Hari Toilet Sedunia kemarin mengingatkan masih buruknya pengelolaan limbah rumah tangga di Ibu Kota. Menurut Bank Dunia, baru 14 persen pengelolaan limbah cair di Jakarta yang memenuhi standar.
Oleh
Fajar Ramadhan/Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Setelah dilanda kebakaran pada 11 Agustus 2020, sebagian warga di Kelurahan Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat, mulai membangun kembali rumah-rumah yang ludes dilahap si jago merah.
Namun, tidak bagi Eros (49). Warga RT 001 RW 005 Kelurahan Duri Selatan ini masih tinggal di sebuah rumah bedeng berukuran 3×4 meter persegi. Rumah darurat yang dibangun secara mandiri itu belum dilengkapi dengan kamar mandi. ”Buat tidur saja kami masih kesusahan, apalagi mikir buat toilet,” katanya saat ditemui, Kamis siang.
Eros tidak sendiri. Masih banyak lagi warga yang kini menggantungkan keperluan buang hajat di toilet darurat. Toilet darurat yang sebelumnya dibangun di dekat Jalan Duri tersebut sempat digusur karena dianggap menghalangi jalan masuk truk pengangkut material. Warga pun membangun toilet baru, tidak jauh dari lokasi awal.
”Kalau sampai digusur lagi, ntar aku lari-lari sambil telanjang. Habis mau di mana lagi mandi sama buang air kalau enggak di situ,” kata Eros.
Beda lagi kisah Siti Baetimah (53), warga RT 008 RW 004 Kelurahan Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur. Sudah puluhan tahun, ia membiasakan diri menggunakan WC darurat tepat di tengah gang perkampungannya. Gang itu dipasangi tirai. Apabila tirai tertutup, berarti toilet tengah digunakan. Apabila tirai dibuka, warga bisa melintasi gang.
”Warga di sini sudah pada tahu, kalau tirainya ketutup, berarti ada orang lagi mandi atau buang air. Makanya, kami enggak bisa berlama-lama, takutnya ada orang mau lewat. Namun, kalau anak kecil biasanya langsung nyelonong lewat saja,” ungkapnya.
Selain terdapat WC, di dalam kamar mandi Siti ada pompa air. Dari pompa itulah selama ini Siti mendapatkan air untuk memasak dan minum. Jarak antara WC dan pompa air hanya sekitar 1,5 meter. Sementara saluran WC Siti langsung mengarah ke kali yang berada sekitar 1 meter di sampingnya.
Kondisi yang dijalani eros dan Siti menggambarkan buruknya penanganan limbah rumah tangga di Ibu Kota. Akibatnya, terjadi pencemaran tanah, air tanah, dan air permukaan. Jakarta memerlukan instalasi pengolahan air limbah atau IPAL berkapasitas perkotaan dalam jumlah banyak.
”Data Bank Dunia menyebutkan bahwa 10 persen warga Jakarta masih buang air besar sembarangan, sementara 49 persen warga yang memiliki tangki septik di rumah tidak pernah menyedotnya,” kata Doddy Suparta, Koordinator Indonesian Urban Water, Sanitation, and Hygiene, Penyehatan Lingkungan untuk Semua wilayah DKI Jakarta. Organisasi ini bekerja di bawah dana Amerika Serikat, USAid.
Doddy berbicara dalam diskusi berjudul ”Dibuang ke Mana? Potret Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga di DKI Jakarta” yang diadakan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, kemarin, bertepatan dengan Hari Toliet Sedunia tiap 19 November.
Dalam pengelolaan limbah cair, kata Doddy, ada empat faktor yang harus terpenuhi keamanannya, yaitu penampungan, pengambilan lumpur atau residu di tangki septik, pengangkutan lumpur ke lokasi IPAL, dan pengolahannya.
Menurut Bank Dunia, di Ibu Kota baru 14 persen dari prosedur ini yang memenuhi standar. Beberapa wilayah, seperti Jakarta Timur, memiliki permasalahan jarak yang jauh dari IPAL ataupun saluran pembuangan. Adapun wilayah Jakarta Utara terkena dampak paling banyak karena berada di hilir sehingga dilewati pembuangan dari semua wilayah.
Doddy memaparkan, keempat aspek ini tidak bisa seluruhnya dipenuhi oleh pemerintah daerah. Harus ada campur tangan dari pusat ataupun pihak swasta, seperti berbagai perusahaan sedot tangki septik dan armada truk pengangkut ke lokasi IPAL.
”Perlu juga dipikirkan kerja sama pengelolaan IPAL antarwilayah,” katanya.
Elisabeth Tarigan dari Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta mengatakan, menurut rencana DKI akan membangun 15 zona IPAL berkapasitas perkotaan yang bisa mengolah pembuangan dari 20.000 jiwa per hari. Ia sendiri adalah penanggung jawab proyek saluran air limbah atau Jakarta Sewerage System (JSS) untuk zona 1, 2, 5, 6, dan 8.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Dinas SDA Jakarta, 64 persen warga Jakarta sudah memiliki tangki septik di tempat tinggal masing-masing. Akan tetapi, ketika ditelaah, mayoritas mengaku tidak menyedot tangki itu karena kakus mereka tidak pernah meluap ataupun mampat. Padahal, jika tangki tidak pernah disedot, menandakan limbah cair merembes ke tanah dan mencemarinya dengan berbagai bakteri, terutama Escherichia coli.
Juga masih banyak rumah yang tidak memiliki tangki septik. Alih-alih mereka mengalirkan air buangan kakus dan dapur ke selokan ataupun sungai. Oleh sebab itu, DKI tengah menyusun peraturan daerah mengenai pengelolaan dan pengolahan air limbah.
Mengurangi masalah di Jakarta, Rusli Cahyadi, peneliti Puslit Kependudukan LIPI, menjelaskan, sanitasi komunal bisa menjadi alternatif termudah bagi masyarakat miskin ataupun di permukiman padat. Pembangunannya berkolaborasi antara pemerintah dan warga lokal ataupun pihak swasta sehingga terstandar dari segi struktur fasilitas dan pengelolaannya.