Jelang Belajar Tata Muka, Sekolah Meminta Jaminan Keselamatan
Kalau dari segi fasilitas, sekolah pasti memiliki tempat cuci tangan hingga masker cadangan dan pelindung wajah. Permasalahannya, bagaimana melindungi guru, staf sekolah, dan siswa selama di luar lingkungan sekolah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah sekolah di Ibu Kota menanti aturan dan petunjuk teknis dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta terkait kepastian pembelajaran tatap muka. Meskipun demikian, mereka mengaku tetap khawatir akan terjadi kluster penularan Covid-19 baru karena tidak ada yang bisa menjamin kegiatan siswa, guru, dan tenaga kependidikan di luar sekolah.
”Kalau dari segi fasilitas, sekolah pasti memiliki wastafel dengan sabun untuk cuci tangan dan hand sanitizer (cairan antiseptik). Kami juga menyediakan masker untuk berjaga-jaga dan sejumlah pelindung wajah. Permasalahannya ialah jaminan keselamatan guru dan siswa di luar lingkungan sekolah,” kata Kepala SMAN 7 Jakarta Satya Budi Aprianto ketika duhubungi, Rabu (30/12/2020).
Kalau dari segi fasilitas, sekolah pasti memiliki wastafel dengan sabun untuk cuci tangan dan hand sanitizer (cairan antiseptik). Permasalahannya ialah jaminan keselamatan guru dan siswa di luar lingkungan sekolah.
Tahun Baru 2021 akan tiba dalam kurun satu hari. Surat Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan menyatakan bahwa per Januari 2021 pembelajaran luring atau tatap muka bisa mulai diterapkan. Syaratnya ialah berbasis kajian pemerintah daerah terkait risiko penularan Covid-19 dan izin berjenjang dari orangtua serta satuan pendidikan.
Mendikbud Nadiem Anwar Makarim mengatakan, setiap rombongan belajar hanya boleh diisi paling banyak 15 siswa. Jam belajar juga tidak dari pagi hingga sore seperti sebelum pandemi, tetapi setengah hari. Seusai sekolah, semua siswa wajib langsung pulang ke rumah masing-masing (Kompas, 23 November 2020).
Pada bulan November sudah beredar surat yang ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan Jakarta Nahdiana. Isinya meminta sekolah menyiapkan sarana penegakan protokol kesehatan dan memastikan segala sara dan prasarana terpenuhi. Belum ada kabar mengenai kelanjutan surat tersebut. Sementara itu, di Banten, Gubernur Wahidin Halim telah menegaskan di awal Desember bahwa provinsi itu tidak akan menyelenggarakan pembelajaran luring sampai pandemi tertangani.
Satya mengatakan, sebagai lembaga pendidikan, SMAN 7 Jakarta siap menerima keputusan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pendidikan. Akan tetapi, guru sebagai individu mengungkapkan masih cemas dengan risiko terpapar virus korona baru. Apalagi di sekolah tersebut ada satu keluarga guru yang pernah tertular dan menjalani isolasi.
”Padahal, kami sudah menerapkan sistem bekerja daring sejak awal pandemi dan guru ini termasuk orang yang disiplin terhadap protokol kesehatan, tetapi tetap tertular. Risiko terkena Covid-19 sudah begitu tinggi,” tuturnya.
Sebagai kepala sekolah, ia selalu mengingatkan tenaga pengajar dan siswa untuk selalu menjaga kesehatan dan jika bisa mengikuti berbagai alternatif tes cepat. Akan tetapi, ia tidak berwenang menyuruh para guru untuk tes. Di SMAN 7 Jakarta ada 42 guru dan setengahnya sudah berumur di atas 50 tahun sehingga hendaknya Disdik benar-benar mengatur sistem kerja guru untuk memastikan guru yang termasuk kelompok rentan seperti lansia dan orang dengan penyakit bawaan bisa terjamin keselamatannya.
Senada dengan Satya, Kepala SMPN 145 Jakarta Ridho Harsono mengungkapkan, ada siswa beserta keluarga yang dirawat akibat terkena Covid-19. Kejadian itu membuat pihak sekolah mengharapkan agar Disdik bisa menghasilkan kebijakan yang membuat baik guru maupun siswa tidak perlu mengambil risiko terpapar virus korona.
Selama pandemi, SMPN 145 Jakarta meminta para siswa kelas IX bergiliran ke sekolah untuk menandatangani ijazah kelulusan. Meskipun para guru sudah mengawasi agar siswa menjaga jarak fisik dan memakai masker, penerapannya lebih sukar daripada aturan.
”Kami terus menegur siswa karena secara alami anak-anak langsung ingin bergerombol dan masker mereka sedikit-sedikit melorot mengekspos hidung. Kalau guru meleng sedikit, ada anak yang melepas masker. Ini untuk 10-15 anak yang datang untuk mengurus ijazah per hari. Tidak terbayang nanti kalau pembelajaran luring dimulai energi guru akan habis hanya untuk menegur siswa memperbaiki masker dan jangan berdiri di dekat temannya,” ujar Ridho.
Selain itu, ia juga mencemaskan moda transportasi siswa. Mayoritas siswa menggunakan angkutan umum, mulai dari ojek daring, kereta rel listrik, hingga bus. Ada risiko terpapar dalam perjalanan menuju halte apabila siswa tidak disiplin bermasker dan menjaga jarak, terutama ketika mereka bertemu dengan orang yang mereka kenal dalam perjalanan dan berhenti untuk mengobrol sejenak.
Dari konsumsi siswa juga agar menjadi perhatian Pemprov Jakarta. Apabila kantin sekolah tidak dibuka, siswa harus membawa makanan sendiri. Siswa-siswa dari keluarga yang berekonomi lemah orangtuanya kerap tidak sempat membuatkan bekal karena harus pergi bekerja sejak pagi. Kemungkinan besar mereka akan membeli bekal di warung.
”Ini juga risiko baru ketika siswa harus jajan di luar. Hal-hal seperti ini tidak akan bisa diawasi oleh para guru,” kata Ridho.
Sementara itu, di SMPN 1 Jakarta, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Agus Tiyoso mengatakan, sudah ada guru dan siswa yang menjadi pasien positif Covid-19. Akibatnya, sekolah membentuk satuan tugas pencegahan Covid-19 yang menyiapkan protokol ketat untuk setiap kegiatan di dalam lingkup satuan pendidikan tersebut.
Agus mengharapkan agar ketika pembelajaran luring dilakukan jangan langsung menerapkan kuota 50 persen. SMPN 1 Jakarta memberi masukan kepada Disdik jika mungkin hanya kelas IX dulu yang masuk sekolah, itu pun maksimal 25 persen dari keseluruhan siswa.