Pansus Banjir: DKI Jakarta Baru Serius Tangani Banjir Tahun Depan
Melihat postur anggaran dinas SDA pada pembahasan rancangan APBD 2021, terlihat ada program pembangunan infrastruktur banjir.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Khusus Banjir DPRD DKI Jakarta menilai Pemprov DKI Jakarta baru mulai serius membangun infrastruktur banjir pada 2021. Saat ini, DPRD DKI Jakarta tengah melakukan pembahasan rancangan APBD 2021.
Zita Anjani, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Banjir DPRD DKI Jakarta, melalui keterangan tertulis, Rabu (11/11/2020), menjelaskan, pada postur anggaran banjir ada upaya mengalokasikan anggaran bagi pembangunan infrastruktur banjir. Dari lampiran rancangan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2021, pembangunan infrastruktur pengendali banjir yang disusun, di antaranya pembangunan tanggul besar (seawall) dan bangunan pengaman pantai, pembangunan embung dan penampung air lainnya, pembangunan polder atau kolam retensi, dan normalisasi atau restorasi sungai.
”Jika melihat postur anggaran banjir 2021, intinya Pemprov baru mulai kerja serius itu tahun depan. Itu bisa dilihat dari postur anggaran untuk banjir mayoritas untuk pembangunan infrastruktur banjir. Karena mungkin juga Pemprov akhirnya sadar dan belajar dari banjir 2020 awal tahun,” tutur Zita.
Dengan pembangunan infrastruktur pengendali banjir baru tahun depan, lanjut Zita, artinya dampak pengurangan banjir baru bisa dirasakan paling tidak 2-3 tahun lagi. ”Itu paling cepat. Hal itu harus disampaikan secara terbuka kepada warga. Jadi, ketika nanti hujan, warga bisa mengantisipasi,” katanya.
Terkait pembangunan infrastruktur pengendali banjir itu, seperti yang dipaparkan Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) DKI Jakarta Juaini Yusuf, tahun ini melalui dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), dinas SDA mendapatkan alokasi Rp 1,1 triliun. Dana sebesar itu akan dipakai untuk membangun waduk, embung, situ, serta pembebasan lahan di lima kali yang akan ditingkatkan kapasitas tampung airnya melalui normalisasi atau restorasi.
Dengan adanya alokasi dan sejumlah kegiatan, Pansus Banjir DPRD tetap meminta Dinas SDA fokus pada cara meningkatkan kapasitas tampung sungai-sungai. Saat ini, kapasitas sungai eksisting 950 meter kubik per detik. Adapun rata-rata banjir tahunan, debit airnya 2.100-2.650 meter kubik per detik. Bahkan, pada awal 2020, debit banjir mencapai 3.389 meter kubik per detik. ”Jadi, fokus di situ,” ujar Zita.
Selain itu, Pansus Banjir DPRD DKI juga meminta Pemprov DKI menangani banjir secara menyeluruh. Pembangunan infrastruktur pengendali banjir juga diimbangi dengan peningkatan lahan hijau dan serapan. Saat ini, luasan ruang terbuka hijau atau RTH di DKI Jakarta hanya 9,98 persen. ”Padahal, yang dibutuhkan menyerap air di Ibu Kota adalah luasan RTH yang mencapai 30 persen,” ucap Zita.
Pansus juga mengkritisi rencana Pemprov DKI Jakarta membangun sumur resapan hingga 1,8 juta titik. ”Nyatanya yang sudah dibangun baru 1.772 titik. Hal itu mustahil untuk menghilangkan genangan dalam 6 jam,” katanya.
Secara terpisah, Nirwono Joga, peneliti pada Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, mengingatkan, untuk Jakarta, pembangunan sumur resapan tidak bisa dilakukan mulai dari wilayah pusat hingga utara Jakarta. Itu karena di Jakarta, mulai dari Monas sampai ke Jakarta Utara, terjadi penurunan muka air tanah.
Kalau dari SDA ada program sumur vertikal itu tidak akan maksimal di daerah yang ada di bawah muka air laut. ”Karena 40 persen wilayah DKI dari pusat ke utara itu semakin turun, ada di bawah permukaan air laut. Artinya, daerah situ tidak mungkin dibuat sumur vertikal. Drainase vertikal tidak mungkin. Dua meter dikeruk saja airnya sudah keluar. Air laut,” tuturnya.
Ia juga menyarankan, di wilayah utara Jakarta ditambah lagi pembangunan waduk atau kolam penampungan. Itu akan berguna manakala air laut pasang, sementara di tengah kota terjadi hujan deras, serta ada kiriman air banjir dari puncak.
Air di sungai tidak mungkin dipompa ke laut, bahkan bisa jadi pompa air tidak bekerja dan air justru akan berbalik karena rob. Dengan membangun lebih banyak waduk atau kolam penampungan di utara Jakarta, air-air dari kali bisa dialirkan ke waduk untuk ditampung sementara sebelum dialirkan ke laut atau digunakan.
Nirwono menambahkan, selain Dinas SDA DKI, ia mencermati Kementerian PUPR melalui Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) seharusnya juga tetap menunjukkan komitmennya dengan melakukan perawatan dan pemeliharaan atas situ-situ atau embung yang menjadi wewenang BBWSCC. Selama normalisasi kali belum berjalan karena terkendala pembebasan lahan, menurut Nirwono, BBWSCC bisa melakukan perawatan dan pemeliharaan situ yang menjadi wewenang BBWSCC.
”Kalau waduk atau embung di utara Jakarta fungsinya menampung untuk kemudian diolah atau digunakan, situ atau embung yang ada di selatan dan timur Jakarta fungsinya untuk resapan secara alami. Jadi, dia tampung airnya, dibiarkan meresap ke dalam tanah pelan-pelan. Maka, perbedaan fungsi lebih ke situ. Dengan begitu, pemerintah pusat juga ikut melakukan perawatan situ untuk pengendalian banjir,” paparnya.
Zita menambahkan, rekomendasi penanganan banjir DKI secara lengkap tengah disusun dan ditargetkan selesai pada November 2020.