Berkah Hari Raya Belum Menyentuh Pedagang di Pulo Gebang
Menjelang Natal, para pedagang di Terminal Pulo Gebang, Jakarta, masih gigit jari. Sepinya penumpang ikut menyurutkan rezeki yang menghampiri mereka.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Para pedagang di Terminal Pulo Gebang, Jakarta Timur, tak antusias menyambut mudik Natal dan Tahun Baru kali ini. Pandemi Covid-19 menekan jumlah penumpang. Karena penumpang tak banyak, dagangan mereka jadi mangkrak.
Dalam sepekan terakhir, jumlah penumpang bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang berangkat setiap hari dari terminal ini tak lebih dari 500 orang. Padahal, pada 20 Desember 2019, penumpang bus AKAP di situ tercatat lebih dari 6.000 orang.
Rita (50), pedagang pakaian, sengaja tak menyimpan stok dagangan baru pada akhir tahun ini. Dia sudah memprediksi, jumlah penumpang tak akan ramai. Di tokonya, sejumlah pakaian yang tergantung sudah kusam.
”Saya cuma stok masker karena enggak ada lagi penumpang yang beli sweter atau sopir bus yang beli celana pendek,” ujarnya, Selasa (22/12/2020).
Padahal tahun lalu, dia membeli dagangan baru seharga Rp 10 juta. Omzet per hari bisa mencapai Rp 1 juta. ”Kini, Rp 300.000 saja sehari sudah syukur,” ujar pedagang yang sudah empat tahun berjualan di terminal ini.
Di Kios Intan, pemilik toko seakan enggan membarui dagangan. Buah belimbing dalam lemari toko menunggu layu. ”Kemarin ada pisang tiga sikat sudah busuk karena enggak ada yang beli,” ujar penjaga Kios Intan, Yuni (33).
Yuni baru sebulan bekerja di Kios Intan. Kepada pemilik toko, Yuni sudah menyarankan agar isi toko ditambah. ”Paling tidak jual rokoklah. Orang yang membeli rokok itu pasti juga jajan. Kalau dnggak beli minuman, ya, beli mi instan. Itu, kan, bisa jadi penarik. Ini kulkas saja sudah rusak, yang punya toko enggak mau memperbaiki,” tuturnya.
Setiap hari, Yuni diupah Rp 50.000, ditambah uang makan Rp 10.000. Beberapa waktu lalu, omzet toko hanya Rp 45.000. ”Saya sudah cemas waktu itu. Takut gaji saya enggak dibayar. Untung saja tetap dibayar bos pakai uang pribadinya,” ujarnya.
Kondisi sepi penumpang ini membuat sejumlah pedagang menutup toko. Delima Situmorang (67), misalnya, baru membuka toko awal Desember ini. Tokonya sempat tutup selama tujuh bulan.
Ketika buka kembali, ia membeli minuman dan makanan ringan baru karena yang lama sudah kedaluwarsa. Berjualan selama beberapa hari, omzet toko tak pernah melebihi Rp 100.000 sehari. Pada Senin (22/12/2020) siang, Delima menunjukkan kotak uang yang berisi selembar Rp 2.000.
”Dari pagi sampai siang, baru ada satu penumpang yang beli permen,” katanya, kemarin. Hari ini, Delima tak berjualan. Tokonya pun tutup.
Karyawan baru
Dalam suasana yang sepi di Terminal Pulo Gebang inilah Bustami (33) mulai bekerja sebagai karyawan di salah satu toko di terminal itu. Lelaki asal Aceh ini bekerja sejak Jumat pekan lalu. Dari buku catatan yang dia tunjukkan, omzet warung yang dijaganya sekitar Rp 200.000 per hari.
Kedatangan Bustami ke Jakarta sebetulnya tak terencana. Sebelumnya, dia bekerja sebagai kuli bangunan di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Mengaduk semen selama lebih kurang satu bulan, dia hanya mendapat upah Rp 600.000. ”Upah kami ditembak (ditilap) mandor, kabur dia. Jahat kali orang itu,” katanya.
Belum hilang kesal karena upah hanya dibayar sepertiga dari perjanjian, Bustami melihat bus PO ALS jurusan Aceh-Jakarta melintas di Pematang Siantar. ”Jakarta, Jakarta, Jakarta,” dia menirukan panggilan kernet bus. Tanpa pikir panjang, dia hentikan bus itu.
”Saya nego sama sopir. Saya cuma sanggup bayar Rp 300.000 dari total ongkos Rp 600.000. Awalnya sopir enggak mau. Tapi, saya bilang habis ditipu mandor. Akhirnya boleh berangkat,” ujarnya.
Pada Rabu (16/12/2020), duda satu anak ini turun di pul bus ALS di Pulo Gadung, Jakarta Timur. Setelah turun, baru dia sadar bahwa dirinya sebatang kara di Jakarta. Tak ada teman atau kerabat yang bisa dihubungi. Sekiranya ada, masih ada kendala lantaran Bustami tak punya gawai.
Sempat menggelandang sehari, Bustami mencoba peruntungan dengan datang ke Terminal Pulo Gebang. Di terminal ini, dia meyakinkan seorang pemilik warung. ”Saya ceritakan semuanya ke teteh pemilik warung. Saya kasih KTP asli agar dia percaya saya tak akan macam-macam,” ujarnya.
Kini, Bustami sudah jadi karyawan. Dia diberi upah Rp 800.000 per bulan. Di luar gaji tetap, dia mendapat uang makan Rp 30.000 per hari. Kalau dikasih libur, dia ingin pergi ke lokasi wisata yang dari dulu bikin penasaran. ”Nanti, saya mau ke Monas (Monumen Nasional),” katanya mantap.