”Eco-Driving” Diprioritaskan untuk Pengemudi Angkutan Umum
Sejak diluncurkan pada 2015, ”eco-driving” belum bisa diterapkan untuk semua pengemudi. Dari sasaran awal pengemudi kendaraan pribadi, kini menyasar pengemudi angkutan umum karena lebih ada dukungan dari sisi regulasi.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak 2015, sejumlah pihak yang peduli pada keselamatan dan cara mengemudi yang ekonomis mulai meluncurkan kampanye eco-driving atau teknik mengemudi cerdas, waspada, dan ekonomis. Namun, kampanye yang awalnya ditujukan kepada pemilik kendaraan pribadi, baik mobil ataupun sepeda motor, akhirnya beralih pengemudi kendaraan angkutan umum karena lebih mendapat dukungan.
Ahmad Safrudin dari Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB) yang menjadi pembicara dalam webinar yang bertema ”Eco-Driving in Indonesia”, Kamis (12/11/2020), menjelaskan, kampanye eco-driving di Indonesia sudah digalakkan sejak 2015. Namun, sejauh KPBB mengevaluasi, eco-driving dalam lima tahun ini masih sebatas mengajak masyarakat mengemudi secara cerdas, waspada, dan ekonomis.
Cerdas, karena mengemudi dengan teknik yang baik sesuai karakteristik kendaraan sehingga tidak merusak mesin kendaraan, mengemudi secara mulus sehingga suku cadang kendaraan awet, dan menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) serta aman dan nyaman bagi penumpang dan pengguna jalan yang lain. Esensi penurunan konsumsi BBM adalah penurunan emisi pencemaran udara.
Mengemudi secara waspada akan meningkatkan keamanan dan keselamatan. Sementara mengemudi secara ekonomis dipahami sebagai muara dari mengemudi cerdas dan waspada adalah efisiensi BBM, efisiensi spare part, serta menekan biaya medis akibat dampak kesehatan dari emisi pencemaran udara.
Kampanye eco-driving, ujar Ahmad, awalnya target utamanya adalah pengemudi kendaraan pribadi, baik mobil maupun motor, yang tidak tersentuh oleh ketentuan persyaratan kompetensi mengemudi sebagaimana pengemudi angkutan umum dan barang.
”Kalau pengemudi angkutan umum dan barang sudah diatur, harus memiliki kompetensi mengemudi yang lebih kurang jika dijalankan secara benar sudah mengarah ke praktik eco-driving,” katanya.
Namun, karena sulitnya menjangkau pengemudi kendaraan pribadi mobil ataupun motor, lanjut Ahmad, program akhirnya diarahkan ke pengemudi angkutan umum. ”Kendala ada di Korlantas karena belum menganggap hal ini penting dalam menekan angka kecelakaan, meningkatkan kenyamanan di jalan, dan menekan emisi serta meningkatkan efisiensi BBM,” kata Ahmad.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo yang membuka webinar menyatakan, pelaksanaan eco-driving di Jakarta diarahkan kepada para pengemudi angkutan umum yang tergabung dalam sistem Jaklingko. Artinya, diarahkan kepada para pengemudi bus kecil, bus sedang, dan bus besar yang tergabung dalam sistem bus rapid transit (BRT).
Sesuai Pasal 92 Ayat 2 Huruf 0 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi, kata Syafrin, sudah diatur bahwa setiap pengemudi wajib memiliki sertifikat mengemudi kendaraan bermotor umum yang diterbitkan oleh asosiasi profesi pengemudi. Sertifikat merupakan pengakuan dari sebuah lembaga kepada keahlian atau professional seorang pengemudi dan menjadi jaminan keamanan dan kenyamanan bagi para penumpang.
Dalam layanan angkutan umum di Jakarta, setiap pengemudi mesti memiliki sertifikat pengemudi angkutan umum (SPAU). SPAU, kata Syafrin, merupakan program Pemprov DKI Jakarta dalam rangka mewujudkan konsep transportasi angkutan umum yang terintegrasi dalam program Jaklingko.
Dengan SPAU, lanjut Syafrin, akan meningkatkan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan bagi para penumpang. Layanan angkutan umum akan makin digemari karena keprofesionalan para pengemudi dan meningkatkan kepercayaan pengguna terhadap angkutan umum.
SPAU, jelas Syafrin, sudah mulai digelar sejak 2018 melalui diklat sertifikasi pengemudi. Dari 2018 sampai dengan 2022, target pengemudi angkutan umum yang bisa mengikuti diklat sertifikasi ada 6.620 orang. Realisasi pada 2018-2020 sebanyak 3.351 pengemudi angkutan umum yang mengikuti diklat dan tersertifikasi.
”Pada 2020 karena pandemi Covid-19, realisasi di 2020 terkoreksi hanya sampai 601 pengemudi,” kata Syafrin.
Ahmad menambahkan, di luar itu, pelaksanaan eco driving juga masih sangat terbatas. Dalam setahun hanya 2-3 kali dengan peserta, dengan jumlah 30 hingga 100 orang peserta untuk sekali pelatihan.
”Jadi, masih jauh dari harapan untuk secara cepat menerapkan eco-driving secara menyeluruh di Jabodetabek, apalagi nasional. Korlantas Polri juga masih enggan membahas secara serius dan mengadopsinya ke dalam regulasi lalu lintas. Padahal, ide berikut naskah akademis sudah disampaikan ke Kakorlantas pada 2017,” kata Ahmad.
Yang jelas, lanjut Ahmad, selama UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang angkutan jalan raya belum direvisi dan diubah, maka eco-driving tidak akan diterapkan sebagai kewajiban oleh masyarakat. Revisi itu salah satunya terkait ketentuan bahwa pengemudi, baik pengemudi angkutan umum, angkutan barang, maupun pribadi, harus memiliki kompetensi,
”Dampaknya seperti yang kita lihat dengan tingginya angka kecelakaan, pemborosan BBM, pencemaran udara, dan kemacetan lalu lintas,” tambah Ahmad.