Toilet Ibu Kota Minus Privasi dan Sanitasi
Privasi di toilet menjadi kemewahan bagi sebagian warga yang bermukim di perkampungan padat penduduk di Ibu Kota. Sebagian orang harus berebutan memakai toilet. Kalaupun ada toilet di rumah, kondisinya jauh dari ideal.
Di bekas lokasi kebakaran di Tambora, Jakarta Barat, satu toilet darurat digunakan bergantian oleh ratusan orang. Mereka adalah korban kebakaran yang belum sanggup membangun kembali rumah yang hancur terbakar.
Setelah dilanda kebakaran pada 11 Agustus 2020, sebagian warga di Kelurahan Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat, mulai membangun kembali rumah-rumah yang ludes dilahap si jago merah.
Namun, tidak bagi Eros (49). Warga RT 001 RW 005 Kelurahan Duri Selatan ini masih tinggal di sebuah rumah bedeng berukuran 3×4 meter persegi. Rumah darurat yang dibangun secara mandiri itu belum dilengkapi dengan kamar mandi.
”Buat tidur saja kami masih kesusahan, apalagi mikir buat toilet,” katanya saat ditemui di Jakarta, Kamis (19/11/2020) siang.
Baca juga: Akses Sanitasi Masyarakat Belum Aman
Untuk memenuhi kebutuhan mandi, buang air kecil, dan buang air besar, Eros memanfaatkan toilet darurat yang dibangun secara swadaya oleh para korban kebakaran. Toilet dibuat seadanya berdinding kayu dan terpal. Mereka juga memanfaatkan kain bekas sebagai atapnya.
Setiap hari, Eros harus rela bersaing dengan ratusan warga untuk menggunakan toilet darurat tersebut. Sebab, selain dirinya, masih banyak warga lain yang hingga kini belum sanggup membangun rumah dengan alasan yang sama, yakni ekonomi.
”Ya, kami harus berebutan. Kadang, belum selesai urusan sudah diburu-buru dari luar. Enggak bisa lagi mandi sambil joget-joget,” ungkapnya.
Kondisi toilet darurat terlihat sangat tidak layak. Terpal penutup toilet hanya setinggi 1,5 meter. Warga dari luar bisa sangat leluasa mengintip dari atas dinding terpal.
Buat tidur saja kami masih kesusahan, apalagi mikir buat toilet.
Hal ini cukup menyulitkan, terutama bagi remaja perempuan. Untuk menjaga rasa aman, para remaja putri ini biasanya ke toilet beramai-ramai. Saat satu orang masuk ke dalam toilet, remaja lainnya menjaga di luar toilet di berbagai sisi. Mereka juga hanya berani datang sebelum matahari bersinar dan sesudah matahari terbenam agar tidak mencolok.
Toilet ini juga jauh dari ideal. Saluran pembuangan toilet tersebut, misalnya, langsung mengarah ke kali yang berada tepat di sampingnya. Selain itu, apabila turun hujan, atap toilet yang terbuat dari kain dipastikan basah dan meneteskan air.
Baca juga: Toilet Umum? Ih, Jorok
Toilet darurat yang sebelumnya dibangun di dekat Jalan Duri tersebut sempat digusur karena dianggap menghalangi jalan masuk truk pengangkut material. Warga pun membangun toilet baru, tidak jauh dari lokasi awal. Namun, toilet ini kembali digusur, Eros tak segan untuk menggugat. ”Kalau sampai digusur lagi, ntar aku lari-lari sambil telanjang. Habis mau di mana lagi mandi sama buang air kalau enggak di situ,” ujarnya.
Menurut Eros, tidak semua warga yang belum memiliki rumah mau menggunakan toilet darurat tersebut. Jika ingin buang hajat atau mandi, mereka biasanya menumpang ke rumah-rumah tetangga. Mereka juga masih bisa mengakses toilet masjid yang berjarak sekitar 500 meter dari RT 001.
Agus (50), warga Tambora yang juga menjadi korban kebakaran, saat ini sudah membangun kembali rumahnya yang ludes terbakar. Ia juga sudah melengkapinya dengan kamar mandi. Hanya saja, air PDAM di rumahnya belum berfungsi sehingga ia harus mengambil air bersih dari saluran PDAM yang bocor di bekas rumah warga. ”Kalau mau mandi, ya, harus ambil air dulu ke depan. Saya sudah lapor ke petugas PDAM sejak lama, tetapi belum berfungsi juga,” ujarnya.
Lurah Duri Selatan M Ghufri Fatchani berharap warga yang sedang membangun rumah agar melengkapinya dengan kamar mandi pribadi. Saat ini, setidaknya masih ada 150 jiwa di RT 001, 002, dan 003 yang masih memanfaatkan toilet umum.
”Sementara ada beberapa titik yang belum bisa digunakan warga untuk membangun rumah karena masih digunakan untuk akses kendaraan besar yang akan membangun Pasar Pos Duri,” katanya.
Toilet di gang
Beda lagi kisah Siti Baetimah (53), warga RT 008 RW 004 Kelurahan Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur. Sudah puluhan tahun, ia harus merelakan privasinya saat di kamar mandi pribadi. Ia tak bisa berlama-lama menghabiskan waktu untuk mandi ataupun buang hajat.
Pasalnya, kamar mandi milik Siti berada tepat di tengah-tengah gang perkampungan. Gang itu dipasangi tirai. Apabila tirai tertutup, berarti toilet tengah digunakan. Apabila tirai dibuka, warga bisa melintasi gang itu. Warga sekitar sudah sangat memahami toilet tersebut, kecuali pendatang atau tamu.
”Warga di sini sudah pada tahu, kalau tirainya ketutup, berarti ada orang lagi mandi atau buang air. Makanya, kami enggak bisa berlama-lama, takutnya ada orang mau lewat. Namun, kalau anak kecil biasanya langsung nyelonong lewat saja,” ungkapnya.
Selain itu, kamar mandi Siti juga tak memiliki atap. Padahal, tepat di atas kamar mandi itu terdapat jendela dan balkon rumah tetangga. Sering kali saat sedang mandi, tetangganya juga sedang menjemur pakaian di balkon.
”Kalau saya, mah, bodo amat. Mandi, ya, mandi saja. Selain saya, tiga anak saya juga pakai kamar mandi ini. Semua anak saya perempuan,” ujarnya.
Warga di sini sudah pada tahu, kalau tirainya ketutup berarti ada orang lagi mandi atau buang air. Makanya, kami enggak bisa berlama-lama, takutnya ada orang mau lewat. Namun, kalau anak kecil biasanya langsung nyelonong lewat saja.
Jika hujan, hampir dipastikan kamar mandi tersebut akan terendam air sehingga WC tidak dapat digunakan. Ia harus menumpang ke kamar mandi tetangganya jika ingin buang hajat.
Selain terdapat WC, di dalam kamar mandi Siti juga terdapat pompa air. Dari pompa itulah selama ini Siti mendapatkan air untuk memasak dan minum. Jarak antara WC dan pompa air hanya sekitar 1,5 meter. Sementara saluran WC milik Siti langsung mengarah ke kali yang berada sekitar 1 meter di sampingnya. Selama ini, ia tidak menggunakan tangki septik.
Lain Siti, lain Suridin (60). Warga RT 009 RW 001 Kelurahan Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan, ini sebelumnya memiliki toilet di belakang rumahnya. Akan tetapi, sejak tiga tahun terakhir, toilet di rumahnya hancur disapu banjir dari Kali Ciliwung yang berada tepat di belakang rumah.
”Saya belum punya uang buat bangun toilet lagi. Sekarang pakai toilet umum gratis di pinggir kali ini,” ujar montir panggilan ini.
Kepala Seksi Pengamanan Radiasi Subdirektorat Pengamanan Limbah dan Radiasi Direktorat Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Kristin Darundiyah mengatakan, limbah domestik rumah tangga, seperti tinja, yang tidak terolah dengan baik bisa memicu pencemaran lingkungan. Jika pencemaran yang terjadi berdampak pada mutu air yang dikonsumsi, hal itu dapat menyebabkan berbagai penyakit. Misalnya diare, kolera, malnutrisi, dan hepatitis (Kompas, 19 November 2020).
Menurut dia, setiap daerah memiliki tantangan yang berbeda dalam mengatasi situasi tersebut. Kendala di perkotaan biasanya adalah keterbatasan lahan untuk pembuatan tangki septik.
”Beberapa cara bisa dilakukan, antara lain membangun penampungan limbah tinja secara komunal atau letak tangki septik berjarak 10 meter dari sumber air,” katanya.