Membangun Hubungan yang Sehat Dimulai dari Kesadaran Bersama
Pacaran sudah menjadi salah satu bagian dalam pencarian jati diri kawula muda. Dalam prosesnya ada hak dan kewajiban antara dua insan supaya tidak terjebak dalam hubungan kurang sehat ataupun kekerasan dalam pacaran.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian kawula muda sepakat ingin menjauhkan diri dari toxic relationship atau hubungan tidak sehat maupun kekerasan dalam pacaran. Caranya, mereka membangun kesadaran mengenai hak dan kewajiban selama dalam pertautan asmara.
Bagaimana mempunyai relasi yang sehat dan merdeka menjadi topik perbincangan kawula muda dalam Get Up, Speak Out for Youth Rights Rutgers WPF Indonesia, Kamis (22/10/2020).
Dadang Mas Bakar, perwakilan Dokter Gen-Z Generasi Berencana Indonesia Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, mengutip teori perkembangan psikososial Erik H Erikson dan teori segitiga cinta Robert J Sternberg untuk menjelaskannya. Teori perkembangan psikososial berdasarkan bagan urutan tahap perkembangan ego dalam psikososial atau delapan tahap perkembangan manusia.
Salah satu tahap dalam bagan perkembangan manusia ialah Identity vs Role Confusion (identitas versus kekacauan identitas) pada usia 12-18 tahun. Dalam tahap ini, anak memasuki usia remaja atau peralihan antara anak dan dewasa sehingga mulai mencari jati diri. Dalam prosesnya, remaja rawan untuk melakukan hal negatif sehingga butuh bimbingan dan arahan dari orangtua ataupun guru. ”Ada gejolak hormon dan perubahaan emosional untuk mencari jati diri. Salah satunya punya hubungan dengan lawan jenis, relasi, dan diakui,” ucap Dadang.
Selanjutnya, teori segitiga cinta. Robert J Sternberg membagi tiga kompenen dalam teorinya, yakni intimacy, passion, dan komitmen. Intimacy berkaitan dengan emosional, seperti kedekatan diri yang mengarah pada hubungan, kehangatan, dan kepercayaan.
Passion berhubungan dengan komponen motivasional pada dorongan dari dalam diri yang berhubungan dengan hasrat fisik atau seksual. Sementara komitmen merujuk komponen pola pikir, meliputi keputusan untuk mencintai dan tetap bersama dengan orang yang dicintai. Tingkatan ketiga komponen itu bergantung pada persepsi setiap individu terhadap cinta.
Menurut Dadang, ketiga komponen itulah yang membentuk cinta seutuhnya. Jika hanya ada dua atau salah satu komponen, cinta masih setengah-setengah seperti halnya remaja dengan cinta romantis atau cinta monyet.
Cinta romantis atau cinta monyet ini tidak jarang berujung kekerasan dalam pacaran. Padahal, kekerasan tidak sama dengan cinta, justru berdampak pada psikologis. Contohnya, larangan atau membatasi ruang gerak salah satu untuk bergaul, bersosialisasi, dan berorganisasi. Sebab, ada anggapan ketika suka seseorang maka bebas melakukan apa saja.
”Dampaknya, 88 persen ke psikologis dan fisik. Timbul curiga, tidak percaya, tidak nyaman, dan tidak percaya diri. Jangan sampai kena kekerasan. Ada hak untuk katakan tidak,” katanya.
Lantas bagaimana cara membangun hubungan sehat dan merdeka supaya tidak terjebak hubungan tidak sehat dan kekerasan seksual? Bagi Neira Budiono, pendiri Tabu.id, ruang belajar kesehatan seksual dan reproduksi dalam bentuk infografis di Instagram, ketahui hak dan kewajiban dalam hubungan.
Setara
Dalam hubungan ada hak dan kewajiban supaya relasi sehat dan merdeka. Setiap orang punya hak dan kewajibannya masing-masing. Neira menyebutkan ada hak diperlakukan dengan hormat sebagai pasangan yang setara, dihargai kesejahteraan dan kebutuhannya. Bagi pasangan yang setara, tidak ada satu pihak yang punya kontrol atau berlebihan.
Kemudian komunikasikan nilai, pendapat, dan perasaan secara jujur karena setiap orang perlu didengar. Pada dasarnya setiap orang punya prinsip dan nilai yang berbeda sehingga tidak bisa disamakan. ”Ada batasan, privasi, dan lingkaran pertemanan tanpa pasangan. Penting supaya tetap jadi diri sendiri,” ujar Neira.
Sementara itu, kewajiban setiap orang ialah tidak melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun baik secara fisik, emosional, dan seksual. Saling mendengar dan menghormati keputusam secara setara. ”Komunikasikan dengan jujur dan jelas. Jangan suka asumsi karena pasangan bukan cenayang yang tahu segalanya,” ucapnya.
Membangun kesadaran tentang hak dan kewajiban harus dimiliki keduanya secara seimbang. Tanpa keseimbangan, niscaya mustahil hubungan sehat dan merdeka bakal terwujud.
Pembawa pengaruh atau yang biasa disebut influencer, Felo Felicia, menambahkan, kurangnya komunikasi, tidak jujur, dan egois jadi pemicu hubungan tidak sehat dan kekerasan. ”Ada kadar ego. Ukur dan setarakan supaya seimbang,” ujarnya.