas dinas terkait, maupun RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga)?” keluh Jeffrey Adisurya, perwakilan penggugat dari wilayah Jakarta Selatan.
Demikian pula dikemukakan perwakilan dari Jakarta Barat, Syahrul Partawijaya. Biasanya, setiap musim hujan ada arahan kerja bakti membersihkan saluran air yang merupakan kolaborasi warga dengan kelurahan dan suku dinas terkait. Pada akhir 2019, kegiatan ini tidak ada. Meskipun hujan turun, tidak ada peringatan agar warga memindahkan barang-barang berharga ke tempat aman sehingga warga berpikir hujan tanggal 31 Desember 2019 hingga 1 Januari 2020 takkan membawa masalah.
Syahrul mengatakan, banjir merendam rumahnya hingga 1 meter. Warga tidak bisa bergerak karena tidak ada persiapan dan tidak ada posko pengungsian. Sejumlah warga yang memiliki cukup uang menerobos air untuk tinggal sementara di hotel-hotel sekitar Bendungan Hilir dan Pejompongan. Ada pula yang menumpang di rumah kerabat.
Akan tetapi, warga yang tidak punya uang untuk menyewa kamar, memiliki anggota keluarga lansia dan anak-anak yang sukar dipindahkan, terpaksa bertahan di rumah. ”Petugas dari Pemprov Jakarta baru datang dengan perahu karet tanggal 3 Januari,” ujarnya.
Penggugat meminta ganti rugi materiil sebesar Rp 64 miliar dan ganti rugi imateriil akibat stres, tidak bisa bekerja, serta faktor sosio-psikologis lain sebesar Rp 1 triliun. Selain itu, mereka juga ingin memperlihatkan kepada masyarakat bahwa pemerintah bisa digugat jika tidak menjalankan tanggung jawab.
Syahrul mengatakan, semua aspek kegiatan pemerintah yang dibiayai pajak rakyat semestinya dibuka penggunaannya. Perbaikan saluran air yang merupakan kepentingan publik tidak boleh dikerjakan secara tertutup. Oleh karena itu, mereka juga meminta Pemprov Jakarta membuat kebijakan pengawasan publik dan pertanggungjawaban kepada publik yang transparan.
Ketua tim kuasa hukum penggugat, Azas Tigor Nainggolan, pesimistis dengan keputusan yang akan dikeluarkan PN Jakarta Pusat tahun 2021. Menurut dia, kecil kemungkinan kasus ini akan berlanjut diproses di pengadilan tersebut. Majelis hakim dinilai akan mengoper kasus ke PTUN dengan alasan ada aspek kebijakan publik.
”Semestinya setelah 22 kali bersidang, sidang ke-23 kali sudah masuk ke pokok permasalahan. Kok, malah mundur lagi? Tampaknya pengadilan tidak bisa berlaku adil, jadi saling melempar kasus,” ujarnya.