Pada masa kini, pengelola kawasan urban didorong menggunakan mahadata serta data waktu nyata (”real time”) untuk membuat kebijakan serta sistem pengelolaan wilayah yang berkesinambungan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Kota cerdas tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengumpulkan data pada saat itu juga, tetapi juga menyimpan dan mengolah data secara periodik untuk memetakan kemajuan serta kebutuhan pembenahan pengelolaan segala aspek kehidupan di Ibu Kota. Dalam hal ini, Jakarta telah menunjukkan langkah menuju ke sana meskipun masih banyak hal yang perlu diperbaiki.
Pokok pembicaraan itu mengemuka dalam konferensi global Smart Change yang diadakan secara virtual pada hari Rabu (16/12/2020). Kegiatan ini merupakan kerja sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Pemerintah Negara Bagian Berlin, Jerman, melalui divisi kota cerdas. Pembahasan dalam konferensi ialah mencari solusi sekaligus saling belajar dari cara kota-kota seperti Jakarta, Berlin, Rotterdam (Belanda), dan Bangkok (Thailand) menggunakan mahadata serta data waktu nyata (real time) untuk membuat kebijakan serta sistem pengelolaan wilayah yang berkesinambungan.
”Jakarta sebetulnya sudah lumayan memakai data real time, seperti transportasi, lalu lintas, dan ketinggian air untuk peringatan dini banjir yang bisa diakses lewat fitur Jakarta Smart City (JSC). Data real time ini mendukung keputusan-keputusan kecil pengelolaan harian Jakarta,” kata Direktur Riset Katadata Mulya Amri.
Jakarta sebetulnya sudah lumayan memakai data real time, seperti transportasi, lalu lintas, dan ketinggian air untuk peringatan dini banjir yang bisa diakses lewat fitur Jakarta Smart City (JSC).
Menurut dia, hal yang perlu ditingkatkan ialah penggunaan data periodik untuk meningkatkan kinerja jangka panjang. Kerap terjadi data harian dibuang setelah data baru diterima. Padahal, semestinya data tersebut dikumpulkan sehingga bisa dibuat kajian periodik per bulan, kuartal, semester, dan tahunan. Hal ini memungkinkan pola dinamika di setiap aspek terlihat sehingga bisa terbaca celah-celah yang harus diperbaiki.
Pendapat serupa dikemukakan peneliti Masyarakat Transportasi Indonesia untuk Jakarta, Aditya Luhut Sibarani. Jakarta sudah memiliki data pergerakan moda transportasi, volume penumpang harian, dan volume kendaraan per jalanan. Pemanfaatannya, antara lain, membantu masyarakat memilih rute bebas macet, memanggil taksi atau ojek daring, dan tilang elektronik. Namun, harus ada implementasi yang lebih luas berupa kebijakan dan penegakan aturan di lapangan yang berlaku untuk jangka panjang.
Kepala Seksi Pengelolaan Lalu Lintas Dinas Perhubungan Jakarta Irania Handalia menanggapi komentar tersebut dengan menerangkan bahwa data volume kendaraan di 25 jalan utama dan 18 jalan arteri dipakai untuk melihat keefektifan kebijakan ganjil genap. Selain itu, juga ada data jumlah penumpang transportasi publik untuk melihat minat masyarakat meninggalkan pemakaian kendaraan pribadi.
Demikian pula dengan Moh Insaf, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jakarta. Ia menunjukkan data real time sudah dipakai untuk memantau pintu-pintu air. Setiap level ketinggian air tersambung otomatis dengan berbagai media sosial, seperti Whatsapp, Twitter, Facebook, dan laman resmi BPBD.
Apabila ketinggian air mencapai level darurat, warga di wilayah yang rawan banjir akan mendapat pesan pendek (SMS) otomatis sebagai peringatan. Ada 124 kelurahan yang terletak di tujuh daerah aliran sungai yang warganya terdaftar memperoleh SMS tersebut.
Dalam kesempatan berbagi ilmu, penasihat Senior Kota Rotterdam untuk Banjir dan Pengelolaan Kota, Vera Konings, menjelaskan pentingnya basis data terpadu untuk pencegahan dan penanggulangan banjir. Rotterdam merupakan kota hasil reklamasi yang ketinggiannya di bawah permukaan laut. Air laut dicegah masuk oleh tanggul di sepanjang pesisir dan air hujan harus segera diserap atau dialirkan agar kota itu tidak tergenang.
Pemerintah kota, perguruan tinggi, sektor swasta, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perkotaan ataupun lingkungan mengumpulkan data sendiri-sendiri dengan berbagai metode. Setiap hari, data itu disalurkan ke satu pusat data terpadu agar diolah dan saling melengkapi. Dalam waktu beberapa jam, data itu diterbitkan di laman pusat data terpadu yang bebas diakses masyarakat sehingga tidak ada kebingungan mengenai perbedaan data dari berbagai sumber.
Sementara itu, Philippe Crist, penasihat Inovasi dan Perencanaan Forum Transportasi Internasional yang merupakan bagian dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memaparkan pengepulan mahadata tetap harus disilangkan dengan kondisi fisik wilayah serta masyarakatnya. Contohnya data mengenai kenaikan jumlah penumpang angkutan umum tidak bisa menjadi satu-satunya landasan perencanaan transportasi.
”Fakta sejarah seperti apakah kota tersebut memang dulu dibangun dengan pemikiran semua warga akan memakai kendaraan publik atau dibangun khusus untuk mengutamakan pejalan kaki tetap harus dipikirkan. Ada aspek sosiologis, seperti tingkat kepercayaan masyarakat untuk memakai angkutan umum, bukan sekadar karena mereka tidak mampu membeli motor atau mobil juga menjadi pertimbangan,” kata Philippe.
Adapun dari Jakarta, beberapa hal bisa dipelajari oleh negara-negara lain. Contohnya ialah keterlibatan masyarakat mengembangkan aplikasi transportasi, belanja, hingga perawatan rumah tangga. Perwakilan Negara Bagian Berlin untuk Pemerintah Federal Jerman, Sawsan Chebli, mengungkapkan, pemakaian metode pembayaran nontunai di Jakarta yang tidak berbasis kartu debit ataupun kredit, tetapi aplikasi juga menarik untuk diadaptasi di negaranya.