Bagi sebagian warga Jakarta, puncak musim hujan yang biasanya terjadi pada Januari membunyikan alarm kewaspadaan akan potensi banjir. Kini mereka harus bersiap menghadapi potensi banjir dan ancaman penularan Covid-19.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga Jakarta kini tidak hanya sibuk mencegah Covid-19 di wilayahnya, tetapi juga banjir yang kerap mengancam di musim hujan awal tahun. Jika terpaksa harus memilih, warga rupanya lebih memilih menghadapi banjir ketimbang pandemi Covid-19.
Memasuki awal tahun 2021 ini, Ketua RT 016 RW 007 Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sumarni meminta warganya bersiaga menghadapi ancaman banjir. Berkaca dari banjir parah yang menerjang kampungnya pada awal tahun baru 2020, persiapan di awal tahun mesti dilakukan.
”Setiap tahun kami merasakan banjir, tetapi banjir tahun lalu paling parah. Kami sama sekali tidak siap,” katanya saat ditemui di Jakarta, Selasa (12/1/2021) siang.
Menurut Sumarni, banjir yang datang saat itu sangat cepat. Tiga jam sebelum banjir menerjang, Sumarni yang masih membakar jagung bersama tetangga-tetangganya belum melihat tanda-tanda. Meski saat itu hujan deras, dia melihat ketinggian Kali Krukut di dekat rumahnya masih relatif aman.
Sekitar pukul 03.00, Sumarni pulang. Saat berusaha tidur, dia terbangun oleh teriakan putranya yang mengabarkan air masuk ke dalam rumah. Meski saat itu dia bergegas membangunkan warga, masih banyak yang belum sempat menyelamatkan barang-barang berharganya.
”Paginya, banyak warga yang terjebak di lantai atas rumah karena di bawah airnya sudah tinggi,” ujarnya.
Pengalaman itu membuat Sumarni tidak ingin kebobolan lagi. Kini dia semakin giat mengecek tinggi muka air di Bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat, melalui grup Whatsapp kelurahan. Informasi tersebut nantinya disampaikan kepada pihak keamanan RT agar diteruskan ke warga.
Kini dia juga berkoordinasi dengan pengelola di Rumah Susun Karet Tengsin untuk menjadikan PAUD di sana sebagai lokasi pengungsian. Jarak antara RT 016 dan PAUD tersebut hanya sekitar 300 meter.
Tugas yang diemban Sumarni seakan terasa berat di masa pandemi Covid-19 ini. Konsentrasinya terpecah karena dia juga harus selalu memantau warga yang terkena Covid-19. Belum lagi urusan bantuan sosial yang cukup menyita waktu.
”Januari ini muter-muter terus karena sudah mulai hujan. Kemarin juga sudah ada rapat mencegah banjir di tingkat kelurahan, tetapi protokol kesehatan warga tetap harus diawasi,” katanya.
Sementara itu, Ketua RT 011 RW 001 Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, Warsono enggan mengendurkan kewaspadaan meski warganya terbiasa dengan banjir. Dari tahun ke tahun, warga terbiasa menerima luapan air dari Sungai Ciliwung yang berbatasan langsung dengan rumah mereka.
Sama halnya dengan Sumarni, Warsono menilai banjir yang terjadi pada awal 2020 menjadi yang terparah di RT-nya. Banjir bahkan menggenangi jalan raya hingga setinggi 50 sentimeter. Padahal, lokasi rumah warga di bantaran sungai sekitar 1 meter lebih rendah daripada jalan raya.
”Bulan ini saya pantau terus. Begitu ada perintah dari RW soal ketinggian air di Bogor, saya langsung sebar ke warga. Lewat grup Whatsapp dan datangi langsung rumah warga,” ujarnya.
Warsono juga mengaku sudah menyiapkan pengungsian bagi warga, yakni di SMP Negeri 3 Jakarta. Jaraknya lebih kurang 50 meter dari permukiman warga RT 011.
Menurut Warsono, lebih mudah mengatur warga mewaspadai banjir ketimbang pandemi Covid-19. Sebab, warga sudah terbiasa menghadapi banjir. Sebaliknya, warga lebih sulit diatur menaati protokol kesehatan.
”Saya peringatkan warga biar enggak melanggar protokol kesehatan. Kalau masih ada yang melanggar, biar diurus satpol PP,” katanya.
Lebih siap hadapi banjir
Beberapa warga mengaku lebih siap menghadapi banjir ketimbang pandemi Covid-19. Salah satunya diungkapkan Triana (35), warga RT 16/07 Karet Tengsin. ”Sejak kecil tinggal di Jakarta. Setiap tahun sudah pasti banjir, tetapi yang besar biasanya setiap lima tahun,” katanya.
Sementara itu, Triana memandang Covid-19 sebagai bencana yang sangat mengesalkan. Bentuknya tidak terlihat, tetapi sangat mudah menular. Akibatnya, ia harus selalu menaruh curiga kepada orang-orang di sekitarnya.
”Saya mau ngomong sama orang bawaannya waswas melulu karena kita enggak tahu kondisi dia bagaimana,” katanya.
Menghadapi ancaman banjir awal tahun ini, Triana mengaku lebih siap. Dia yang pernah terjebak di lantai dua rumahnya pada banjir awal tahun 2020 mengaku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Saat itu dia meremehkan ketinggian air Kali Krukut yang relatif rendah.
”Saya pikir aman-aman saja, kan. Pas bangun pagi, air sudah 4 meter di bawah. Saya tidur di atas, enggak bisa turun,” katanya.
Solehah (45), warga RT 001 RW 004 Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, juga mengaku terbiasa dengan banjir. Tahun ini, dia bersyukur belum ada tanda-tanda banjir datang. Bagi dia, bulan Januari yang umumnya puncak musim hujan kerap membuat tidurnya tidak nyenyak.
”Kemarin-kemarin bisa tidur nyenyak karena enggak ada hujan. Beberapa hari ini sudah mulai hujan lagi, tidur terganggu lagi. Khawatir tiba-tiba banjir,” katanya.
Jika terpaksa harus memilih, Solehah mengaku lebih memilih terdampak banjir ketimbang pandemi Covid-19. Menurut dia, banjir cepat surut dibandingkan dengan pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan.