Warung Aplusan, Siasat Pedagang Kecil untuk Naik Kelas
Warung aplusan di Jakarta hadir karena keterbatasan modal untuk membuka usaha sendiri. Mereka urunan bersama pedagang lain untuk membeli warung. Dalam perkembangannya, ada yang sukses. Ada pula yang masih berjuang.
Kompor di warung Ani (48) tak pernah betul-betul padam, Jumat (16/10/2020). Dia harus menjaga minyak goreng di wajan tetap panas. Sewaktu-waktu, tempe, tahu, dan pisang goreng di etalase bisa ludes.
Usaha ini dirintis suaminya, Ahyani (50), sejak tahun 1985 atau empat tahun sebelum mereka menikah. Warungnya berada di Jalan Gelora IX, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sebelum punya warung sendiri, suami Ani menjadi karyawan penjual gorengan.
”Tahun 1985 itu, suami kepikiran untuk berdikari. Namun, modalnya enggak cukup. Terus suami ngajak orang dari kampung untuk beli warung di Jakarta,” ujar Ani, warga Kuningan, Jawa Barat, ini.
Warung seukuran 3 meter x 4 meter yang berada di belakang Pasar Palmerah itu mereka beli seharga Rp 7 juta. Sebagai bagian dari kesepakatan saat membeli warung itu, mereka membagi sif berjualan saban dua bulan.
Ani dan suami berjualan dua bulan di Jakarta lalu kembali ke Kuningan. Di Kuningan, Jawa Barat, mereka berdiam selama dua bulan di kampung sebelum kembali berjualan lagi.
Di Jakarta, Ani menyewa rumah petak bertarif Rp 1,2 juta sebulan. Jika dia dan keluarga sedang di kampung, sewa rumah tetap dibayar 50 persen dari tarif.
Di kontrakan itu, ada Ani, suami, tiga anak, serta seorang menantu. Warung beroperasi 24 jam. ”Kalau siang, biasanya saya sama suami. Ini karena suami sakit, digantiin sama anak. Kalau malam sampai pagi, yang nungguin anak dan menantu,” ujarnya.
Baca juga : Pak Tua Enggan Menyerah
Dalam situasi normal, omzet warung bisa mencapai Rp 1,7 juta. Semenjak pandemi Covid-19, kata Ani, omzet ambruk menjadi sekitar Rp 1 juta. ”Biasanya, tahu saja bisa habis 500 buah. Kini kami cuma bikin 300,” ucapnya.
Di warung ini, barang dagangan milik masing-masing yang dapat giliran berjualan. Hanya warung yang berstatus aplusan. Setelah berdagang dua bulan, Ani membungkus semua barang dagangan dan dibawa ke Kuningan. ”Nanti, barang yang tersisa, seperti mi instan dan kopi saset, kami bagikan ke tetangga untuk oleh-oleh,” katanya lagi.
Warung seukuran 3 meter x 4 meter yang berada di belakang Pasar Palmerah itu mereka beli seharga Rp 7 juta. Sebagai bagian dari kesepakatan saat membeli warung itu, mereka membagi sif berjualan saban dua bulan.
Ketika balik ke Jakarta, dia kembali mengisi warung. Dia memesan mi instan, kopi saset, dan bahan gorengan kepada pedagang grosir langganan. Modal awal mencapai Rp 3 juta. ”Biasanya tak harus bayar kontan. Barang bisa diambil dulu, nanti bayarnya giliran aplusan mau selesai,” ujarnya.
Di Kuningan, Ani dan keluarga punya sepetak ladang. Mereka menanam pisang, singkong, dan cengkeh. Suaminya juga menerima pesanan pembuatan kusen.
Tahun 2018, Ani pernah buka cabang di Depok, Jawa Barat. Pola usahanya pun aplusan bersama pedagang lain asal Kuningan. Namun, usaha itu hanya berjalan satu tahun. ”Setelah itu tak dilanjutkan lagi karena sepi. Di sana warungnya juga sewa Rp 35 juta per tahun. Jadi, tekor di sana,” katanya.
Selain Ani, Ozi Rekamana (49) juga memiliki gerobak aplusan di pinggir Jalan Rawa Belong, Jakarta Barat. Usaha ini sudah dirintis sejak 1988 bersama teman sekampung dari Cirebon, Jawa Barat. Gerobak itu mereka beli seharga Rp 300.000. Untuk modal awal waktu itu, mereka urunan Rp 200.000.
Saat usaha dirintis, katanya, uang Rp 200.000 itu tergolong besar. Sebab, sepiring nasi dengan lauk telur seharga Rp 500. Dengan uang Rp 2.000, sudah dapat sebungkus rokok.
Pola aplusan Ozi berbeda dengan warung Ani. Ozi tidak hanya bersekutu modal untuk gerobak, tetapi juga isinya. ”Ketika giliran saya, teman yang sebelumnya jaga mencatat semua barang. Nanti ketika giliran saya selesai, saya harus memastikan jumlah dagangan yang ditinggalkan sesuai dengan sebelumnya. Waktu jualan masing-masing dua bulan,” kata ayah dua anak ini.
Dari hasil usaha ini, Ozi membeli rumah seharga Rp 15 juta di Cirebon tahun 1996. ”Dulu sebelum punya gerobak, saya pedagang asongan. Jualannya rokok juga. Tetapi, alhamdulillah bisa menabung untuk beli rumah sejak ada gerobak,” katanya.
Di Jakarta, dia sempat menyewa rumah. Namun, selama 14 tahun terakhir, penghasilan dari warung tak lagi cukup untuk membayar sewa rumah. Ini seiring dengan hadirnya pedagang baru di Rawa Belong dengan skala grosir.
”Sejak enggak nyewa rumah, saya numpang tidur di kosan belakang (belakang kios Ozi) di kamar penjaga. Saya akrab sama penjaganya. Mandi juga di situ,” katanya.
Pendapatan Ozi kian tergerus karena banyak pembeli berutang. Di catatan bon, jumlah piutang mencapai Rp 3 juta. ”Pasti bos enggak percaya, kan, karena warung kecil begini. Tetapi, ya, begitulah. Awalnya mereka bayarnya lancar. Terus ngutang dan enggak pernah nongol lagi. Kalau enggak diutangin
enggak enak karena kita sudah kenal orangnya,” katanya.
Dengan penghasilan minimalis itu, dia masih bisa mengirim uang untuk istrinya di Cirebon Rp 500.000 per bulan. Uang itu tentu tak cukup. Jadi, istrinya di kampung menambah penghasilan dengan menjadi buruh tani.
Situasi Ozi kian sulit jika giliran berdagang selesai dan harus kembali ke Cirebon. Ia menjadi penganggur tulen di rumah. Tak ada orang yang mau memberi atau mengajak kerja serabutan.
”Mereka sungkan ngasih kerja karena dipikirnya saya perantau dan banyak uang. Padahal, kalau dipikir-pikir, penghasilan saya di Jakarta mungkin enggak ada apa-apanya dibanding mereka yang kerja tani di kampung,” keluhnya.
Paling banyak, dia hanya membawa pulang maksimal Rp 1 juta setiap pulang ke Cirebon. Situasi bertambah berat karena saat ini dia sedang meminjam uang di bank. Pinjaman ke bank dia ajukan enam bulan lalu. Nominalnya Rp 40 juta dengan agunan sertifikat rumah.
Pinjaman ini dia bagi dua. Dia mengambil Rp 20 juta untuk tambahan modal warung dan uang perbaikan rumah di Cirebon. Sisanya dia kasihkan ke menantunya untuk modal usaha.
”Bayarnya gantian. Selama saya di Jakarta (dua bulan), angsuran bank saya yang bayar, Rp 1,8 juta per bulan. Kalau sedang nganggur, yang bayar menantu saya,” tambahnya.
Sekitar dua minggu lagi, Ozi harus kembali ke Cirebon. Rokok di etalase sudah sangat berkurang jumlahnya dan harus ditambah saat rekannya mengambil alih gerobak. Di saat bersamaan, pembeli yang berutang belum juga muncul. ”Semoga enggak tekor bulan ini,” katanya.