Patah hati bisa menyebabkan banyak penyakit. Lalu, kenapa kita tidak mencari kesibukan lain untuk melupakan sakit hati dan terus ”move on”?
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Percaya atau tidak, patah hati dapat menyebabkan sakit fisik. Patah hati yang berkepanjangan dapat menyebabkan stres yang berujung pada penyakit dalam berbagai bentuk atau yang disebut sebagai sindrom patah hati.
Penderita dapat merasakan satu atau beberapa gejala, seperti nyeri dada, penurunan sistem imun, atau gangguan sistem pencernaan. Bahkan, emosi penderita juga akan lebih sensitif dan reaktif.
”Sepuluh tahun lalu, aku punya pengalaman patah hati karena cowok yang aku taksir mengatakan kami sebaiknya berteman saja, padahal pendekatan sampai dua tahun. Aku nangis. Aku sampai kena heartburn dan pergi ke dokter,” kata aktris dan presenter Shafira Umm.
Shafira membagikan pengalamannya dalam bedah buku How to Fix a Broken Heart karya Guy Winch sebagai bagian dari diskusi bertajuk ”Going Through Heartbreak” di Jakarta, Sabtu (22/2/2020). Turut hadir influencer Indonesia, Daffa Wardhana, dan psikolog dari Personal Growth, Ratih Ibrahim.
Menurut Shafira, kesalahannya dalam menanggapi sikap patah hati adalah dirinya terus memupuk rasa sakit akibat patah hati. Dia menyalahkan diri sendiri atas situasi itu dan menganggap kenangannya bersama orang tersebut sebagai zona nyaman.
Sebagai akibat, Shafira membutuhkan waktu cukup lama untuk bisa menerima kenyataan tersebut. Shafira baru mengetahui dirinya tidak lagi berharap pada orang tersebut pada tahun kelima dan mulai melupakannya pada tahun keenam setelah kejadian.
Daffa juga memiliki pengalaman putus selagi berkuliah di Australia. Perbedaan waktu dan jauhnya jarak antara Indonesia dan Australia membuat dia dan mantannya sulit berkomunikasi.
”Waktu itu saya juga patah hati karena kami putus bukan karena kesalahan fatal, tetapi situasi yang tidak mendukung. Akhirnya, kami berdua berdiskusi mengenai arah hubungan yang mulai toxic. Kami sepakat untuk berpisah dan menjalani kesibukan sendiri-sendiri,” ujar Daffa.
Terkadang, lanjut Daffa, dia masih mengingat mantan kekasihnya itu. Namun, Daffa berusaha tegar menerima kenyataan dan menganggap putus hubungan sebagai bagian dari dinamika hidup.
Memulihkan diri
Ratih mengatakan, masalah patah hati sebenarnya tidak hanya terbatas pada hubungan pacar atau suami istri. Kesedihan karena kehilangan hewan peliharaan, misalnya, juga dapat menyebabkan patah hati.
”Cara kerja otak individu yang mengalami patah hati mirip dengan orang yang sedang berusaha melepaskan adiksinya terhadap suatu zat. Ada keinginan kuat bagi individu itu untuk merasakan kembali kehadiran mantan. Makanya ada yang, misalnya, stalking mantan di media sosial,” tutur Ratih.
Ketika jatuh cinta, Ratih melanjutkan, individu tersebut merasakan kebahagiaan dari adrenalin dan endorfin. Putus hubungan membuat individu tersebut merasakan ”sakau” alias keinginan untuk merasakan kebahagiaan itu kembali.
Keinginan itu sulit diabaikan sehingga membuat mereka terganggu secara kognitif, emosi, dan fisik. Lalu, bagaimana sebaiknya orang mengelola patah hati dengan positif?
”Dalam buku How to Fix a Broken Heart, ada lima cara yang bisa dilakukan untuk memulihkan diri dan beranjak dari patah hati. Mereka adalah menyayangi diri sendiri, menyadari dan mengisi kekosongan, menerapkan mindfulness, serta menemukan kembali diri sendiri sebagai individu,” katanya.
Untuk cara menyayangi diri sendiri, misalnya, individu yang sedang patah hati perlu meninggalkan kebiasaan menyalahkan diri sendiri. Individu ini perlu membuat kebiasaan mental baru, yaitu dengan memberi pendapat terhadap emosi dan kekurangannya tanpa menghakimi.
”Penyembuhan itu dimulai dari pikiran, tinggalkan kebiasaan untuk menyalahkan diri sendiri. Waktu saja tidak bisa memulihkan patah hati. Yang diperlukan adalah dorongan dan keteguhan dalam diri untuk memutuskan kapan kesedihan akan berakhir sehingga kita bisa menjalani hidup dengan lebih baik,” ujar Ratih.
Implementasi penyembuhan
Shafira menceritakan, ketika mengetahui tidak dapat bersama dengan orang yang disukai, dirinya sempat merasa shock. Namun, dia akhirnya memaafkan dirinya sendiri karena salah membaca sinyal kedekatan mereka.
”Saya ada fase menyalahkan diri sendiri, apa karena saya kurang sabar. Tetapi, saya akhirnya mengevaluasi diri dan menerima situasi bahwa dia memilih orang lain. Saya juga mulai main ke komunitas lain karena selama ini terlalu bergantung ke orang itu, ganti kesibukan,” ujarnya.
Akhirnya, lanjut Shafira, dirinya justru bersyukur karena pengalaman menyakitkan itu membuat dia menjadi pribadi yang lebih baik. Kini, Shafira telah mampu berkomunikasi dengan orang itu secara profesional tanpa merasa sakit hati.
Sementara Daffa memilih untuk menambah kesibukan untuk melupakan kekosongan akibat putus. Dia pun memperbanyak olahraga basket dan mencoba seni bela diri jiu-jitsu dari Brasil.
”Saya coba isi waktu sebanyak mungkin dengan banyak aktivitas, jadi tidak kepikiran lagi. Jadi, isilah waktu dengan aktivitas dan teman karena bisa ketemu passion baru,” tutur Daffa.