Tiga Pelajar SMK Tersangka Provokasi Daring Peserta Demo Rusuh Tolak RUU Ciptaker
Polisi menjamin proses hukum disesuaikan dengan status mereka sebagai anak berhadapan dengan hukum. Salah satu contohnya, ruang pemeriksaan bagi mereka tidak sama dengan ruang untuk orang dewasa.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Metro Jaya menetapkan tiga pelajar sekolah menengah kejuruan sebagai tersangka provokasi daring untuk menggerakkan kerusuhan dalam demo anti-Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Ketiganya, MI (16), WH (16), dan SN (17), menghadapi ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono menjelaskan, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya mengungkap perbuatan mereka setelah memburu auktor yang menggerakkan perusuh dalam demo di Jakarta tanggal 8 Oktober.
Rata-rata mereka yang ditangkap ikut aksi karena ajakan melalui media sosial atau aplikasi percakapan. ”Kami menetapkan tiga tersangka yang membuat akun Facebook, yaitu MI, WH, dan satu lagi yang masih kami kejar. Kedua, di akun Instagram, yakni SN,” ucap Argo dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa (20/10/2020).
MI dan WH mengelola atau menjadi admin grup Facebook bernama STM Sejabodetabek. Grup ini beranggotakan 21.200-an akun. Mereka menaikkan sejumlah unggahan di grup tersebut yang mendorong para pelajar SMK ikut demo pada 8 dan 13 Oktober di Istana Merdeka dan Kompleks Parlemen, Senayan. Unggahan menyerukan demo harus rusuh. Seperti diketahui, demo 8 dan 13 Oktober memang berujung ricuh.
Bahkan, ada ajakan untuk merusuhkan demo menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, Selasa (20/10/2020) ini. ”Dia aparat keamanan negara malah pakai senjata buat lukain kita. Besok tanggal 20, jangan diam aja. Bawa batu yang tajam,” ujar Argo mencontohkan salah satu unggahan provokatif.
Di grup Facebook itu, tautan menuju sebuah grup percakapan Whatsapp dipasang. Mereka yang berminat ikut demo didorong untuk mengklik tautan dan masuk ke grup Whatsapp tersebut. Argo mengatakan, terdapat arahan-arahan rinci bagi calon peserta demo di sana, antara lain untuk membawa masker, helm, payung, seragam sekolah, baju ganti, petasan, bom molotov, senter, serta ban bekas.
Namun, grup Whatsapp itu sudah dihapus. Ditreskrimum meminta bantuan Pusat Laboratorium Forensik Polri guna melacak grup ini sehingga nantinya bisa mengetahui nama-nama yang terlibat di dalamnya.
Sementara itu, SN mengelola akun Instagram bernama @panjang.umur.perlawanan. Dalam pantauan Selasa pukul 16.00, @panjang.umur.perlawanan tercatat diikuti 11.800-an akun.
Argo menyebutkan, SN mengunggah ulang foto dan video kerusuhan yang diduga bertujuan membuat warganet mau ikut turun ke jalan dan tidak segan menyerang petugas atau merusak fasilitas umum. Salah satu unggahannya adalah gabungan video kericuhan yang disertai pelemparan molotov ke mobil petugas. Kericuhan kemungkinan terjadi di luar negeri. Pada teks unggahan, ia mengajak audiens menyalakan api perlawanan. ”Ini bukan soal omnibus law, tetapi negara sudah tidak peduli lagi kepada nasib kita.”
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus menyampaikan, MI ditangkap di Klender, Jakarta Timur, sedangkan WH di daerah Cipinang, Jakarta Timur. Adapun SN dibekuk di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Mereka ditahan di Polda Metro Jaya. ”Penyidik masih terus mendalami keterangan para tersangka dan menggali kemungkinan adanya tersangka lain,” ujar Yusri.
MI, WH, dan SN dijerat dengan Pasal 28 Ayat (2) juncto Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 14 dan 15 UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, serta Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal itu membuat mereka terancam dipenjara maksimal 10 tahun.
Namun, Argo menjamin proses hukum disesuaikan dengan status mereka sebagai anak berhadapan dengan hukum (ABH). Salah satu contohnya, ruang pemeriksaan bagi mereka tidak sama dengan ruang bagi orang dewasa.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menuturkan, pihaknya mendorong agar penahanan menjadi pilihan terakhir bagi anak-anak dalam pengamanan petugas dan atau yang dilanjutkan proses hukumnya. Selain itu, penanganan ABH di semua unit kepolisian yang ditugaskan menangani demo harus sesuai UU No 35/2014 juncto UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak serta UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
”Upaya diversi menjadi prioritas jika harus diproses secara hukum dengan memastikan berkoordinasi dengan bapas (balai pemasyarakatan), LPKS (lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial), dan peksos (pekerja sosial) untuk sarana yang lebih memadai apabila harus menjalani proses hukum,” ucap Susanto.