DKI Prioritaskan Pembebasan Lahan di Lima Sungai Utama
Pada 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membebaskan lahan di Ciliwung, Pesanggrahan, Angke, Sunter, dan Jatikramat untuk pengendalian banjir di Ibu Kota.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menindaklanjuti laporan Panitia Khusus Banjir DPRD DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Sumber Daya Air akan fokus melakukan pembebasan lahan di lima sungai. Setelah hal tersebut dilakukan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat baru bisa turun tangan untuk memperlebar dan membeton bantaran sungai guna memperlancar aliran air.
”Fokusnya di Sungai Ciliwung, Angke, Pesanggrahan, Sunter, dan Jatikramat. Ini sebenarnya meneruskan program pembebasan lahan dari beberapa tahun lalu,” kata Kepala Dinas SDA DKI Jakarta Juaini Jusuf ketika dihubungi, Jumat (25/12/2020). Pemprov DKI baru mendapat suntikan dana dari pusat dengan total Rp 4,05 triliun khusus untuk penanganan banjir.
Menurut dia, beberapa titik yang sudah dalam proses pembebasan lahan adalah Tanjung Barat dan Pejaten Timur di Jakarta Selatan serta Cawang dan Balekambang di Jakarta Timur. Warga sudah meminta untuk ganti biaya pembebasan lahan karena tidak tahan terus-terusan dilanda banjir setiap musim hujan. Dinas SDA DKI telah berkoordinasi dengan Dinas Perumahan DKI untuk mencari tempat tinggal baru bagi warga yang dipindahkan.
Selain itu, juga ada perbaikan saluran air. Juaini mengatakan, saluran-saluran di Jakarta berfungsi, tetapi tidak maksimal karena ada penumpukan sampah dan sedimentasi lumpur. Terdapat pula saluran air dari zaman Belanda ataupun beberapa dekade lalu yang harus diperbesar dan diperdalam karena kapasitasnya tidak bisa menampung debit air sekarang.
”Ada koordinasi juga dengan Dinas Bina Marga DKI karena mereka memiliki proyek revitalisasi trotoar dan jaringan utilitas. Kalau saluran di bawah trotoar itu memang perlu dibenahi, pasti akan ditangani agar atas dan bawah sama-sama berfungsi maksimal,” kata Juaini.
Pegiat peta hijau kota dan pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, yang menjadi salah satu ahli terlibat dalam penyusunan laporan Pansus Banjir, mengatakan, harus ada indikator terukur kinerja Pemprov DKI Jakarta. Ada empat hal yang semestinya dilakukan serentak, yaitu perbaikan sungai; revitalisasi situ, embung, dan waduk; perbaikan saluran air; dan menambah ruang terbuka hijau (RTH). Setiap program memiliki acuan yang baku.
Misalnya, untuk satu tahun pemprov fokus pada satu hingga dua sungai agar penanganannya benar-benar tuntas. Saat ini, pemprov fokus pada terlalu banyak sungai, tetapi titik-titik pengerjaannya sporadis. Lebih baik dalam satu tahun tangani satu sungai dari hulu hingga hilir. Setelah selesai, baru tahun depan pindah ke sungai berikutnya.
”Terkait pembenahan, tidak perlu pusing dengan istilah normalisasi dan naturalisasi karena setiap titik bisa memakai cara berbeda-beda. Hal terpenting adalah bantaran sungai dibeton. Sudah ada jalan tengah antara pemprov dan pusat bahwa setiap sungai yang kini lebarnya 10-15 meter dijadikan 35 meter. Artinya, dari kanan dan kiri diambil 7,5 meter,” kata Nirwono.
Laporan pansus menyebut bahwa kapasitas aliran sungai Ibu Kota adalah 950 meter kubik per detik. Kajian pakar menunjukkan debit rata-rata banjir adalah 2.100-2.650 meter kubik per detik. Bahkan, banjir pada 1 Januari 2020 debit airnya mencapai 3.389 meter kubik per detik.
Demikian pula dengan embung, situ, dan waduk yang jumlahnya ada 109 lokasi. Setiap tahun bisa ditangani 10 titik saja sampai tuntas, yaitu dikeruk dan dilebarkan. Tidak perlu menambah jumlah karena nanti pemprov akan terkendala masalah pembebasan lahan lebih banyak untuk lokasi situ yang baru.
Di dalam laporan pansus, ada rekomendasi agar pembangunan drainase vertikal tidak memakai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sebaiknya dilakukan dengan dana dari tanggung jawab sosial perusahaan, swadaya masyarakat, atau bagian dari kewajiban pemilik gedung perkantoran maupun apartemen. Akan tetapi, Nirwono mengatakan, drainase vertikal bukan solusi permanen karena air harus ditampung, dialirkan, dan baru diresap oleh RTH. Pemprov Jakarta menjanjikan membuat 1,8 juta drainase vertikal yang capaiannya baru 1.772 unit.
Menurut Nirwono, apabila pembangunan drainase vertikal dibebankan kepada APBD, pengawasannya akan sulit dan rawan disalahgunakan. Biarkan pembangunan drainase menjadi tanggung jawab masyarakat sesuai jumlah lahan yang mereka miliki, baik di rumah maupun gedung umum.
Jakarta tercatat saat ini hanya memiliki 9,98 persen RTH dari total luas wilayah. Dibandingkan dengan mempercantik RTH yang sudah ada, utamakan membuat RTH baru yang dari segi ukuran lebih kecil dibandingkan membuat situ baru. Idealnya, luas RTH adalah 30 persen dari luas wilayah Ibu Kota.
”Kegiatan ’Grebek Lumpur’ yang dilakukan pemprov sekarang juga harus menjadi rutin sepanjang tahun sebagai perawatan situ, sungai, dan saluran air. Justru harusnya dilakukan di musim kemarau, jangan menunggu dekat ke musim hujan,” ujarnya.
Ketua Pansus Banjir DPRD DKI Jakarta Zita Anjani mengatakan, pihak legislatif sudah melakukan kajian dan memberikan rekomendasi. Tinggal melihat kemauan politik dari Pemprov Jakarta untuk mengambil langkah yang efektif mengatasi banjir.