Tahun 2020 menjadi tahun yang berat bagi pedagang kecil di Jakarta. Mereka harus terus mengetatkan ikat panggang lantaran pemasukan yang anjlok lebih dari separuh pendapatan lama.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Mendung masih menyelimuti kalbu Zamroni (37). Sudah 10 bulan terakhir pendapatan pedagang makanan ini terus tergerus. Jatah susu anak bungsunya pun harus terhenti di tengah jalan. Ia harus menahan sedih melihat anaknya menjadi kurus.
Kehidupan Zamroni sekeluarga bergantung dari penjualan gado-gado dan ketoprak. Saban hari, ia memarkir gerobak di Jalan KH Syahdan, Jakarta Barat. Ditemui pada Rabu (23/12/2020) siang, Roni sedang sepi pesanan. Bahan-bahan pembuat gado-gado dan ketoprak masih berjajar rapi mengisi etalase gerobaknya. Cobek penggiling bumbu masih terlihat bersih, belum terpakai. Padahal, sudah 2,5 jam dia menanti penglaris.
Sepinya pembeli mengubah kehidupan keluarga Zamroni. Pelbagai upaya mereka lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup dengan pemasukan yang tak seberapa. Di pengujung upayanya, anak bungsu yang berumur 3 tahun pun tak lagi bisa menikmati susu sejak tiga bulan terakhir. ”Sudah enggak kuat lagi beli susu. Makan nasi saja anak-anak saya sekarang. Tadinya gemuk, sekarang jadi kurus,” kata pria asal Tegal, Jawa Tengah, ini.
Keputusan ini berat, tetapi terpaksa dia lakukan lantaran omzet dagangan anjlok. Sebelum Covid-19, dia bisa mengirim Rp 5 juta setiap bulan ke Tegal, tempat istri dan dua anaknya bermukim. Kini, dia cuma sanggup memberi Rp 500.000 sebulan. Bahkan, Roni pernah absen mengirim uang lantaran keuntungan yang didapat hanya cukup untuk membiayai kebutuhannya di Jakarta.
”Bayar kontrakan saya saja sekarang nunggak satu bulan. Kalau saya tak
ngirim, istri ngutang dulu di warung, nanti pas ada uang baru dibayar,” ujarnya.
Roni termasuk pedagang yang mulai beradaptasi dengan ekonomi digital. Dia sudah mempunyai lapak di aplikasi pemesanan makanan daring. Namun, pesanan sangat jarang. Dalam sehari, rerata hanya satu orderan yang masuk.
Tirisnya pendapatan Roni di antaranaya karena ia mengandalkan mahasiswa Universitas Binus sebagai konsumen utamanya. Kampus Universitas Binus yang berada di Jalan KH Syahdan. Pandemi membuat kegiatan perkuliahan hingga kini masih berlangsung secara daring.
Sepinya pembeli mengubah kehidupan keluarga Zamroni. Pelbagai upaya mereka lakukan demi mencukupi kebutuhan hidup dengan pemasukan yang tak seberapa. Di pengujung upaya, anak bungsunya yang berumur 3 tahun pun tak lagi bisa menikmati susu sejak tiga bulan terakhir.
Setiap hari selama Covid-19, omzetnya rerata Rp 200.000. Dari omzet ini, Roni mendapat untung Rp 70.000. Sebelum Covid-19, ia bisa meraih omzet Rp 500.000 dan mengantongi laba Rp 300.000.
Dia sempat berharap pemerintah meluncurkan program subsidi bantuan usaha ultramikro. Namun, setelah diajukan, Roni ternyata tak memenuhi syarat. Pemerintah mensyaratkan penerima bantuan tidak mempunyai tagihan di bank. Sementara Roni masih mencicil kredit usaha rakyat dengan tagihan Rp 1,3 juta per bulan.
Karyawan jarang mampir
Pedagang bubur ayam di Jembatan Kota Intan, Pinangsia, Jakarta Barat, Sanim (59) pun merasakan penurunan omzet. Ini karena obyek wisata di sekitar lokasi masih tutup. Para penumpang mikrolet jarang singgah di gerobaknya. ”Padahal, karyawan yang lagi nunggu jemputan atau mikrolet biasanya sarapan dulu di sini. Sekarang sudah jarang,” ujar pedagang bubur ayam sejak 1988 ini.
Semangkuk bubur ayam dia jual seharga Rp 10.000. Setiap hari, hanya sekitar 20 mangkuk terjual. Sebelum pandemi, dia bisa menjual hingga 50 mangkuk dari pukul 06.00-12.00. ”Sekarang itu, saya bersyukur saja karena masih diberi kesehatan. Jadi, masih bisa terus berusaha,” ujarnya.
Dari bubur ayam, Sanim membiayai istri dan dua anaknya yang masih sekolah. Istri dan anak Sanim berada di Tegal. Berhubung anaknya sekolah, sering ada permintaan dana tak terduga. ”Kadang tiba-tiba masuk telepon, ’Pak kirim 500. Pak kirim Rp 1 juta.’ Kalau kebetulan lagi tak ada uang, saya terpaksa
Di Kebayoran Lama, Jakarta, Selatan, pedagang es cincau, Suyatman (41), tak habis pikir dagangannya masih saja redup. Padahal, Jalan Kebayoran Lama selalu ramai dari siang hingga sore. ”Saya juga bingung tuh, kenapa jarang sekali yang singgah,” katanya.
Sebelum pandemi, untung bersih hingga Rp 250.000 sehari mudah mengisi pundi-pundinya. Jumlahnya bisa lebih besar jika langit Jakarta sedang cerah. Namun, kini, dalam kondisi matahari panas terik sekalipun, pendapatannya tak beranjak dari Rp 100.000. Beruntung, istrinya bisa menopang pendapatan keluarga dengan menjadi penjahit.
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, Nur Hafizah (21), mengaku lebih selektif dalam membeli jajanan di pinggir jalan selama pandemi. Jika terpaksa makan di luar, dia pasti membawa sendok, garpu, dan sedotan sendiri.
”Kalo jajan gitu, kan, kita tak tahu penyajiannya gimana. Takutnya yang
nyiapin makanannya enggak pakai sarung tangan atau gimana. Jadi, aku lebih memilih untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,” tuturnya.