Gerilya Bandar di Tahun Hawar
Pengungkapan narkoba besar-besaran terancam sia-sia jika tidak diseimbangkan dengan pencegahan dan rehabilitasi.
Tahun 2020 jadi saksi betapa ugal-ugalannya para bandar narkotika menebarkan jualan haram mereka. Virus korona yang mendunia justru menjadi sekutu mengekalkan cengkeraman bisnis terlarang di Indonesia. Di tahun hawar Covid-19, para bandar justru bergerilya dengan lebih panas.
Layaknya sopir ugal-ugalan yang mengabaikan risiko nyawa, para bandar narkoba, terutama sabu, menyelundupkan produk mereka di Indonesia dalam volume yang tidak tanggung-tanggung, seakan tidak peduli risiko terendus aparat, tertangkap, dan dihukum mati.
Pada Selasa (22/12/2020) malam, misalnya, tim gabungan Satuan Tugas Khusus Polri—dikenal sebagai Satgassus Merah Putih—dan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya membongkar pengiriman 196 bungkus coklat berisi sabu, yang dibawa satu mobil putih mungil ke sebuah hotel di Petamburan, Jakarta Pusat. Bobot sabu keseluruhan lebih dari 201 kilogram.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus, Rabu (23/12/2020), di Jakarta, menuturkan, sindikat internasional mengendalikan pengiriman sabu asal Timur Tengah itu ke Jakarta. Diduga, uang hasil penjualannya untuk membiayai aktivitas terorisme di kawasan yang penuh konflik tersebut. ”Kami sedang mendalami apakah ada keterkaitan dengan terorisme di Indonesia,” ujarnya.
Sindikat internasional mengendalikan pengiriman sabu asal Timur Tengah itu ke Jakarta. Diduga, uang hasil penjualannya untuk membiayai aktivitas terorisme di kawasan yang penuh konflik tersebut.
Selain itu, penyelundupan 201 kg sabu ini punya kaitan dengan penyelundupan-penyelundupan sebelumnya sepanjang 2020 yang juga tergolong kelas ratusan kg dan sudah diungkap polisi. Lokasinya di Tangerang dan Serang, Banten, serta di Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu indikatornya, terdapat kode 555 pada kemasan sabu di seluruh penyelundupan, menandakan barang berasal dari Timur Tengah.
Baca juga: Polisi Duga Penyelundupan Sabu Ratusan Kilogram untuk Danai Terorisme di Timur Tengah
Pada 30 Januari, tim Polda Metro Jaya menggagalkan penyelundupan 288 kg sabu di daerah Pagedangan, Kabupaten Tangerang, yang berakhir dengan penembakan tiga pelaku hingga tewas karena melawan petugas. Tanggal 22 Mei, Satgassus Merah Putih mengungkap 821 kg sabu di sebuah gudang di Taktakan, Kota Serang. Di tanggal 3 Juni, tim Satgassus Merah Putih dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya mengungkap 402 kg sabu di sebuah perumahan di Sukaraja, Kabupaten Sukabumi.
Dalam pengungkapan di Serang, polisi antara lain menangkap warga negara Pakistan bernama Bashir Ahmed bin Muhammad Umear. ”Jadi, Bashir ini melempar 50 kg ke seseorang yang waktu itu DPO (buron). Nah, dia sama dengan penerima yang sekarang kami tangkap,” ujar salah satu pentolan Satgassus Merah Putih, Kombes Herry Heryawan.
Dengan demikian, Herry meyakini pelaku-pelaku dari empat pengungkapan tersebut saling terkait. Tim masih mendalami pelaku dan sabu lain yang belum terungkap, termasuk figur pengendali utamanya.
Selain empat pengungkapan oleh Satgassus Merah Putih dan Polda Metro Jaya, masih ada setidaknya empat pengungkapan sabu berskala ratusan kg lainnya sepanjang 2020.
Pada 13 Maret, Polda Kalimantan Selatan ungkap 212,8 kg sabu di Kabupaten Tabalong. Tanggal 21-23 Juli, Bareskrim Polri dan Polda Bangka Belitung melalui operasi ”White Corn 2020” ungkap 200 kg sabu di Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Cikarang (Kabupaten Bekasi).
Pada 28 Juli, giliran Badan Narkotika Nasional ungkap sabu, juga sekitar 200 kg, di Cibodas, Kota Tangerang. Lalu, tanggal 30 Juli, personel Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan membongkar upaya pengiriman 131 kg sabu dari Aceh ke Jawa melintasi Jakarta.
Publikasi Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) berjudul Covid-19 and The Drug Supply Chain: From Production and Trafficking to Use (Mei 2020) menyebutkan, Italia dan sejumlah negara di Asia Tengah melaporkan tangkapan narkoba di wilayah mereka menurun drastis. Perdagangan narkoba di Niger, Afrika Barat, bahkan disebut terhenti selama pandemi. Adapun di negara-negara Balkan, para penyelundup narkoba beralih ke kejahatan terkait Covid-19, antara lain dalam rupa kejahatan dunia maya dan peredaran obat palsu.
Perdagangan narkoba sangat bergantung pada perdagangan legal sebagai kamuflase dan individu yang mampu bermobilitas guna menyampaikan obat terlarang ke konsumen. Sementara itu, sekitar setengah dari populasi dunia hidup dalam pengekangan mobilitas akibat pandemi dan pelintasan antarnegara pun dibatasi.
Namun, di Iran dan Maroko, pembongkaran upaya penyelundupan narkoba berskala besar masih terjadi, menandakan peredarannya masih kencang di sana pada era pandemi ini. Itu pulalah yang berjalan di Indonesia, setidaknya dari catatan capaian Direktorat Narkoba Badan Reserse Kriminal Polri.
Baca juga: Narkoba Tak Lekang oleh Korona
Kurun Januari-November 2020, Ditnarkoba menangani 41.093 kasus dengan total tersangka 53.184 orang, terdiri dari 53.118 warga negara Indonesia dan 66 warga negara asing. Jumlah kasus naik 3,24 persen dibandingkan periode Januari-Desember tahun lalu (39.805 kasus) dan jumlah tersangka naik 3,87 persen (2019 ada 51.194 orang).
Barang bukti sabu yang dihimpun juga melonjak tajam, dari 2,7 ton pada 2019 menjadi 5,91 ton tahun ini atau membubung 119 persen. Peningkatan itu tetap mencemaskan meski kenaikan tidak terjadi pada sejumlah jenis narkoba lainnya. Barang bukti ganja menurun 15,55 persen (dari 59,91 ton ke 50,59 ton) dan ekstasi turun 5,67 persen (dari 959.885 butir ke 905.425 butir).
Jika wabah Covid-19 bagi para pejuang rupiah halal merupakan pukulan, bagi pengedar narkoba—para peneguk uang haram—merupakan kawan. Mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Inspektur Jenderal (Purn) Benny Mamoto mengaitkannya dengan dampak serius Covid-19 terhadap perekonomian yang memicu pengangguran naik dan makin besarnya tekanan terhadap mental warga.
”Kondisi ini membuka peluang bisnis ilegal narkoba berkembang,” ujar Benny. Mereka yang menganggur dan putus asa mencari pekerjaan jadi ”ladang basah” bagi perekrut kurir narkoba. Adapun warga yang tertekan berpotensi menjadikan narkoba sebagai pelarian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 2,6 juta penganggur baru sehingga angka pengangguran pada Agustus 2020 menjadi 9,77 juta orang. Sebanyak 1,2 juta orang di antaranya lulusan akademi dan perguruan tinggi (Kompas, 23/12/2020).
Benny menekankan, 2021 kemungkinan masih akan jadi tahun hawar. Penularan Covid-19 masih berlanjut dan beragam pembatasan yang melesukan ekonomi terpaksa harus tetap berjalan. Kondisi tersebut dikhawatirkan mendongkrak peredaran narkoba dibandingkan tahun ini.
Namun, harus diingat, peningkatan suplai pasti berhubungan dengan naiknya permintaan. Seheroik apa pun para aparat membongkar penyelundupan narkoba, dengan pengintaian yang meletihkan dan pelacakan secanggih apa pun, itu hanya menyasar sisi suplai.
Seperti manusia yang butuh dua kaki untuk berjalan tegak, pemberantasan narkoba juga punya dua kaki yang keduanya mesti digunakan. Kaki pertama, menekan suplai. Kaki kedua, menekan permintaan. Jika hanya salah satu yang digunakan, pemberantasan narkoba bakal berjalan pincang.
Terdapat setidaknya dua langkah untuk menekan permintaan, yaitu pencegahan untuk menyasar warga yang belum terpapar narkotika dan rehabilitasi bagi para pengguna. Benny menyoroti rehabilitasi yang belum jadi arus utama untuk menangani para pencandu. Solusi pemenjaraan masih diprioritaskan dibandingkan solusi kesehatan.
Kasus narkoba pun jadi penyumbang terbesar kelebihan kapasitas rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia per Maret 2020, jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia 270.466 orang, 104 persen lebih tinggi dibandingkan daya tampung aslinya yang hanya 132.335 orang.
Dari sisi jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP), 55 persen WBP berasal dari tindak pidana narkotika dan 38.995 orang di antaranya (14,4 persen dari total penghuni rutan dan lapas) merupakan pengguna narkotika. Bandingkan dengan hanya 4.364 orang yang mendapatkan layanan rehabilitasi BNN se-Indonesia pada tahun ini.
Baca juga: Mencari Jalan Keluar untuk Pencandu Narkotika
”Para penyalahguna bila tidak direhabilitasi dan hanya dipenjara akan belajar selama di penjara, untuk kemudian menjadi pengedar atau kurir ketika keluar dari lapas,” kata Benny. Kecanduan terhadap narkoba pun malah bisa makin parah di sel karena kian mudah bertemu penyedia. Sebagai gambaran, BNN sepanjang 2020 mengungkap 27 WBP yang aktif mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji penjara.
Tahap penyidikan adalah penentu apakah seorang penyalahguna direhabiitasi atau dipenjara. Benny mengatakan, pemahaman penyidik tentang solusi kesehatan bagi pencandu kemungkinan masih rendah. Atau, yang ia khawatirkan, sebagian penyidik tahu tetapi memilih tetap menggiring pencandu ke penjara karena kepentingan tertentu.
Karena peredaran narkoba tetap saja marak meski penyelundupan berskala besar berkali-kali diungkap, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Trimedya Panjaitan, mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi fungsi pemberantasan narkoba di tubuh Polri. ”Apakah Polri perlu menangani narkoba juga atau cukup di BNN sesuai namanya. Agar ada totalitas yang penuh. Toh, ada unsur Polri juga di BNN,” ujarnya.
Apalagi, penanganan narkoba oleh lebih dari satu institusi ditengarai malah memicu persaingan tidak sehat untuk menorehkan prestasi. Trimedya mendengar, jika BNN hendak melakukan operasi, oknum polisi membocorkan informasinya pada pemain narkoba yang disasar BNN. Begitu pula sebaliknya.
Ucapan Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal M Fadil Imran tentang kejahatan secara umum kiranya tepat juga diterapkan terhadap narkoba. ”Menangkap pelaku kejahatan adalah suatu kebanggaan, tetapi mencegah orang menjadi korban kejahatan adalah suatu kemuliaan,” katanya.
Militansi para bandar dan jaringannya terbukti belum terpatahkan oleh operasi aparat, bahkan hawar Covid-19 yang sudah membunuh lebih dari 20.000 orang di Tanah Air justru jadi pintu peluang menumbuhkan bisnis. Pengungkapan besar-besaran terancam sia-sia jika tidak diseimbangkan dengan pencegahan dan rehabilitasi.