Mayoritas Kecelakaan Lalu Lintas akibat Perilaku Manusia
Setidaknya 63 persen keluarga korban kecelakaan lalu lintas mengalami penurunan kualitas hidup akibat biaya pengobatan yang harus ditanggung atau karena kehilangan anggota keluarga yang bekerja sebagai pencari nafkah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecelakaan lalu lintas di Jakarta maupun di Indonesia secara keseluruhan masih tinggi dan memakan korban nyawa yang tidak sedikit. Faktor manusia tetap merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan dibandingkan dengan faktor teknis seperti kondisi jalan dan kendaraan serta faktor alam seperti cuaca dan keadaan lingkungan.
Hal itu mengemuka dalam peringatan Hari Kecelakaan Lalu Lintas yang diadakan Polri di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (15/11/2020). ”Tercatat untuk tahun 2020 di Indonesia sudah terjadi 83.715 lakalantas (kecelakaan lalu lintas) dengan jumlah korban tewas 19.320 jiwa,” kata Kepala Subdirektorat Pendidikan Masyarakat Korps Lalu Lintas Polri Komisaris Besar Arman Achdiat.
Ia menerangkan, data sementara itu diduga berkurang jumlahnya karena pandemi Covid-19. Banyak wilayah menerapkan pembatasan sosial, baik berskala besar, kecil, maupun lokal, sehingga pergerakan penduduk berkurang.
Khusus wilayah DKI Jakarta, Kepala Subdirektorat Penegakan Hukum Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Fahri Siregar mengatakan masih menyiapkan perkembangan data tahun 2020. Akan tetapi, angka kecelakaan lalu lintas di Ibu Kota dapat dikategorikan tinggi.
Pada tahun 2019 Polda Metro Jaya mencatat ada 7.992 peristiwa kecelakaan lalu lintas dengan 509 jiwa tewas, 1.390 korban luka berat, dan 7.508 orang luka ringan. Sementara itu, pada tahun 2018 terjadi 5.903 kecelakaan lalu lintas dengan 568 jiwa tewas, 867 orang luka berat, dan 5.724 luka ringan.
Berdasarkan kajian Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Polri tahun 2018, setidaknya 63 persen keluarga korban kecelakaan lalu lintas mengalami penurunan kualitas hidup akibat biaya pengobatan yang harus ditanggung atau karena kehilangan anggota keluarga yang bekerja sebagai pencari nafkah. Terdapat pula biaya ekstra yang harus dikeluarkan karena penyintas kecelakaan lalu lintas dipaksa menjadi penyandang disabilitas.
Dalam acara itu turut hadir perwakilan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia wilayah DKI Jakarta, Leindert Hermeinadi. Ia mengungkapkan, 10 persen anggota organisasi perlindungan hak dan pemberdayaan disabilitas ini adalah penyintas kecelakaan lalu lintas. Mereka terpaksa menggunakan kursi roda, tongkat, ataupun prostetik lainnya karena kehilangan fungsi anggota tubuh tertentu.
Ketua Road Safety Association (RSA) Indonesia Ivan Firnanda mengatakan, mayoritas kecelakaan lalu lintas akibat faktor manusia. Bisa berupa lengah, mengantuk, kelelahan, ataupun perilaku ugal-ugalan dalam berkendara. Kecelakaan sepeda motor mendominasi karena kendaraan bermotor ini paling banyak ditemui di jalan.
”Keamanan lalu lintas ditentukan oleh tiga faktor, yaitu peraturan, keterampilan mengemudi, dan sikap. Jangan menganggap kalau diri kita jago mengebut tidak akan celaka,” ujarnya. RSA Indonesia adalah lembaga swadaya masyarakat yang mengkaji keamanan lalu lintas.
Menurut Ivan, sejak dari hulu aturan sudah harus ada pengetatan terkait keterampilan berkendara. Dalam hal ini memastikan ujian keterampilan dalam pembuatan surat izin mengemudi benar-benar dilaksanakan. Jangan sampai orang yang tidak terampil atau memiliki sikap ugal-ugalan mudah memperoleh SIM.
RSA Indonesia juga mengemukakan gagasan agar kurikulum lalu lintas masuk ke dalam pendidikan di sekolah. Salah satu masalah pelanggaran ketertiban lalu lintas ialah orangtua mengizinkan anak-anak membawa kendaraan bermotor tanpa pengawasan walaupun anak itu belum cukup umur. Pemakaian sepeda motor dibandingkan dengan sepeda dianggap bisa membuat anak tidak terlambat tiba di sekolah.
Sekolah-sekolah umumnya memiliki aturan siswa yang belum memiliki SIM dilarang membawa kendaraan. Akan tetapi, aturan ini bercelah karena siswa menitipkan kendaraan mereka ke tempat-tempat parkir di sekitar sekolah.
”Perilaku tidak memakai helm dan mengemudikan kendaraan, terutama sepeda motor, melawan arah lalu lintas dengan alasan hanya hendak bepergian ke lokasi yang dekat dari rumah juga jamak ditemui. Padahal, risiko kecelakaannya tinggi sekali,” kata Ivan.
Sinergi
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, keamanan lalu lintas harus merupakan sinergi semua pihak. Ketertiban para pejalan kaki berjalan di trotoar dan menyeberang di jembatan atau zebra cross, pemotor yang tidak naik ke trotoar ketika jalanan macet, dan pemastian selalu berhati-hati meskipun jalanan sepi adalah keniscayaan.
”Kalau dari segi sarana dan prasarana semrawut, setiap pemakai jalan tidak akan bisa berada di tempat masing-masing,” ucapnya.
Ia mencontohkan trotoar yang telah direvitalisasi, tetapi diokupasi pedagang kaki lima, bahkan pengemudi ojek yang memarkir sepeda motor di atasnya. Akibatnya, pejalan kaki terpaksa turun ke badan jalan dan berisiko terserempet kendaraan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengekstrapolasi data Korlantas Polri dan memperoleh angka bahwa pada periode 2018-2019 di Indonesia setiap hari 14 pejalan kaki tewas akibat kecelakaan lalu lintas. Pada periode sebelumnya, 18 pejalan kaki tewas secara harian.